Diambang Perang, Militer Libanon Siap Hadapi Agresi Israel
A
A
A
BEIRUT - Militer Lebanon menegaskan kesiapannya menghadapi agresi Israel dengan cara apapun. Kedua negara saat ini tengah berselisih dan ditakutkan akan berujung pada konfrontasi bersenjata.
"Saya menegaskan kembali penolakan mutlak kami terhadap musuh Israel yang melanggar kedaulatan Libanon dan hak sucinya untuk mengeksploitasi semua sumber ekonominya," ucap panglima militer Lebanon, Jenderal Joseph Aoun.
"Militer tidak akan menggunakan metode penghematan apapun untuk menghadapi agresi Israel, berapa pun kerugiannya," imbuhnya seperti dikutip dari RT, Selasa (20/2/2018).
Ketegangan Israel dengan Lebanon telah meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak perang tahun 2006. Pembangunan tembok perbatasan Israel serta serangannya terhadap Hizbullah dan Iran telah memperburuk ketegangan lebih jauh lagi.
Jika perang berikutnya pecah, pasukan keamanan Israel (IDF) akan merespons dengan kekuatan maksimum dalam jumlah waktu minimum. Hal itu dikatakan oleh Mayor Jenderal Nitzan Alon, kepala Operasi IDF.
"Tahun 2018 memiliki potensi eskalasi, belum tentu karena kedua belah pihak ingin memprakarsai, tapi karena kemunduran secara bertahap. Hal ini membuat kami meningkatkan tingkat kesiapan," kata Alon.
"Jika perang berikutnya memang pecah, itu akan menjadi kasar. Tapi, yang pertama dan terutama, akan kasar untuk sisi lain," Alon memperingatkan.
"Saya tidak berpikir ada warga negara Israel yang mau pindah tempat dengan warga Lebanon selama perang berikutnya."
Konflik besar terakhir antara Israel dan Lebanon pecah pada tahun 2006. Konfrontasi militer, yang dikenal sebagai Perang Lebanon Kedua di Israel dan Perang Juli di Lebanon, berlangsung 34 hari dan berakhir dengan gencatan senjata yang diperantarai PBB. Konflik tersebut merenggut nyawa 1.191 orang Lebanon dan menyebabkan lebih dari 4.400 orang terluka, menurut pejabat setempat yang dikutip oleh sebuah laporan PBB. Lebih dari 900.000 orang Lebanon harus meninggalkan rumah mereka karena permusuhan.
Sementara Israel dilaporkan kehilangan kurang dari 200 orang dalam konflik tersebut, menurut berbagai sumber, dengan sebagian besar dari mereka adalah tentara IDF.
"Saya menegaskan kembali penolakan mutlak kami terhadap musuh Israel yang melanggar kedaulatan Libanon dan hak sucinya untuk mengeksploitasi semua sumber ekonominya," ucap panglima militer Lebanon, Jenderal Joseph Aoun.
"Militer tidak akan menggunakan metode penghematan apapun untuk menghadapi agresi Israel, berapa pun kerugiannya," imbuhnya seperti dikutip dari RT, Selasa (20/2/2018).
Ketegangan Israel dengan Lebanon telah meningkat ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak perang tahun 2006. Pembangunan tembok perbatasan Israel serta serangannya terhadap Hizbullah dan Iran telah memperburuk ketegangan lebih jauh lagi.
Jika perang berikutnya pecah, pasukan keamanan Israel (IDF) akan merespons dengan kekuatan maksimum dalam jumlah waktu minimum. Hal itu dikatakan oleh Mayor Jenderal Nitzan Alon, kepala Operasi IDF.
"Tahun 2018 memiliki potensi eskalasi, belum tentu karena kedua belah pihak ingin memprakarsai, tapi karena kemunduran secara bertahap. Hal ini membuat kami meningkatkan tingkat kesiapan," kata Alon.
"Jika perang berikutnya memang pecah, itu akan menjadi kasar. Tapi, yang pertama dan terutama, akan kasar untuk sisi lain," Alon memperingatkan.
"Saya tidak berpikir ada warga negara Israel yang mau pindah tempat dengan warga Lebanon selama perang berikutnya."
Konflik besar terakhir antara Israel dan Lebanon pecah pada tahun 2006. Konfrontasi militer, yang dikenal sebagai Perang Lebanon Kedua di Israel dan Perang Juli di Lebanon, berlangsung 34 hari dan berakhir dengan gencatan senjata yang diperantarai PBB. Konflik tersebut merenggut nyawa 1.191 orang Lebanon dan menyebabkan lebih dari 4.400 orang terluka, menurut pejabat setempat yang dikutip oleh sebuah laporan PBB. Lebih dari 900.000 orang Lebanon harus meninggalkan rumah mereka karena permusuhan.
Sementara Israel dilaporkan kehilangan kurang dari 200 orang dalam konflik tersebut, menurut berbagai sumber, dengan sebagian besar dari mereka adalah tentara IDF.
(ian)