Duterte: Pangkalan Militer China di LCS Hanya untuk Mengancam AS
A
A
A
MANILA - Filipina mengaku tidak khawatir dengan keberadaan pangkalan militer China di Laut China Selatan (LCS). Menurut Presiden Rodrigo Duterte pangkalan militer itu bertujuan untuk melawan pengaruh Amerika Serikat (AS).
Duterte menegaskan bahwa Manila bisa menyelesaikan perselisihannya dengan Beijing secara diplomatis. Filipina percaya bahwa instalasi militer China tidak dimaksudkan untuk menghadapi tetangga, melainkan untuk mengusir AS dari wilayah tersebut.
Militer AS dan China sering mengalami kebuntuan di LCS. China mengklaim perairan yang memberikan pemasukan sebesar USD5 triliun per tahun, bersama dengan Taiwan, Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia dan Brunei. Sementara AS, yang tidak tidak memiliki klaim teritorial di wilayah tersebut, selalu menekankan perlunya kebebasan navigasi di wilayah tersebut dan menentang klaim China.
"China membangun bangunan dan pangkalan militer. Aku harus mengakuinya. Tapi apakah itu dimaksudkan untuk kita? Anda pasti bercanda," ujar Duterte kepada pengusaha China-Filipina di sebuah pertemuan di Manila yang dihadiri oleh Duta Besar China untuk Filipina Zhao Jianhua.
"Itu tidak dimaksudkan untuk kita. Kekuatan ideologis yang bersaing dengan dunia atau geopolitik telah sangat berubah. Ini benar-benar ditujukan untuk melawan orang-orang yang orang China pikir akan menghancurkan mereka. Dan itu adalah Amerika," jelasnya seperti dikutip dari RT, Selasa (20/2/2018).
Duterte menekankan bahwa Manila akan mengikuti "diplomatik" dengan Beijing mengenai sengketa teritorial dan menghindari provokasi militer di wilayah tersebut. Pada bulan Juli 2016, hakim di Den Haag memutuskan bahwa China telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan atas ekosistem Kepulauan Spratly dan melanggar hak kedaulatan Filipina. Pengadilan di Den Haag dalam putusannya mengatakan tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya di dalam wilayah laut yang termasuk dalam garis sembilan mil," mengacu pada garis demarkasi di peta laut dari tahun 1947. Namun, Beijing telah mengabaikan keputusan tersebut.
"Kita tidak bisa pergi ke sana, naiki apa saja, Angkatan Laut, kapal abu-abu, Coast Guard dan mulai melambaikan senapan kita. Kita tidak bisa melakukannya hari ini. Ini tidak realistis. Itu tidak dibenarkan," kata Duterte.
"Lalu mengapa saya pergi ke sana, membawa Angkatan Laut saya, tentara saya, polisi saya dan semuanya hanya untuk disembelih?" cetusnya.
"Saya tidak akan menyerahkan kehidupan warga Filipina hanya untuk sebuah kematian yang tidak perlu. Saya tidak akan masuk ke dalam pertempuran yang tidak pernah bisa saya menangkan. Kita tidak bisa melakukannya hari ini. Ini tidak realistis," imbuh Duterte, menandakan bahwa dia siap untuk melakukan pendekatan dengan China mengenai masalah ini.
Duterte bahkan bercanda tentang membuat Filipina menjadi provinsi di China, meremehkan gerakan China yang menggunakan nama-nama China ke beberapa fitur bawah laut di Pasifik milik Filipina.
"Jika Anda mau, Anda bisa menjadikan kami sebuah provinsi, seperti Fujian. Provinsi Filipina, Republik China," tukas Duterte.
Duterte menegaskan bahwa Manila bisa menyelesaikan perselisihannya dengan Beijing secara diplomatis. Filipina percaya bahwa instalasi militer China tidak dimaksudkan untuk menghadapi tetangga, melainkan untuk mengusir AS dari wilayah tersebut.
Militer AS dan China sering mengalami kebuntuan di LCS. China mengklaim perairan yang memberikan pemasukan sebesar USD5 triliun per tahun, bersama dengan Taiwan, Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia dan Brunei. Sementara AS, yang tidak tidak memiliki klaim teritorial di wilayah tersebut, selalu menekankan perlunya kebebasan navigasi di wilayah tersebut dan menentang klaim China.
"China membangun bangunan dan pangkalan militer. Aku harus mengakuinya. Tapi apakah itu dimaksudkan untuk kita? Anda pasti bercanda," ujar Duterte kepada pengusaha China-Filipina di sebuah pertemuan di Manila yang dihadiri oleh Duta Besar China untuk Filipina Zhao Jianhua.
"Itu tidak dimaksudkan untuk kita. Kekuatan ideologis yang bersaing dengan dunia atau geopolitik telah sangat berubah. Ini benar-benar ditujukan untuk melawan orang-orang yang orang China pikir akan menghancurkan mereka. Dan itu adalah Amerika," jelasnya seperti dikutip dari RT, Selasa (20/2/2018).
Duterte menekankan bahwa Manila akan mengikuti "diplomatik" dengan Beijing mengenai sengketa teritorial dan menghindari provokasi militer di wilayah tersebut. Pada bulan Juli 2016, hakim di Den Haag memutuskan bahwa China telah menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan atas ekosistem Kepulauan Spratly dan melanggar hak kedaulatan Filipina. Pengadilan di Den Haag dalam putusannya mengatakan tidak ada dasar hukum bagi China untuk mengklaim hak historis atas sumber daya di dalam wilayah laut yang termasuk dalam garis sembilan mil," mengacu pada garis demarkasi di peta laut dari tahun 1947. Namun, Beijing telah mengabaikan keputusan tersebut.
"Kita tidak bisa pergi ke sana, naiki apa saja, Angkatan Laut, kapal abu-abu, Coast Guard dan mulai melambaikan senapan kita. Kita tidak bisa melakukannya hari ini. Ini tidak realistis. Itu tidak dibenarkan," kata Duterte.
"Lalu mengapa saya pergi ke sana, membawa Angkatan Laut saya, tentara saya, polisi saya dan semuanya hanya untuk disembelih?" cetusnya.
"Saya tidak akan menyerahkan kehidupan warga Filipina hanya untuk sebuah kematian yang tidak perlu. Saya tidak akan masuk ke dalam pertempuran yang tidak pernah bisa saya menangkan. Kita tidak bisa melakukannya hari ini. Ini tidak realistis," imbuh Duterte, menandakan bahwa dia siap untuk melakukan pendekatan dengan China mengenai masalah ini.
Duterte bahkan bercanda tentang membuat Filipina menjadi provinsi di China, meremehkan gerakan China yang menggunakan nama-nama China ke beberapa fitur bawah laut di Pasifik milik Filipina.
"Jika Anda mau, Anda bisa menjadikan kami sebuah provinsi, seperti Fujian. Provinsi Filipina, Republik China," tukas Duterte.
(ian)