Perjudian Trump di Kota Suci
A
A
A
YERUSALEM merupakan kota yang berada di kawasan Timur Tengah dan terletak di dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati. Sejarah mencatat, dua negara tetangga sarat konflik—Israel dan Palestina—yang berada di kawasan tersebut sama-sama mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota negaranya. Namun hingga kini, belum ada pengakuan internasional akan klaim tersebut. Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mendukung klaim Israel atas Kota Tua tersebut adalah satu-satunya pengakuan internasional yang pernah diberikan.
Rencana dukungan AS terhadap klaim Israel atas Yerusalem sesungguhnya sudah datang saat masa kampanye presiden AS 2016 silam. Trump menegaskan bakal melaksanakan Undang-Undang (UU) hasil Kongres AS 1995 untuk memindahkan kantor Duta Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kebijakan ini tidak pernah diambil presiden sebelumnya, yakni Bill Clinton hingga Barack Obama, dengan alasan keamanan internasional.
Sejatinya, sejak Pemerintah AS mengakui Israel pada 1948, tidak ada yang pernah meragukan posisi Washington berdiri dalam kaitannya dengan konflik antara Israel dan Arab. Kendati pro-Israel, AS mencoba, setidaknya secara teori, untuk mematuhi hukum internasional dan konsensus dunia saat menangani konflik Israel-Palestina.
Tak dimungkiri bahwa AS sering memveto banyak resolusi mengenai masalah Palestina, namun posisinya selalu jelas ketika sampai pada masalah Yerusalem. AS, seperti negara-negara lain di dunia, telah berulang kali menolak untuk mengakui aneksasi Yerusalem sepihak Israel dan terus mempertimbangkan Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki, seperti Gaza, Nablus atau Ramallah.
Hukum internasional menetapkan dengan jelas bahwa orang-orang Israel tidak diizinkan untuk mengubah status wilayah-wilayah di bawah kekuasaan militer mereka. Hanya saja, di masa lalu, Kongres AS, yang sering disebut “wilayah pendudukan Israel”, mengeluarkan beberapa undang-undang mendukung Israel. Hal ini melanggar otoritas konstitusional cabang eksekutif atas kebijakan luar negeri.
Apa sebenarnya yang mendasari Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 41/VI/2017 yang terbit Senin (11/12/2017).
Rencana dukungan AS terhadap klaim Israel atas Yerusalem sesungguhnya sudah datang saat masa kampanye presiden AS 2016 silam. Trump menegaskan bakal melaksanakan Undang-Undang (UU) hasil Kongres AS 1995 untuk memindahkan kantor Duta Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kebijakan ini tidak pernah diambil presiden sebelumnya, yakni Bill Clinton hingga Barack Obama, dengan alasan keamanan internasional.
Sejatinya, sejak Pemerintah AS mengakui Israel pada 1948, tidak ada yang pernah meragukan posisi Washington berdiri dalam kaitannya dengan konflik antara Israel dan Arab. Kendati pro-Israel, AS mencoba, setidaknya secara teori, untuk mematuhi hukum internasional dan konsensus dunia saat menangani konflik Israel-Palestina.
Tak dimungkiri bahwa AS sering memveto banyak resolusi mengenai masalah Palestina, namun posisinya selalu jelas ketika sampai pada masalah Yerusalem. AS, seperti negara-negara lain di dunia, telah berulang kali menolak untuk mengakui aneksasi Yerusalem sepihak Israel dan terus mempertimbangkan Yerusalem Timur sebagai wilayah yang diduduki, seperti Gaza, Nablus atau Ramallah.
Hukum internasional menetapkan dengan jelas bahwa orang-orang Israel tidak diizinkan untuk mengubah status wilayah-wilayah di bawah kekuasaan militer mereka. Hanya saja, di masa lalu, Kongres AS, yang sering disebut “wilayah pendudukan Israel”, mengeluarkan beberapa undang-undang mendukung Israel. Hal ini melanggar otoritas konstitusional cabang eksekutif atas kebijakan luar negeri.
Apa sebenarnya yang mendasari Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 41/VI/2017 yang terbit Senin (11/12/2017).
(amm)