Bantah Amerika, IAEA Menilai Iran Taat Perjanjian Nuklir
A
A
A
ABU DHABI - Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menilai Iran memenuhi komitmennya sesuai kesepakatan nuklir dengan kekuatan dunia. Para pengawas IAEA juga tidak menghadapi masalah dalam proses verifikasi terhadap Teheran.
Kepala IAEA Yukiya Amano menjelaskan penilaian itu, Senin (30/10/2017). Pernyataan IAEA itu muncul setelah awal bulan ini Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menegaskan tidak akan melanjutkan kesepakatan nuklir multinasional dengan Iran pada 2015 tersebut. Kesepakatan nuklir itu tercapai saat pemerintahan Presiden AS Barack Obama.
Trump juga mengancam bisa menghentikan kesepakatan itu secara total. Untuk menanggapi pernyataan Trump tersebut, Presiden Iran Hassan Rouhani menegaskan, Teheran akan meninggalkan kesepakatan itu jika tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Meski demikian, Rouhani menambahkan, "Tak ada presiden yang bisa mencabut kesepakatan internasional dan Iran akan terus melaksanakan komitmen sesuai kesepakatan itu." Pihak-pihak lain yang terlibat dalam kesepakatan itu, yakni Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, China, dan Uni Eropa, juga menegaskan kembali komitmen mereka pada kesepakatan tersebut.
Mereka mendesak AS tidak keluar dari kesepakatan itu. Saat ini para pengawas IAEA bertugas memonitor Iran dalam menepati kesepakatan itu. Kepala IAEA Yukiya Amano juga menegaskan kembali Iran mematuhi kesepakatan tersebut.
"IAEA dapat menyatakan komitmen terkait nuklir telah dilaksanakan," kata Amano dalam konferensi pers di Abu Dhabi setelah perjalanan ke Iran akhir pekan lalu.
Dalam kunjungan ke Iran, Amano bertemu Rouhani dan para pejabat lainnya. "Saya meminta Iran sepenuhnya melaksanakan komitmen terkait nuklir. Ini penegasan utama dalam pertemuan di Iran. Terkait aktivitas para pengawas kami, mereka melaksanakan tanggung jawabnya tanpa masalah," tutur Amano.
Sesuai kesepakatan, Iran harus membatasi program nuklirnya untuk menjamin program itu tidak mengembangkan senjata nuklir. Sebagai imbalan, sanksi internasional terhadap sektor perdagangan dan keuangan Iran dicabut. Pencabutan sanksi itu pun berdampak positif bagi perekonomian Iran yang selama ini tergantung pada minyak. Amano menambahkan, para pejabat Iran terkait kesepakatan nuklir itu sangat penting untuk proses verifikasi.
Saat berbicara di sela konferensi internasional tentang tenaga nuklir di Uni Emirat Arab (UEA), Amano menolak berkomentar tentang kebijakan AS terhadap Iran serta ketidakhadiran Teheran pada pertemuan yang dihadiri para delegasi dari negara-negara anggota IAEA.
Upaya Trump mencabut kesepakatan nuklir Iran itu tergantung pada Kongres yang saat ini memutuskan menerapkan sanksi baru terhadap Teheran. Pada Kamis (26/10), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS menggelar voting untuk sanksi baru terhadap program rudal Iran. Voting itu menghasilkan 423 suara mendukung dan dua suara menolak untuk Undang-Undang Penegakan Sanksi Internasional dan Rudal Balistik Iran.
DPR AS juga mendesak Presiden Trump melaporkan ke Kongres tentang jaringan suplai internasional dan Iran untuk program rudal balistik Teheran. Selain itu, menerapkan sanksi pada Pemerintah Iran atau entitas asing yang mendukung program rudal tersebut. Trump pada 13 Oktober menegaskan, dia tidak akan menyatakan Iran menepati kesepakatan internasional untuk program nuklir dan mengancam akan menghentikan kesepakatan itu.
Langkah Trump itu membuka waktu 60 hari bagi Kongres untuk bertindak menerapkan kembali sanksi terhadap program nuklir Iran yang dicabut sesuai kesepakatan nuklir. Meski demikian, belum ada langkah terkait di DPR atau Senat. Sejumlah pejabat menjelaskan, para anggota DPR AS sedang fokus melemahkan Iran menggunakan cara lain, seperti sanksi terkait rudal dan Hezbollah.
Anggota DPR AS dari Partai Republik sekaligus Ketua Komite Urusan Luar Negeri Ed Royce menyatakan kesepakatan nuklir internasional harus dilaksanakan Washington bekerja sama dengan aliansinya. Royce merupakan penggagas draf undang-undang sanksi terhadap rudal balistik Iran.
"AS harus merespons ancaman skala penuh itu dan dengan draf undang-undang ini, itu yang sedang kami lakukan," ujar Royce.
Kepala IAEA Yukiya Amano menjelaskan penilaian itu, Senin (30/10/2017). Pernyataan IAEA itu muncul setelah awal bulan ini Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menegaskan tidak akan melanjutkan kesepakatan nuklir multinasional dengan Iran pada 2015 tersebut. Kesepakatan nuklir itu tercapai saat pemerintahan Presiden AS Barack Obama.
Trump juga mengancam bisa menghentikan kesepakatan itu secara total. Untuk menanggapi pernyataan Trump tersebut, Presiden Iran Hassan Rouhani menegaskan, Teheran akan meninggalkan kesepakatan itu jika tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Meski demikian, Rouhani menambahkan, "Tak ada presiden yang bisa mencabut kesepakatan internasional dan Iran akan terus melaksanakan komitmen sesuai kesepakatan itu." Pihak-pihak lain yang terlibat dalam kesepakatan itu, yakni Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, China, dan Uni Eropa, juga menegaskan kembali komitmen mereka pada kesepakatan tersebut.
Mereka mendesak AS tidak keluar dari kesepakatan itu. Saat ini para pengawas IAEA bertugas memonitor Iran dalam menepati kesepakatan itu. Kepala IAEA Yukiya Amano juga menegaskan kembali Iran mematuhi kesepakatan tersebut.
"IAEA dapat menyatakan komitmen terkait nuklir telah dilaksanakan," kata Amano dalam konferensi pers di Abu Dhabi setelah perjalanan ke Iran akhir pekan lalu.
Dalam kunjungan ke Iran, Amano bertemu Rouhani dan para pejabat lainnya. "Saya meminta Iran sepenuhnya melaksanakan komitmen terkait nuklir. Ini penegasan utama dalam pertemuan di Iran. Terkait aktivitas para pengawas kami, mereka melaksanakan tanggung jawabnya tanpa masalah," tutur Amano.
Sesuai kesepakatan, Iran harus membatasi program nuklirnya untuk menjamin program itu tidak mengembangkan senjata nuklir. Sebagai imbalan, sanksi internasional terhadap sektor perdagangan dan keuangan Iran dicabut. Pencabutan sanksi itu pun berdampak positif bagi perekonomian Iran yang selama ini tergantung pada minyak. Amano menambahkan, para pejabat Iran terkait kesepakatan nuklir itu sangat penting untuk proses verifikasi.
Saat berbicara di sela konferensi internasional tentang tenaga nuklir di Uni Emirat Arab (UEA), Amano menolak berkomentar tentang kebijakan AS terhadap Iran serta ketidakhadiran Teheran pada pertemuan yang dihadiri para delegasi dari negara-negara anggota IAEA.
Upaya Trump mencabut kesepakatan nuklir Iran itu tergantung pada Kongres yang saat ini memutuskan menerapkan sanksi baru terhadap Teheran. Pada Kamis (26/10), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS menggelar voting untuk sanksi baru terhadap program rudal Iran. Voting itu menghasilkan 423 suara mendukung dan dua suara menolak untuk Undang-Undang Penegakan Sanksi Internasional dan Rudal Balistik Iran.
DPR AS juga mendesak Presiden Trump melaporkan ke Kongres tentang jaringan suplai internasional dan Iran untuk program rudal balistik Teheran. Selain itu, menerapkan sanksi pada Pemerintah Iran atau entitas asing yang mendukung program rudal tersebut. Trump pada 13 Oktober menegaskan, dia tidak akan menyatakan Iran menepati kesepakatan internasional untuk program nuklir dan mengancam akan menghentikan kesepakatan itu.
Langkah Trump itu membuka waktu 60 hari bagi Kongres untuk bertindak menerapkan kembali sanksi terhadap program nuklir Iran yang dicabut sesuai kesepakatan nuklir. Meski demikian, belum ada langkah terkait di DPR atau Senat. Sejumlah pejabat menjelaskan, para anggota DPR AS sedang fokus melemahkan Iran menggunakan cara lain, seperti sanksi terkait rudal dan Hezbollah.
Anggota DPR AS dari Partai Republik sekaligus Ketua Komite Urusan Luar Negeri Ed Royce menyatakan kesepakatan nuklir internasional harus dilaksanakan Washington bekerja sama dengan aliansinya. Royce merupakan penggagas draf undang-undang sanksi terhadap rudal balistik Iran.
"AS harus merespons ancaman skala penuh itu dan dengan draf undang-undang ini, itu yang sedang kami lakukan," ujar Royce.
(amm)