Sindhutai Sapkal, Pengemis India yang Rawat 1.400 Anak Telantar
A
A
A
NEW DELHI - Sindhutai Sapkal, 69, nama perempuan welas asih asal India ini. Dia dikenal sebagai pengemis yang merawat lebih dari 1.400 anak telantar.
Di negaranya, Sapkal dijuluki “Ibu dari Anak Yatim”. Julukan itu dia sandang sejak dia mengemis di stasiun kereta api di negara bagian Maharashtra, India.
Sapkal juga dikenal sebagai pekerja sosial dengan sekitar 750 penghargaan. Menurut laporan Mumbai Mirror, prestasi terbaru dia terima pada Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2018 lalu, di mana dia meraih penghargaan Naari Shakti 2017.
Sapkal mengelola empat panti asuhan untuk anak yatim dan telantar. Sikap welas asihnya tak lepas dari kisah pahit yang dia alami di masa lalu.
”Saya telah mengalami bagaimana rasanya tidak memiliki seorang pun dan tidak ada tempat untuk pergi. (Pekerjaan) ini membuat saya merasa seperti seseorang sedang membalut luka saya,” kata Sapkal.
Empat dekade yang lalu, ketika dia akan mengamen di stasiun kereta api dan mengemis untuk mencari nafkah, dia melihat sejumlah besar anak telantar yang mencari tinggal tinggal di stasiun.
Kondisi hidup susah pernah membuatnya berpikir untuk bunuh diri. Tapi, dengan melihat anak-anak telantar itu, hatinya tergerak untuk merawat mereka.
Semakin hari semakin banyak anak telantar yang dia rawat. Kondisi itu justru membuat semakin bersemangat untuk hidup meski terpaksa mengemis.”Tidak pernah terpikir oleh saya untuk tidak melakukan ini,” kata Sapkal.
Setelah beberapa tahun, dengan bantuan para pendukung, Sapkal mendirikan panti asuhan pertamanya di Chikhaldara, sebuah kota di Maharashtra. Ketika berita tentang pekerjaannya menyebar, orang-orang dari desa lain mulai mendekatinya dengan membawa anak-anak yatim. Dia akhirnya mendirikan panti lagi di Kota Manjiri, Saswad, dan Wardha.
Dia mengelola panti asuhan dengan bantuan putri kandungnya yang hanya diidentifikasi dengan nama pendek Mamta, dan anak-anak angkatnya yang tertua. Beberapa dari anak telantar yang dirawat Sapkal telah sukses menjadi dokter, pengacara, dan profesor.
Sapkal “mengambil” anak-anak telantar itu dari tempat sampah, stasiun kereta api, dan dari jalanan. Dia tidak pernah menolak ketika ada orang membawa anak telantar maupun anak yatim diserahkan kepadanya.
Hebatnya, tidak seperti kebanyakan panti asuhan, Sapkal tidak melepaskan anak-anaknya asuhnya untuk diadopsi. Dia tidak mengusir mereka dari panti asuhan meski umur anak-anak itu sudah 18 tahun. ”Bahkan setelah berusia 18 tahun, anak-anak bersama saya. Saya bahkan membuat mereka menikah dan membantu mereka membangun keluarganya,” katanya.
Cinta Sapkal yang luar biasa untuk anak-anak terinspirasi oleh kesulitannya sendiri di masa lalu ketika dia tumbuh dewasa. Dia dilahirkan di keluarga miskin. Dia putus sekolah ketika berusia sembilan tahun, dan menikah pada usia 10 tahun.
Sekitar 10 tahun kemudian, sang suami mengusirnya dari rumah. Dia hamil sembilan bulan saat itu. Lebih buruk lagi, keluarga dan teman-teman meninggalkannya.
”Saya melahirkan anak saya di kandang sapi. Saya memotong tali pusar Mamata menggunakan batu yang saya temukan tergeletak di sana. Saya pergi ke kerabat saya, ke ibu saya, tetapi tidak ada yang mendukung saya. Semua orang mengusir saya keluar,” kenang Sapkal.
Mengemis bukan tanpa alasan. Dia terpaksa melakukannya untuk menyambung hidup dan mempertahankan hidup bayinya saat itu.
Di negaranya, Sapkal dijuluki “Ibu dari Anak Yatim”. Julukan itu dia sandang sejak dia mengemis di stasiun kereta api di negara bagian Maharashtra, India.
Sapkal juga dikenal sebagai pekerja sosial dengan sekitar 750 penghargaan. Menurut laporan Mumbai Mirror, prestasi terbaru dia terima pada Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2018 lalu, di mana dia meraih penghargaan Naari Shakti 2017.
Sapkal mengelola empat panti asuhan untuk anak yatim dan telantar. Sikap welas asihnya tak lepas dari kisah pahit yang dia alami di masa lalu.
”Saya telah mengalami bagaimana rasanya tidak memiliki seorang pun dan tidak ada tempat untuk pergi. (Pekerjaan) ini membuat saya merasa seperti seseorang sedang membalut luka saya,” kata Sapkal.
Empat dekade yang lalu, ketika dia akan mengamen di stasiun kereta api dan mengemis untuk mencari nafkah, dia melihat sejumlah besar anak telantar yang mencari tinggal tinggal di stasiun.
Kondisi hidup susah pernah membuatnya berpikir untuk bunuh diri. Tapi, dengan melihat anak-anak telantar itu, hatinya tergerak untuk merawat mereka.
Semakin hari semakin banyak anak telantar yang dia rawat. Kondisi itu justru membuat semakin bersemangat untuk hidup meski terpaksa mengemis.”Tidak pernah terpikir oleh saya untuk tidak melakukan ini,” kata Sapkal.
Setelah beberapa tahun, dengan bantuan para pendukung, Sapkal mendirikan panti asuhan pertamanya di Chikhaldara, sebuah kota di Maharashtra. Ketika berita tentang pekerjaannya menyebar, orang-orang dari desa lain mulai mendekatinya dengan membawa anak-anak yatim. Dia akhirnya mendirikan panti lagi di Kota Manjiri, Saswad, dan Wardha.
Dia mengelola panti asuhan dengan bantuan putri kandungnya yang hanya diidentifikasi dengan nama pendek Mamta, dan anak-anak angkatnya yang tertua. Beberapa dari anak telantar yang dirawat Sapkal telah sukses menjadi dokter, pengacara, dan profesor.
Sapkal “mengambil” anak-anak telantar itu dari tempat sampah, stasiun kereta api, dan dari jalanan. Dia tidak pernah menolak ketika ada orang membawa anak telantar maupun anak yatim diserahkan kepadanya.
Hebatnya, tidak seperti kebanyakan panti asuhan, Sapkal tidak melepaskan anak-anaknya asuhnya untuk diadopsi. Dia tidak mengusir mereka dari panti asuhan meski umur anak-anak itu sudah 18 tahun. ”Bahkan setelah berusia 18 tahun, anak-anak bersama saya. Saya bahkan membuat mereka menikah dan membantu mereka membangun keluarganya,” katanya.
Cinta Sapkal yang luar biasa untuk anak-anak terinspirasi oleh kesulitannya sendiri di masa lalu ketika dia tumbuh dewasa. Dia dilahirkan di keluarga miskin. Dia putus sekolah ketika berusia sembilan tahun, dan menikah pada usia 10 tahun.
Sekitar 10 tahun kemudian, sang suami mengusirnya dari rumah. Dia hamil sembilan bulan saat itu. Lebih buruk lagi, keluarga dan teman-teman meninggalkannya.
”Saya melahirkan anak saya di kandang sapi. Saya memotong tali pusar Mamata menggunakan batu yang saya temukan tergeletak di sana. Saya pergi ke kerabat saya, ke ibu saya, tetapi tidak ada yang mendukung saya. Semua orang mengusir saya keluar,” kenang Sapkal.
Mengemis bukan tanpa alasan. Dia terpaksa melakukannya untuk menyambung hidup dan mempertahankan hidup bayinya saat itu.
(mas)