Sanksi PBB Sebabkan Kerusakan Kolosal di Korut
A
A
A
PYONGYANG - Korea Utara (Korut) mengatakan sanksi internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) menyebabkan kerusakan "kolosal" di negara miskin tersebut. Namun, sangat bodoh bagi Washington untuk berpikir bahwa sanksi tersebut akan menghentikan program senjata nuklir negara tersebut.
Pejabat Korut baru-baru ini membentuk sebuah komite untuk menyelidiki kerusakan yang telah ditimbulkan sanksi terhadap ekonomi negara tersebut dan kesejahteraan penduduk. Para analis menyebut kerja komite tersebut dirancang untuk menarik simpati internasional dengan menyoroti penderitaan anak-anak Korut, wanita dan orang lanjut usia.
"Sanksi tersebut adalah tindakan kriminal brutal yang tanpa pandang bulu melanggar hak keberadaan warga sipil yang damai," kata seorang juru bicara Komite Investigasi Kerusakan akibat Sanksi dalam sebuah pernyataan yang diajukan oleh Kantor Berita Pusat Korut.
"Banyaknya kerusakan yang disebabkan oleh sanksi ini terhadap perkembangan negara kita dan penghidupan rakyat berada di luar perhitungan siapa pun," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari New York Times, Sabtu (30/9/2017).
Pernyataan Korut tersebut muncul setelah perintah eksekutif Presiden Trump minggu lalu, yang memperkuat kewenangan pemerintahannya untuk menargetkan bank-bank asing yang memfasilitasi perdagangan dengan negara komunis itu. Pada hari Selasa, AS menambahkan delapan bank Korut ke daftar hitam sanksinya.
Pada hari Kamis, China mengatakan akan menutup usaha patungan dengan Korut dalam waktu 120 hari, sesuai dengan sanksi PBB terakhir.
Korut telah menghadapi sanksi selama beberapa dekade, merancang cara untuk mengelak dari mereka.
Juru bicara Korut yang tidak dikenal mengatakan bahwa sebuah mimpi bodoh untuk berharap bahwa sanksi tersebut dapat berjalan di negara itu setelah mereka gagal menghentikannya menjadi negara yang memiliki senjata nuklir.
Setelah Korut melakukan uji coba rudal balistik nuklir dan antarbenua, pemerintah Trump memperkuat kampanyenya untuk memeras Korut secara finansial sambil memperingatkan bahwa tindakan militer juga ada di atas meja.
Dalam dua babak terakhir sanksi yang diadopsi pada 5 Agustus dan 11 September, Dewan Keamanan PBB berusaha untuk melarang ekspor Korut yang penting, seperti tekstil, batubara, besi dan makanan laut.
Sesuai dengan sanksi tersebut, Kuwait, Qatar, Malaysia dan Malta telah berhenti mengeluarkan visa untuk pekerja Korut dan menghentikan penggunaan para pekerja, yang upahnya membantu membiayai pemerintah Korut dan program nuklir serta misilnya.
Polandia adalah satu-satunya negara di Eropa yang masih menjadi tuan rumah sejumlah besar pekerja Korut. Sementara sebagian besar pekerja Korut yang tinggal di luar negara itu berada di China atau Rusia.
China menyumbang 90 persen perdagangan luar negeri Korut. Para ahli mengatakan sanksi tersebut tidak akan berjalan tanpa dukungan China.
Pejabat Korut baru-baru ini membentuk sebuah komite untuk menyelidiki kerusakan yang telah ditimbulkan sanksi terhadap ekonomi negara tersebut dan kesejahteraan penduduk. Para analis menyebut kerja komite tersebut dirancang untuk menarik simpati internasional dengan menyoroti penderitaan anak-anak Korut, wanita dan orang lanjut usia.
"Sanksi tersebut adalah tindakan kriminal brutal yang tanpa pandang bulu melanggar hak keberadaan warga sipil yang damai," kata seorang juru bicara Komite Investigasi Kerusakan akibat Sanksi dalam sebuah pernyataan yang diajukan oleh Kantor Berita Pusat Korut.
"Banyaknya kerusakan yang disebabkan oleh sanksi ini terhadap perkembangan negara kita dan penghidupan rakyat berada di luar perhitungan siapa pun," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari New York Times, Sabtu (30/9/2017).
Pernyataan Korut tersebut muncul setelah perintah eksekutif Presiden Trump minggu lalu, yang memperkuat kewenangan pemerintahannya untuk menargetkan bank-bank asing yang memfasilitasi perdagangan dengan negara komunis itu. Pada hari Selasa, AS menambahkan delapan bank Korut ke daftar hitam sanksinya.
Pada hari Kamis, China mengatakan akan menutup usaha patungan dengan Korut dalam waktu 120 hari, sesuai dengan sanksi PBB terakhir.
Korut telah menghadapi sanksi selama beberapa dekade, merancang cara untuk mengelak dari mereka.
Juru bicara Korut yang tidak dikenal mengatakan bahwa sebuah mimpi bodoh untuk berharap bahwa sanksi tersebut dapat berjalan di negara itu setelah mereka gagal menghentikannya menjadi negara yang memiliki senjata nuklir.
Setelah Korut melakukan uji coba rudal balistik nuklir dan antarbenua, pemerintah Trump memperkuat kampanyenya untuk memeras Korut secara finansial sambil memperingatkan bahwa tindakan militer juga ada di atas meja.
Dalam dua babak terakhir sanksi yang diadopsi pada 5 Agustus dan 11 September, Dewan Keamanan PBB berusaha untuk melarang ekspor Korut yang penting, seperti tekstil, batubara, besi dan makanan laut.
Sesuai dengan sanksi tersebut, Kuwait, Qatar, Malaysia dan Malta telah berhenti mengeluarkan visa untuk pekerja Korut dan menghentikan penggunaan para pekerja, yang upahnya membantu membiayai pemerintah Korut dan program nuklir serta misilnya.
Polandia adalah satu-satunya negara di Eropa yang masih menjadi tuan rumah sejumlah besar pekerja Korut. Sementara sebagian besar pekerja Korut yang tinggal di luar negara itu berada di China atau Rusia.
China menyumbang 90 persen perdagangan luar negeri Korut. Para ahli mengatakan sanksi tersebut tidak akan berjalan tanpa dukungan China.
(ian)