China Deportasi Sepuluh Warga Korut
A
A
A
SEOUL - Otoritas China telah menangkap 10 warga Korea Utara (Korut), termasuk seorang anak laki-laki berusia tiga tahun dan ibunya, dan telah mendeportasinya ke tanah air mereka yang totaliter. Begitu pernyataan seorang aktivis HAM di Korea Selatan (Korsel).
"Anak laki-laki, ibunya dan seorang warga Korea Utara lainnya meninggalkan kampung halaman mereka di dekat perbatasan dengan China 10 hari yang lalu," kata aktivis tersebut, Pendeta Kim Seung-eun, yang membantu mereka melarikan diri seperti dikutip dari New York Times, Rabu (8/11/2017).
"Mereka bersembunyi dengan tujuh warga Korea Utara lainnya di sebuah rumah di Shenyang, China, yang digerebek oleh polisi setempat pada hari Sabtu," sambung Kim.
Kim, yang mengelola jaringan aktivis dan penyelundup dari gerejanya di Korsel, mengatakan bahwa salah satu kerabatnya di Shenyang telah pergi ke kantor polisi pada hari Senin namun tidak diizinkan untuk melihat warga Korut tersebut.
"Saat kami cek lagi hari ini, para pengungsi sudah pergi. Kami takut yang terburuk terjadi pada mereka," katanya.
Kim mengaku hanya mengetahui tiga identitas dari sepuluh warga tersebut. Ia mengatakan bahwa ayah dari anak laki-laki itu telah menyimpan uang untuk membatu keluarganya meninggalkan kota mereka yang sangat menderita akibat banjir tahun lalu. Ia telah melarikan diri ke Korsel dua tahun lalu.
Kim tidak mengantongi identitas orang lain yang ditahan di China. Namun, ia mengatakan bahwa delapan dari 10 orang itu adalah wanita dan yang tertua berusia 60-an. "Beberapa dari mereka pernah tinggai di China selama beberapa tahun," katanya.
Kelompok tersebut menunggu penyelundup untuk membawa mereka melintasi China dan memasuki Laos serta Thailand, di mana sebagian besar pembelot Korut diizinkan terbang ke Korsel.
Kim mengatakan bahwa lebih dari 100 pengungsi Korut telah ditahan di China dan dideportasi sejak awal bulan lalu. Penangkapan tersebut terjadi saat polisi China memperketat kontrol perbatasan dan mengintensifkan tindakan keras terhadap imigran ilegal sebelum sebuah pertemuan kongres Partai Komunis.
"Sementara dunia disibukkan dengan krisis nuklir Korea Utara, penderitaan para pengungsi ini mendapat sedikit perhatian," katanya.
Di Seoul, juru bicara Kementerian Luar Negeri Roh Kyu-deok mengatakan bahwa Korsel "memantau dengan ketat" kasus tersebut. "Kami melakukan upaya diplomatik dengan negara terkait sehingga pembelot tidak dipulangkan secara paksa," ucap Roh.
"Kami secara konsisten meminta agar pengungsi Korea Utara dikirim ke tempat yang mereka inginkan untuk keluar dengan pertimbangan kemanusiaan," ujarnya.
Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan pada hari Selasa bahwa dia tidak mengetahui rincian kasus tersebut. Namun dia mengatakan bahwa China menangani hal-hal tersebut sesuai dengan hukum domestik dan internasional serta prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sebagian besar dari 30.000 warga Korut yang telah melarikan diri ke Korsel sejak bencana kelaparan yang menghancurkan pada tahun 1990-an telah dilakukan melalui China. Beijing memperlakukan warga Korut yang melarikan diri dari negara mereka sebagai migran ilegal, bukan sebagai pengungsi, dan sering mendeportasi mereka kembali ke Korut meskipun ada kesaksian para pembelot bahwa mereka yang kembali sering dikirim ke kamp-kamp penjara.
"Anak laki-laki, ibunya dan seorang warga Korea Utara lainnya meninggalkan kampung halaman mereka di dekat perbatasan dengan China 10 hari yang lalu," kata aktivis tersebut, Pendeta Kim Seung-eun, yang membantu mereka melarikan diri seperti dikutip dari New York Times, Rabu (8/11/2017).
"Mereka bersembunyi dengan tujuh warga Korea Utara lainnya di sebuah rumah di Shenyang, China, yang digerebek oleh polisi setempat pada hari Sabtu," sambung Kim.
Kim, yang mengelola jaringan aktivis dan penyelundup dari gerejanya di Korsel, mengatakan bahwa salah satu kerabatnya di Shenyang telah pergi ke kantor polisi pada hari Senin namun tidak diizinkan untuk melihat warga Korut tersebut.
"Saat kami cek lagi hari ini, para pengungsi sudah pergi. Kami takut yang terburuk terjadi pada mereka," katanya.
Kim mengaku hanya mengetahui tiga identitas dari sepuluh warga tersebut. Ia mengatakan bahwa ayah dari anak laki-laki itu telah menyimpan uang untuk membatu keluarganya meninggalkan kota mereka yang sangat menderita akibat banjir tahun lalu. Ia telah melarikan diri ke Korsel dua tahun lalu.
Kim tidak mengantongi identitas orang lain yang ditahan di China. Namun, ia mengatakan bahwa delapan dari 10 orang itu adalah wanita dan yang tertua berusia 60-an. "Beberapa dari mereka pernah tinggai di China selama beberapa tahun," katanya.
Kelompok tersebut menunggu penyelundup untuk membawa mereka melintasi China dan memasuki Laos serta Thailand, di mana sebagian besar pembelot Korut diizinkan terbang ke Korsel.
Kim mengatakan bahwa lebih dari 100 pengungsi Korut telah ditahan di China dan dideportasi sejak awal bulan lalu. Penangkapan tersebut terjadi saat polisi China memperketat kontrol perbatasan dan mengintensifkan tindakan keras terhadap imigran ilegal sebelum sebuah pertemuan kongres Partai Komunis.
"Sementara dunia disibukkan dengan krisis nuklir Korea Utara, penderitaan para pengungsi ini mendapat sedikit perhatian," katanya.
Di Seoul, juru bicara Kementerian Luar Negeri Roh Kyu-deok mengatakan bahwa Korsel "memantau dengan ketat" kasus tersebut. "Kami melakukan upaya diplomatik dengan negara terkait sehingga pembelot tidak dipulangkan secara paksa," ucap Roh.
"Kami secara konsisten meminta agar pengungsi Korea Utara dikirim ke tempat yang mereka inginkan untuk keluar dengan pertimbangan kemanusiaan," ujarnya.
Hua Chunying, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan pada hari Selasa bahwa dia tidak mengetahui rincian kasus tersebut. Namun dia mengatakan bahwa China menangani hal-hal tersebut sesuai dengan hukum domestik dan internasional serta prinsip-prinsip kemanusiaan.
Sebagian besar dari 30.000 warga Korut yang telah melarikan diri ke Korsel sejak bencana kelaparan yang menghancurkan pada tahun 1990-an telah dilakukan melalui China. Beijing memperlakukan warga Korut yang melarikan diri dari negara mereka sebagai migran ilegal, bukan sebagai pengungsi, dan sering mendeportasi mereka kembali ke Korut meskipun ada kesaksian para pembelot bahwa mereka yang kembali sering dikirim ke kamp-kamp penjara.
(ian)