Wanita Yazidi Bukukan Kisah Mengerikan Selama Jadi Budak Seks ISIS
A
A
A
MOSUL - Wanita Yazidi berusia 24 tahun, Nadia Murad, menuliskan kisah mengerikan yang dia alami selama ditawan dan dijadikan budak seks kelompok ISIS. Dalam bukunya, dia mengisahkan kebrutalan para anggota ISIS yang memperkosanya sampai tak sadarkan diri.
Nadia ditangkap saat desanya di Irak diserang kelompok radikal tersebut pada tahun 2014. Dia kemudian ditawan dan dijadikan budak seks oleh seorang hakim tinggi kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Wanita dari etnis minoritas Irak ini adalah satu dari sekitar 7.000 wanita dan gadis Yazidi yang ditangkap oleh kelompok ISIS pada tahun 2014 di Irak utara. Nadia ditangkap saat berusia 21 tahun.
Menurut laporan The Times, lima dari delapan saudara laki-lakinya berserta ibunya dibunuh. Nadia Murad kini membuka diri dan berani menuliskan penderitaannya dalam sebuah buku berjudul The Last Girl: My Story of Captivity and My Fight Against the Islamic State.
“Tidak akan pernah mudah untuk menceritakan kisah Anda. Setiap kali Anda mengucapkannya, Anda menghidupkannya kembali,” tulis Nadia.
“(Tapi) cerita saya dengan jujur disampaikan dan secara factual, adalah senjata terbaik yang saya miliki untuk melawan terorisme, dan saya berencana menggunakannya sampai para teroris tersebut diadili,” lanjut Nadia.
Selama jadi tawanan, Nadia diperbudak, berulang kali diperkosa, diinstruksikan untuk pindah agama. Dia diculik dari Desa Kocho, dekat Sinjar. Foto ID-nya dibagikan di antara para militan ISIS untuk mencegah agar dia tidak bisa melarikan diri.
Dengan kasar, dia mengatakan bahwa serangan seks tanpa henti “menjadi hari biasa”. Dalam bukunya tersebut, dia menjelaskan bagaimana dia mencoba melarikan diri dengan merangkak keluar dari jendela namun tertangkap oleh seorang penjaga.
Sosok hakim tinggi ISIS yang memperbudaknya bernama Hajji Salma. Menurutnya, Hajji Salman mencambuknya dan membiarkan penjaga—yang terdiri dari enam pria—memperkosanya sampai dia tidak sadarkan diri.
Selama sepekan, Murad diserang enam pria. Dia dipukuli sebelum diserahkan kepada satu orang, yang ingin membawanya ke “kekhalifahan” ISIS di Suriah.
Dia kemudian melihat kesempatan untuk melarikan diri dan melompati dinding rumah penculiknya di Mosul. Dia kemudian memberanikan diri mengetuk pintu orang asing untuk meminta bantuan.
“Keluarga di Irak dan Suriah menjalani kehidupan normal saat kami disiksa dan diperkosa. Mereka mengawasi kami berjalan-jalan di jalanan dengan para penculik kami,” kata Nadia.
”Mereka membiarkan kami menjerit di pasar budak dan tidak melakukan apapun,” kritik Nadia.
Setelah berhasil melarikan diri, dia dibantu para aktivis pergi ke Jerman. Sejak itu, dia terpilih menjadi duta untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pengacara hak asasi manusia, Amal Clooney, mengatakan bahwa dia tergerak untuk menangis saat mendengar cerita Murad. Clooney ikut menulis kata pengantar untuk buku yang ditulis wanita Yazidi itu.
Nadia kini ingin melihat para perempuan Yazidi yang doperbudak untuk dilepaskan dan menuntut para ekstremis ISIS diseret ke pengadilan. “Ingin menjadi gadis terakhir di dunia dengan cerita seperti saya,” tulis Nadia, seperti dilansir New York Post.
Nadia ditangkap saat desanya di Irak diserang kelompok radikal tersebut pada tahun 2014. Dia kemudian ditawan dan dijadikan budak seks oleh seorang hakim tinggi kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Wanita dari etnis minoritas Irak ini adalah satu dari sekitar 7.000 wanita dan gadis Yazidi yang ditangkap oleh kelompok ISIS pada tahun 2014 di Irak utara. Nadia ditangkap saat berusia 21 tahun.
Menurut laporan The Times, lima dari delapan saudara laki-lakinya berserta ibunya dibunuh. Nadia Murad kini membuka diri dan berani menuliskan penderitaannya dalam sebuah buku berjudul The Last Girl: My Story of Captivity and My Fight Against the Islamic State.
“Tidak akan pernah mudah untuk menceritakan kisah Anda. Setiap kali Anda mengucapkannya, Anda menghidupkannya kembali,” tulis Nadia.
“(Tapi) cerita saya dengan jujur disampaikan dan secara factual, adalah senjata terbaik yang saya miliki untuk melawan terorisme, dan saya berencana menggunakannya sampai para teroris tersebut diadili,” lanjut Nadia.
Selama jadi tawanan, Nadia diperbudak, berulang kali diperkosa, diinstruksikan untuk pindah agama. Dia diculik dari Desa Kocho, dekat Sinjar. Foto ID-nya dibagikan di antara para militan ISIS untuk mencegah agar dia tidak bisa melarikan diri.
Dengan kasar, dia mengatakan bahwa serangan seks tanpa henti “menjadi hari biasa”. Dalam bukunya tersebut, dia menjelaskan bagaimana dia mencoba melarikan diri dengan merangkak keluar dari jendela namun tertangkap oleh seorang penjaga.
Sosok hakim tinggi ISIS yang memperbudaknya bernama Hajji Salma. Menurutnya, Hajji Salman mencambuknya dan membiarkan penjaga—yang terdiri dari enam pria—memperkosanya sampai dia tidak sadarkan diri.
Selama sepekan, Murad diserang enam pria. Dia dipukuli sebelum diserahkan kepada satu orang, yang ingin membawanya ke “kekhalifahan” ISIS di Suriah.
Dia kemudian melihat kesempatan untuk melarikan diri dan melompati dinding rumah penculiknya di Mosul. Dia kemudian memberanikan diri mengetuk pintu orang asing untuk meminta bantuan.
“Keluarga di Irak dan Suriah menjalani kehidupan normal saat kami disiksa dan diperkosa. Mereka mengawasi kami berjalan-jalan di jalanan dengan para penculik kami,” kata Nadia.
”Mereka membiarkan kami menjerit di pasar budak dan tidak melakukan apapun,” kritik Nadia.
Setelah berhasil melarikan diri, dia dibantu para aktivis pergi ke Jerman. Sejak itu, dia terpilih menjadi duta untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pengacara hak asasi manusia, Amal Clooney, mengatakan bahwa dia tergerak untuk menangis saat mendengar cerita Murad. Clooney ikut menulis kata pengantar untuk buku yang ditulis wanita Yazidi itu.
Nadia kini ingin melihat para perempuan Yazidi yang doperbudak untuk dilepaskan dan menuntut para ekstremis ISIS diseret ke pengadilan. “Ingin menjadi gadis terakhir di dunia dengan cerita seperti saya,” tulis Nadia, seperti dilansir New York Post.
(mas)