Dibangun untuk Invasi, Terowongan Korut Kini Jadi Obyek Wisata

Minggu, 05 November 2017 - 09:14 WIB
Dibangun untuk Invasi,...
Dibangun untuk Invasi, Terowongan Korut Kini Jadi Obyek Wisata
A A A
SEOUL - Terowongan itu berada ratusan kaki di bawah permukaan bumi. Membentang dari benteng Zona Demeliterisasi Korea Utara (Korut) yang sangat kuat hingga ke negara tetangga Korea Selatan (Korsel).

Salah satu terowongan ditemukan hanya 32 mil dari Ibu Kota Korsel, Seoul.

Korsel mengatakan ada empat bagian terowongan yang disebut sebagai terowongan Agresi. Terowongan ini dibangun untuk memindahkan ribuan tentara Korut dengan cepat dan diam-diam di bawah Zona Demiliterisasu dan ke tanah Korsel untuk sebuah invasi, sebuah tuduhan yang telah lama disangkal oleh Pyongyang.

Namun dalam beberapa dekade sejak penemuan mereka, beberapa terowongan telah menemukan kehidupan baru yaitu sebagai tujuan wisata. Ribuan orang Korea dan pengunjung asing mengeksplorasi peninggalan aneh dari konflik dingin ini, yang sekarang ditekankan oleh ketegangan baru dan dalam sorotan menjelang kunjungan Presiden Trump ke Semenanjung Korea pada hari Selasa.

Selama tahun 1970-an, para pembelot Korut mengatakan kepada para pejabat di Korsel bahwa Presiden Kim Il-sung telah memerintahkan tentara untuk menggulingkan Zona Demiliterisasi dengan menggali terowongan di bawahnya untuk bersiap melakukan invasi. Tiga terowongan ditemukan segera setelahnya seperti dikutip dari New York Times, Minggu (5/11/2017).

Terowongan pertama ditemukan pada tahun 1974 oleh sebuah patroli Angkatan Darat Korsel, yang melihat uap air naik dari tanah dan mendengar suara-suara yang mencurigakan. Terowongan kedua ditemukan pada tahun 1975. Pejabat Korsel memperkirakan bahwa terowongan kedua, yang jaraknya hampir setengah mil ke wilayah mereka, dapat menampung hingga 30.000 tentara per jam.

Pada tahun 1978, sebuah terowongan yang secara signifikan lebih besar ditemukan di sebelah selatan Panmunjom, yang disebut sebagai desa gencatan senjata, tempat wisata populer lainnya di mana personil militer di kedua sisi Zona Demiliterisasi berhadapan langsung.

Terowongan keempat ditemukan pada tahun 1990, dan sementara tidak ditemukan sejak itu, beberapa menduga bahwa puluhan terowongan belum ditemukan.

Wisatawan di Korsel dapat mengunjungi tiga terowongan melalui tur berpemandu. Dengan membayar USD 10, menurut situs pariwisata resmi Korsel, pengunjung dapat menjelajahi jalur paling populer, "Terowongan Kejahatan Ketiga," yang terletak di Dorasan Observatory di barat laut Korsel.

Terowongan ini dianggap "paling mengancam sebagai alat invasi" oleh kantor pariwisata, karena kedekatannya dengan Seoul, hanya berjarak 32 mil.

Terowongan ini terletak 240 kaki di bawah permukaan. Wisatawan masuk melalui toko suvenir sebelum mulai turun curam. Mereka memakai helm untuk melindungi diri dari langit-langit yang rendah.

Sementara wisatawan bisa melihat hasil karya Korut, yang tidak dapat mereka lakukan adalah melintasi perbatasan. Pasalnya pada bagian Korut sekarang terhambat oleh lempengan beton.

Sementara Korsel memulai usaha resminya untuk membawa pengunjung ke Zona Demiliterisasi pada pertengahan 1960-an, pariwisata ke daerah tersebut telah meningkat sejak awal 2000-an.

Scott A. Snyder dari studi Korea di Council on Foreign Relations mengatakan setelah berakhirnya Perang Dingin, ia menjadi tempat dimana para wisatawan dapat melihat ketegangan era itu dalam keamanan relatif.

"Seluruh dunia tidak berada di titik pemicu seperti ini, namun inilah tempat anomali tempat masih ada senjata yang saling menunjuk satu sama lain," ulas Snyder.

"Tapi pada saat yang sama, itu seperti sebuah rahasia kecil yang semua orang tahu tidak akan ada perang," sambungnya.

Selain terowongan dan desa Panmunjom, ekowisata telah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Lebih dari enam dekade sebagai lahan tanpa manusia telah memungkinkan beberapa spesies tumbuhan dan satwa langka berkembang di Zona Demiliterisasi. Otoritas pariwisata Korsel mengatakan bahwa pihaknya telah secara tidak sengaja menjadi surga bagi satwa liar.

Sebagai ancaman dari kedua belah pihak telah kembali memicu kekhawatiran perang di Semenanjung, Snyder mendesak agar berhati-hati dalam melihat Zona Demiliterisasi sebagai sebuah artefak di masa lalu. Ia pun memperingatkan bahwa popularitasnya berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif.

"Bahayanya adalah bahwa hal itu justru meremehkan ancaman tersebut," katanya.

"Saya pikir ada perasaan bahwa potensi risiko perang ada di masa lalu - namun konflik tetap tidak terselesaikan," imbuhnya.

Dia menambahkan: "Mereka melihat konflik yang membeku tapi mereka tidak harus mengambilnya seperti itu karena unsur turis."

(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1309 seconds (0.1#10.140)