Israel Perkuat Kontrol Yerusalem
A
A
A
TEL AVIV - Israel menetapkan batas suara lebih tinggi untuk semua voting di masa depan atas kebijakan menyerahkan sebagian Yerusalem pada Palestina.
Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota untuk negara masa depan. Meski demikian, amandemen undang-undang (UU) ini semakin mempersulit keinginan Palestina tersebut. Amandemen UU ini disetujui parlemen Israel untuk menaikkan dari 61 suara menjadi 80 suara dalam voting di parlemen Knesset yang terdiri atas 120 kursi, untuk menyetujui proposal apa pun mengenai penyerahan sebagian Yerusalem pada Palestina.
Perubahan UU itu disahkan kurang dari sebulan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Langkah Trump itu memicu kemarahan di penjuru dunia. Negosiasi antara Israel dan Palestina yang dimediasi AS telah terhenti sejak 2014, tapi jika negosiasi kembali digelar, syarat suara mayoritas di parlemen untuk penyerahan sebagian wilayah Yerusalem bisa mempersulit tercapainya kesepakatan damai.
Palestina menyatakan keputusan Trump membuat Washington tidak lagi menjadi mediator perdamaian Timur Tengah. Upaya AS menghidupkan kembali negosiasi dipimpin oleh menantu Trump dan penasihat Gedung Putih Jared Kushner sejauh ini tak membuahkan hasil. "Otoritas untuk melepaskan sebagian tanah itu bukan di tangan orang Yahudi mana pun," ungkap Naftali Bennett, kepala sayap kanan jauh partai koalisi Jewish Home yang mendorong perubahan UU tersebut.
Kepala oposisi Israel Isaac Herzog menyatakan, Jewish Home membawa Israel menuju bencana mengerikan. Status Yerusalem merupakan salah satu isu paling sensitif dalam konflik Israel dan Palestina yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Israel mencaplok Yerusalem Timur secara ilegal setelah Perang Timur Tengah 1967. Pencaplokan itu dikecam dan tidak diakui dunia internasional. Meski demikian, Israel tetap bersikeras dan mengatakan kota itu tak bisa dibagi dan menjadi ibu kota abadi rezim Zionis. Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara mereka, termasuk wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Akhir pekan lalu, Partai Likud dipimpin Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu meminta anggota parlemen menyetujui resolusi tak mengikat untuk secara efektif mencaplok pemukiman Israel yang dibangun di Tepi Barat. Para pengamat politik menjelaskan, keputusan itu mungkin membuat sayap kanan mendukung Netanyahu yang sedang mencari suara untuk pemilu mendatang. Apalagi saat ini Netanyahu menunggu kemungkinan penyelidikan korupsi terhadapnya.
Dia menyangkal melakukan korupsi. Pemilu parlemen akan digelar paling cepat pada November 2019, tapi investigasi kepolisian dalam dua kasus korupsi yang melilit Netanyahu dan ketegangan antara mitra koalisi berkuasa semakin memanas. Kasus korupsi itu pun dapat merusak dukungan pemilih pada Netanyahu.
Palestina menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota untuk negara masa depan. Meski demikian, amandemen undang-undang (UU) ini semakin mempersulit keinginan Palestina tersebut. Amandemen UU ini disetujui parlemen Israel untuk menaikkan dari 61 suara menjadi 80 suara dalam voting di parlemen Knesset yang terdiri atas 120 kursi, untuk menyetujui proposal apa pun mengenai penyerahan sebagian Yerusalem pada Palestina.
Perubahan UU itu disahkan kurang dari sebulan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Langkah Trump itu memicu kemarahan di penjuru dunia. Negosiasi antara Israel dan Palestina yang dimediasi AS telah terhenti sejak 2014, tapi jika negosiasi kembali digelar, syarat suara mayoritas di parlemen untuk penyerahan sebagian wilayah Yerusalem bisa mempersulit tercapainya kesepakatan damai.
Palestina menyatakan keputusan Trump membuat Washington tidak lagi menjadi mediator perdamaian Timur Tengah. Upaya AS menghidupkan kembali negosiasi dipimpin oleh menantu Trump dan penasihat Gedung Putih Jared Kushner sejauh ini tak membuahkan hasil. "Otoritas untuk melepaskan sebagian tanah itu bukan di tangan orang Yahudi mana pun," ungkap Naftali Bennett, kepala sayap kanan jauh partai koalisi Jewish Home yang mendorong perubahan UU tersebut.
Kepala oposisi Israel Isaac Herzog menyatakan, Jewish Home membawa Israel menuju bencana mengerikan. Status Yerusalem merupakan salah satu isu paling sensitif dalam konflik Israel dan Palestina yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Israel mencaplok Yerusalem Timur secara ilegal setelah Perang Timur Tengah 1967. Pencaplokan itu dikecam dan tidak diakui dunia internasional. Meski demikian, Israel tetap bersikeras dan mengatakan kota itu tak bisa dibagi dan menjadi ibu kota abadi rezim Zionis. Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara mereka, termasuk wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Akhir pekan lalu, Partai Likud dipimpin Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu meminta anggota parlemen menyetujui resolusi tak mengikat untuk secara efektif mencaplok pemukiman Israel yang dibangun di Tepi Barat. Para pengamat politik menjelaskan, keputusan itu mungkin membuat sayap kanan mendukung Netanyahu yang sedang mencari suara untuk pemilu mendatang. Apalagi saat ini Netanyahu menunggu kemungkinan penyelidikan korupsi terhadapnya.
Dia menyangkal melakukan korupsi. Pemilu parlemen akan digelar paling cepat pada November 2019, tapi investigasi kepolisian dalam dua kasus korupsi yang melilit Netanyahu dan ketegangan antara mitra koalisi berkuasa semakin memanas. Kasus korupsi itu pun dapat merusak dukungan pemilih pada Netanyahu.
(amm)