Menlu AS: Krisis Senjata Nuklir Korut Berada di Titik Terlemah
A
A
A
VANCOUVER - Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Rex Tillerson, menyatakan krisis senjata nulklir Korea Utara (Korut) berada pada titik terlemah. Ia juga mengatakan bahwa Pyonyang telah menunjukkan kemauan untuk berbicara tentang denuklirisasi sekarang.
"Orang-orang Korea Utara tahu bahwa saluran kami terbuka, dan mereka tMenurutahu di mana menemukan kami," kata Tillerson kepada wartawan dalam sebuah konferensi pers pada akhir KTT 20 negara yang mencari cara untuk memperkuat sanksi PBB.
Ketika ditanya secara langsung apakah AS mungkin akan segera berperang dengan Korut, Tillerson menjawab dengan diplomatis.
"Saya pikir kita semua harus sangat sadar dan jernih tentang situasi saat ini," jawabnya, mengutip kemajuan Korut dalam mengembangkan senjata nuklir dan rudal.
"Kita harus menyadari bahwa ancaman itu terus berkembang. Dan jika Korea Utara tidak memilih jalan berhubungan, diskusi, negosiasi, maka mereka sendiri akan memicu sebuah pilihan," katanya seperti dikutip dari Independent, Rabu (17/1/2018).
KTT Vancouver diadakan untuk mengeksplorasi cara untuk memperketat sanksi terhadap Korut. KTT ini juga membahas larangan kapal maritim yang membawa barang dan bahan terlarang ke dan dari negara tersebut.
Baca Juga:
Tinggalkan Rusia dan China, AS Kumpulkan 19 Negara Bahas Korut
Meski begitu, Tillerson sering mengulangi sentimen bahwa diplomasi adalah pilihan terbaik, dibandingkan dengan sanksi tanpa henti, atau lebih buruk lagi.
"Yang saya harap mereka bisa sadari adalah, situasinya semakin memburuk. Ini memburuk dengan setiap langkah yang mereka ambil. Ini semakin parah seiring berjalannya waktu," katanya tentang Korut.
Tillerson juga mengungkapkan harapan bahwa pesan tersebut mulai tenggelam karena dunia akan mendesak Korut untuk meninggalkan senjata nuklirnya.
"Sikap yang kita ambil adalah, kita tidak akan pernah menerima mereka sebagai kekuatan nuklir. Jadi, ini saatnya bicara. Tapi mereka harus mengambil langkah yang mengatakan bahwa mereka ingin berbicara," tegasnya.
Menanggapi pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan bahwa pertemuan tersebut merusak. Ia pun mengolok-olok daftar negara-negara yang diundang, beberapa di antaranya adalah negara-negara kecil yang secara perifer terlibat dalam kebuntuan dengan Pyongyang.
"Ketika kami mengetahui tentang pertemuan tersebut, kami bertanya: Mengapa Anda membutuhkan semua negara itu bersama-sama?" Lavrov berkata.
"Yunani, Belgia, Kolombia, Luksemburg - apa hubungannya dengan Semenanjung Korea?" tanyanya heran.
China juga telah menolak KTT tersebut dan menyebutnya sebagai pertemua yang "tidak berarti". Beijing mengatakan solusinya terletak pada dialog dengan rezim Kim Jong-un.
Asisten Menteri Luar Negeri Susan Thornton, kepala biro Asia Timur, akan berkunjung ke Beijing setelah pertemuan tersebut untuk memberi tahu pejabat China mengenai pertemuan itu, dan Tillerson akan berbicara dengan rekan-rekannya di Rusia dan China.
"Orang-orang Korea Utara tahu bahwa saluran kami terbuka, dan mereka tMenurutahu di mana menemukan kami," kata Tillerson kepada wartawan dalam sebuah konferensi pers pada akhir KTT 20 negara yang mencari cara untuk memperkuat sanksi PBB.
Ketika ditanya secara langsung apakah AS mungkin akan segera berperang dengan Korut, Tillerson menjawab dengan diplomatis.
"Saya pikir kita semua harus sangat sadar dan jernih tentang situasi saat ini," jawabnya, mengutip kemajuan Korut dalam mengembangkan senjata nuklir dan rudal.
"Kita harus menyadari bahwa ancaman itu terus berkembang. Dan jika Korea Utara tidak memilih jalan berhubungan, diskusi, negosiasi, maka mereka sendiri akan memicu sebuah pilihan," katanya seperti dikutip dari Independent, Rabu (17/1/2018).
KTT Vancouver diadakan untuk mengeksplorasi cara untuk memperketat sanksi terhadap Korut. KTT ini juga membahas larangan kapal maritim yang membawa barang dan bahan terlarang ke dan dari negara tersebut.
Baca Juga:
Tinggalkan Rusia dan China, AS Kumpulkan 19 Negara Bahas Korut
Meski begitu, Tillerson sering mengulangi sentimen bahwa diplomasi adalah pilihan terbaik, dibandingkan dengan sanksi tanpa henti, atau lebih buruk lagi.
"Yang saya harap mereka bisa sadari adalah, situasinya semakin memburuk. Ini memburuk dengan setiap langkah yang mereka ambil. Ini semakin parah seiring berjalannya waktu," katanya tentang Korut.
Tillerson juga mengungkapkan harapan bahwa pesan tersebut mulai tenggelam karena dunia akan mendesak Korut untuk meninggalkan senjata nuklirnya.
"Sikap yang kita ambil adalah, kita tidak akan pernah menerima mereka sebagai kekuatan nuklir. Jadi, ini saatnya bicara. Tapi mereka harus mengambil langkah yang mengatakan bahwa mereka ingin berbicara," tegasnya.
Menanggapi pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan bahwa pertemuan tersebut merusak. Ia pun mengolok-olok daftar negara-negara yang diundang, beberapa di antaranya adalah negara-negara kecil yang secara perifer terlibat dalam kebuntuan dengan Pyongyang.
"Ketika kami mengetahui tentang pertemuan tersebut, kami bertanya: Mengapa Anda membutuhkan semua negara itu bersama-sama?" Lavrov berkata.
"Yunani, Belgia, Kolombia, Luksemburg - apa hubungannya dengan Semenanjung Korea?" tanyanya heran.
China juga telah menolak KTT tersebut dan menyebutnya sebagai pertemua yang "tidak berarti". Beijing mengatakan solusinya terletak pada dialog dengan rezim Kim Jong-un.
Asisten Menteri Luar Negeri Susan Thornton, kepala biro Asia Timur, akan berkunjung ke Beijing setelah pertemuan tersebut untuk memberi tahu pejabat China mengenai pertemuan itu, dan Tillerson akan berbicara dengan rekan-rekannya di Rusia dan China.
(ian)