Ayari, Muslimah Liberal yang Klaim Diperkosa Cucu Pendiri Ikhwanul Muslimin
A
A
A
PARIS - Henda Ayari, perempuan muslim atau muslimah yang awalnya dari kalangan Salafis berubah jadi akitivis liberal sekuler membuat tuduhan mengejutkan. Dia mengklaim diperkosa tokoh pemikir Islam terkemuka Swiss, Tariq Ramadan, yang merupakan cucu pendiri Ikhwanul Muslimin Mesir.
Tuduhan itu bergulir ke ranah hukum, di mana pengacara Ramadan bermaksud mengajukan keberatan hukum atas klaim Ayari yang dianggap sebagai fitnah.
Ayari menuduh pemikir muslim Swiss itu memperkosa dan melakukan serangan seksual terhadap dirinya di kamar hotel di Paris pada tahun 2012.
Sosok Henda Ayari sendiri tengah jadi sorotan media perihal perubahan dalam jalur pemikirannya. Penampilannya juga berubah, di mana dia melepas jilbab hitamnya dan mengenakan busana ala Barat.
Penulis Tunisia-Aljazair itu kini memimpin Libératrices, sebuah badan amal yang mendukung perempuan korban kekerasan dan ekstremisme Islam. Ayari, 40, baru-baru ini menulis sebuah buku dengan judul; “I chose to be free”, buku tentang pelariannya dari Salafisme di Prancis.
Dalam buku itu, Ayari menyebutkan seorang intelektual muslim yang memperkosanya dan menyebutnya sebagai ”Zubair”. Ternyata yang disebutkan—menurut klaimnya—adalah Tariq Ramadan. Tuduhan itu menjadi perbincangan publik setelah diekspose di halaman Facebook-nya dalam beberapa hari ini.
Dalam buku yang telah diterbitkan itu, Ayari menuliskan kisahnya memutuskan untuk meninggalkan pemikiran Salafi dan melepaskan jilbabnya untuk hidup sebagai seorang muslimah yang ”bebas” lebih dari setahun yang lalu.
Dalam memoarnya, Ayari merinci bagaimana penyerang mengundangnya untuk bertemu di sebuah hotel di Paris pada tahun 2012. Saat itu, sosok penyerang yakni Ramadan, menurut Ayari, sedang mengikuti sebuah konferensi.
Ramadan memberikan pidato dalam konferensi Organisasi-Organisasi Islam di Paris. Menurut Ayari, pria itu mengundangnya ke kamar hotel, di mana Ramadan memanfaatkan kelemahannya untuk memeluk dan menciumnya. Ketika dia menolak—menurut klaimnya—Ramadan menamparnya dengan keras.
“Ketika saya menolak, ketika saya menyuruhnya untuk berhenti, dia menghina dan mempermalukan saya. Dia menampar saya dan langsung melakukan kekerasan. Saya melihat seseorang yang tidak lagi memegang kendali atas dirinya sendiri. Saya takut dia akan membunuh saya. Saya ingin melarikan diri tapi pada saat bersamaan saya tidak percaya apa yang terjadi,” tulis Ayari di memoarnya.
”Saya mulai menangis dan dia berkata kepada saya: 'Jadi sayang, kamu merengek kan? Berhentilah berpura-pura tidak menyukainya. Kami tidak tahu seperti apa pria sejati sebelumnya. Nah, sekarang sudah.”
Ayari lahir dari seorang ibu Tunisia dan seorang ayah Aljazair. Dia tinggal di bawah komitmen Salafis selama 21 tahun dari usia 18 tahun, sampai akhirnya dia memutuskan untuk “bebas” pada usia 39 tahun.
Dia mengatakan pembebasan dirinya menjadi sekulernya terjadi setelah serangan di Paris pada tahun 2015. Serangan itu memicu dirinya untuk meninggalkan gerakan Salafi, yaitu saat dia mulai menulis ceritanya. Dia mendapatkan perhatian luas dari banyak media Prancis dan jadi bintang tamu di beberapa saluran televisi. Dia juga melayani wawancara surat kabar yang membahas bukunya.
Ayari bercerita tentang masa kecilnya yang mengerikan saat sepupunya berusaha memperkosanya pada usia sembilan tahun ketika mereka berlibur di Tunisia. Dia juga mengatakan bahwa dia terus-menerus dipukuli oleh ibunya.
Sedangkan untuk mantan suaminya—ayah dari ketiga anaknya—menurut Ayari merupakan sosok yang menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid bersama jemaah Salafi. Saat itu, keluarganya bergantung pada bantuan masyarakat.
Dia juga menceritakan sosok mantan suaminya yang seorang “fanatik”. Dia biasa dipukul jika tidak mengenakan jilbab. ”Dia menggambarkan Prancis sebagai negara orang kafir yang membenci Muslim,” kata Ayari.
Atas tekanan keluarga, Ayari mengaku harus menghentikan studi universitasnya untuk menikah di usia 21 tahun di Tunisia. Suaminya kala itu berubah menjadi sosok pria kasar dan ingin menjaganya tetap di rumah. Dia hanya diizinkan pergi ke supermarket atau menghadiri ceramah agama dengan mengenakan jilbab yang menutup penuh wajahnya atau dikenal dengan sebutan niqab.
Setelah pindah haluan dari Salafisme, ibu tiga anak ini menjadi sosok pendukung Presiden Perancis Emmanuel Macron, di mana dia pernah menulis sebuah surat panjang yang meminta Macron untuk melawan ”propaganda Islamis di Prancis”.
”Saya adalah salah satu korban,” katanya soal pengalamannya sebelumnya dengan Salafisme. ”Salafisme berkontribusi terhadap ketidaksadaran saya, sampai saya melepaskan diri dari penjara mental,” ujarnya.
”Saya belajar sejak awal bahwa (lingkungan) masyarakat adalah setan, bahwa musik dan tarian adalah kejahatan murni, bahwa kita umat Islam adalah korban konspirasi Amerika-Zionis. Itu membuat saya memotong semua hubungan dengan semua muslim yang tidak mengikuti peraturan kami sehingga saya akan masuk surga,” papar dia menceritakan doktrin Salafisme.
Selama periode tersebut, Ayari bertemu dengan kelompok Ikhwanul Muslimin di Prancis dan terlibat dalam pemikiran reaksioner dalam segala bentuknya, sampai saat yang mengejutkan pada bulan November 2015 ketika dia terbangun menghadapi serangan di Paris. Dia menggambarkan “kesadaran”-nya itu seolah-olah ada ”sengatan listrik” yang menghantamnya.
Dia mendirikan sebuah asosiasi untuk membantu ibu tunggal yang telah dikucilkan oleh suami mereka dan yang kehidupannya berakhir dengan perceraian dan isolasi sosial.
”Karena perjalanan saya ke pusat neraka seperti wanita yang menjadi korban penganiayaan (atas nama) agama dan sosial. Saya mendirikan asosiasi ini untuk memerangi diskriminasi dan ekstremisme terhadap perempuan dan membantu mereka mengatasi kesulitan,” ujarnya, seperti dilansir dari Al Arabiya.
Tuduhan itu bergulir ke ranah hukum, di mana pengacara Ramadan bermaksud mengajukan keberatan hukum atas klaim Ayari yang dianggap sebagai fitnah.
Ayari menuduh pemikir muslim Swiss itu memperkosa dan melakukan serangan seksual terhadap dirinya di kamar hotel di Paris pada tahun 2012.
Sosok Henda Ayari sendiri tengah jadi sorotan media perihal perubahan dalam jalur pemikirannya. Penampilannya juga berubah, di mana dia melepas jilbab hitamnya dan mengenakan busana ala Barat.
Penulis Tunisia-Aljazair itu kini memimpin Libératrices, sebuah badan amal yang mendukung perempuan korban kekerasan dan ekstremisme Islam. Ayari, 40, baru-baru ini menulis sebuah buku dengan judul; “I chose to be free”, buku tentang pelariannya dari Salafisme di Prancis.
Dalam buku itu, Ayari menyebutkan seorang intelektual muslim yang memperkosanya dan menyebutnya sebagai ”Zubair”. Ternyata yang disebutkan—menurut klaimnya—adalah Tariq Ramadan. Tuduhan itu menjadi perbincangan publik setelah diekspose di halaman Facebook-nya dalam beberapa hari ini.
Dalam buku yang telah diterbitkan itu, Ayari menuliskan kisahnya memutuskan untuk meninggalkan pemikiran Salafi dan melepaskan jilbabnya untuk hidup sebagai seorang muslimah yang ”bebas” lebih dari setahun yang lalu.
Dalam memoarnya, Ayari merinci bagaimana penyerang mengundangnya untuk bertemu di sebuah hotel di Paris pada tahun 2012. Saat itu, sosok penyerang yakni Ramadan, menurut Ayari, sedang mengikuti sebuah konferensi.
Ramadan memberikan pidato dalam konferensi Organisasi-Organisasi Islam di Paris. Menurut Ayari, pria itu mengundangnya ke kamar hotel, di mana Ramadan memanfaatkan kelemahannya untuk memeluk dan menciumnya. Ketika dia menolak—menurut klaimnya—Ramadan menamparnya dengan keras.
“Ketika saya menolak, ketika saya menyuruhnya untuk berhenti, dia menghina dan mempermalukan saya. Dia menampar saya dan langsung melakukan kekerasan. Saya melihat seseorang yang tidak lagi memegang kendali atas dirinya sendiri. Saya takut dia akan membunuh saya. Saya ingin melarikan diri tapi pada saat bersamaan saya tidak percaya apa yang terjadi,” tulis Ayari di memoarnya.
”Saya mulai menangis dan dia berkata kepada saya: 'Jadi sayang, kamu merengek kan? Berhentilah berpura-pura tidak menyukainya. Kami tidak tahu seperti apa pria sejati sebelumnya. Nah, sekarang sudah.”
Ayari lahir dari seorang ibu Tunisia dan seorang ayah Aljazair. Dia tinggal di bawah komitmen Salafis selama 21 tahun dari usia 18 tahun, sampai akhirnya dia memutuskan untuk “bebas” pada usia 39 tahun.
Dia mengatakan pembebasan dirinya menjadi sekulernya terjadi setelah serangan di Paris pada tahun 2015. Serangan itu memicu dirinya untuk meninggalkan gerakan Salafi, yaitu saat dia mulai menulis ceritanya. Dia mendapatkan perhatian luas dari banyak media Prancis dan jadi bintang tamu di beberapa saluran televisi. Dia juga melayani wawancara surat kabar yang membahas bukunya.
Ayari bercerita tentang masa kecilnya yang mengerikan saat sepupunya berusaha memperkosanya pada usia sembilan tahun ketika mereka berlibur di Tunisia. Dia juga mengatakan bahwa dia terus-menerus dipukuli oleh ibunya.
Sedangkan untuk mantan suaminya—ayah dari ketiga anaknya—menurut Ayari merupakan sosok yang menghabiskan sebagian besar waktunya di masjid bersama jemaah Salafi. Saat itu, keluarganya bergantung pada bantuan masyarakat.
Dia juga menceritakan sosok mantan suaminya yang seorang “fanatik”. Dia biasa dipukul jika tidak mengenakan jilbab. ”Dia menggambarkan Prancis sebagai negara orang kafir yang membenci Muslim,” kata Ayari.
Atas tekanan keluarga, Ayari mengaku harus menghentikan studi universitasnya untuk menikah di usia 21 tahun di Tunisia. Suaminya kala itu berubah menjadi sosok pria kasar dan ingin menjaganya tetap di rumah. Dia hanya diizinkan pergi ke supermarket atau menghadiri ceramah agama dengan mengenakan jilbab yang menutup penuh wajahnya atau dikenal dengan sebutan niqab.
Setelah pindah haluan dari Salafisme, ibu tiga anak ini menjadi sosok pendukung Presiden Perancis Emmanuel Macron, di mana dia pernah menulis sebuah surat panjang yang meminta Macron untuk melawan ”propaganda Islamis di Prancis”.
”Saya adalah salah satu korban,” katanya soal pengalamannya sebelumnya dengan Salafisme. ”Salafisme berkontribusi terhadap ketidaksadaran saya, sampai saya melepaskan diri dari penjara mental,” ujarnya.
”Saya belajar sejak awal bahwa (lingkungan) masyarakat adalah setan, bahwa musik dan tarian adalah kejahatan murni, bahwa kita umat Islam adalah korban konspirasi Amerika-Zionis. Itu membuat saya memotong semua hubungan dengan semua muslim yang tidak mengikuti peraturan kami sehingga saya akan masuk surga,” papar dia menceritakan doktrin Salafisme.
Selama periode tersebut, Ayari bertemu dengan kelompok Ikhwanul Muslimin di Prancis dan terlibat dalam pemikiran reaksioner dalam segala bentuknya, sampai saat yang mengejutkan pada bulan November 2015 ketika dia terbangun menghadapi serangan di Paris. Dia menggambarkan “kesadaran”-nya itu seolah-olah ada ”sengatan listrik” yang menghantamnya.
Dia mendirikan sebuah asosiasi untuk membantu ibu tunggal yang telah dikucilkan oleh suami mereka dan yang kehidupannya berakhir dengan perceraian dan isolasi sosial.
”Karena perjalanan saya ke pusat neraka seperti wanita yang menjadi korban penganiayaan (atas nama) agama dan sosial. Saya mendirikan asosiasi ini untuk memerangi diskriminasi dan ekstremisme terhadap perempuan dan membantu mereka mengatasi kesulitan,” ujarnya, seperti dilansir dari Al Arabiya.
(mas)