Mahkamah Agung Kamboja Bubarkan Partai Oposisi
A
A
A
PHNOM PENH - Mahkamah Agung (MA) Kamboja membubarkan partai oposisi utama, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP). Itu sebagai jalan Perdana Menteri (PM) Hun Sen memperpanjang kekuasaannya menjelang pemilu tahun depan.
Pemerintahan PM Hun Sen yang telah berkuasa selama tiga dekade meminta MA membubarkan CNRP karena melaksanakan kudeta dengan bantuan Amerika Serikat (AS) setelah penangkapan pemimpinnya, Kem Sokha, pada 3 September lalu. MA memerintahkan penghentian aktivitas politik selama lima tahun bagi 118 anggota partai oposisi yang menjadi ancaman bagi Hun Sen, mantan komandan Khmer Merah pada pemilu mendatang.
Namun, CNRP menolak tuduhan tersebut karena itu bermotif politik. Mereka juga tidak mengirim kuasa hukum dalam persidangan di MA. "Itu (keputusan pembubaran) menunjukkan Hun Sen tidak akan berhenti jika tidak ada seorang pun yang mampu menghentikannya," kata Kem Monovithya, putri Kem Sokha yang juga petinggi CNRP. "Vonis MA itu telah diperkirakan sebelumnya. Saat ini adalah waktunya untuk memberikan sanksi (kepada Hun Sen) dari komunitas internasional," paparnya, dilansir Reuters.
Negara-negara Barat berharap Hun Sen membebaskan Kem Sokha. Namun, sanksi dari Barat sepertinya tidak akan berdampak besar bagi Kamboja karena mereka telah beraliansi dengan China. Misi diplomatik Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak berkomentar mengenai vonis MA tersebut.
Sementara itu, puluhan polisi kemarin berjaga di luar kantor MA di Phnom Penh. Tidak ada tanda kalau akan terjadi demonstrasi. Sedikit orang di jalanan yang ingin menceritakan bahwa Partai Rakyat (CPP) pimpinan Hun Sen ingin kekuasaan di negara berpenduduk 16 juta itu.
"Keputusan MA itu bukan akhir dari demokrasi. Namun, itu adalah untuk menghancurkan ekstremis dan melindungi rakyat dan bangsa dari kehancuran," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Huy Vannak. Sejak Hun Sen berkuasa pada 1985, Kamboja telah bertransformasi dari negara yang gagal menjadi negara berpendapatan menengah dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun.
Kelompok pengamat hak asasi manusia (HAM) mengecam keputusan MA tersebut. Apalagi keputusan itu dibuat oleh hakim yang merupakan anggota komite permanen CPP. "Penyalahgunaan MA untuk membubarkan CNRP merupakan ancaman terburuk bagi HAM dan merepresentasikan demokrasi modern Kamboja saat ini," ujar Kingsley Abbot dari International Commission of Jurists berbasis di Jenewa.
Sebagian besar anggota parlemen dari CNRP telah melarikan diri dari Kamboja. Mereka khawatir dengan penangkapan para politikus oposisi. "Kami tidak mengetahui siapa yang menjadi target selanjutnya," ujar salah satu editor stasiun radio Voice of Democracy yang tidak mau disebutkan namanya.
Radio tersebut telah dibekukan pada Agustus lalu, tetapi mereka tetap melanjutkan siaran melalui Facebook. Nantinya, kursi parlemen CNRP akan didistribusikan pula ke partai yang beraliansi ke pemerintah setelah pembubaran oposisi. CNRP juga akan kehilangan kekuasaan di dewan pemerintahan lokal, padahal mereka memenangkan pemilu lokal pada Juni lalu.
Pemerintahan PM Hun Sen yang telah berkuasa selama tiga dekade meminta MA membubarkan CNRP karena melaksanakan kudeta dengan bantuan Amerika Serikat (AS) setelah penangkapan pemimpinnya, Kem Sokha, pada 3 September lalu. MA memerintahkan penghentian aktivitas politik selama lima tahun bagi 118 anggota partai oposisi yang menjadi ancaman bagi Hun Sen, mantan komandan Khmer Merah pada pemilu mendatang.
Namun, CNRP menolak tuduhan tersebut karena itu bermotif politik. Mereka juga tidak mengirim kuasa hukum dalam persidangan di MA. "Itu (keputusan pembubaran) menunjukkan Hun Sen tidak akan berhenti jika tidak ada seorang pun yang mampu menghentikannya," kata Kem Monovithya, putri Kem Sokha yang juga petinggi CNRP. "Vonis MA itu telah diperkirakan sebelumnya. Saat ini adalah waktunya untuk memberikan sanksi (kepada Hun Sen) dari komunitas internasional," paparnya, dilansir Reuters.
Negara-negara Barat berharap Hun Sen membebaskan Kem Sokha. Namun, sanksi dari Barat sepertinya tidak akan berdampak besar bagi Kamboja karena mereka telah beraliansi dengan China. Misi diplomatik Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak berkomentar mengenai vonis MA tersebut.
Sementara itu, puluhan polisi kemarin berjaga di luar kantor MA di Phnom Penh. Tidak ada tanda kalau akan terjadi demonstrasi. Sedikit orang di jalanan yang ingin menceritakan bahwa Partai Rakyat (CPP) pimpinan Hun Sen ingin kekuasaan di negara berpenduduk 16 juta itu.
"Keputusan MA itu bukan akhir dari demokrasi. Namun, itu adalah untuk menghancurkan ekstremis dan melindungi rakyat dan bangsa dari kehancuran," kata Wakil Menteri Dalam Negeri Huy Vannak. Sejak Hun Sen berkuasa pada 1985, Kamboja telah bertransformasi dari negara yang gagal menjadi negara berpendapatan menengah dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% per tahun.
Kelompok pengamat hak asasi manusia (HAM) mengecam keputusan MA tersebut. Apalagi keputusan itu dibuat oleh hakim yang merupakan anggota komite permanen CPP. "Penyalahgunaan MA untuk membubarkan CNRP merupakan ancaman terburuk bagi HAM dan merepresentasikan demokrasi modern Kamboja saat ini," ujar Kingsley Abbot dari International Commission of Jurists berbasis di Jenewa.
Sebagian besar anggota parlemen dari CNRP telah melarikan diri dari Kamboja. Mereka khawatir dengan penangkapan para politikus oposisi. "Kami tidak mengetahui siapa yang menjadi target selanjutnya," ujar salah satu editor stasiun radio Voice of Democracy yang tidak mau disebutkan namanya.
Radio tersebut telah dibekukan pada Agustus lalu, tetapi mereka tetap melanjutkan siaran melalui Facebook. Nantinya, kursi parlemen CNRP akan didistribusikan pula ke partai yang beraliansi ke pemerintah setelah pembubaran oposisi. CNRP juga akan kehilangan kekuasaan di dewan pemerintahan lokal, padahal mereka memenangkan pemilu lokal pada Juni lalu.
(amm)