Kamp Pengungsi Rohingya di Ambang Bencana Kesehatan
A
A
A
COXS BAZAR - Hampir 430 ribu Rohingya telah mengalir ke dalam pengungsian Cox's Bazar di Bangladesh dalam waktu kurang dari sebulan. Lembaga kemanusiaan Doctors Without Borders (MSF) memperingatkan bahwa bantuan kemanusiaan skala besar dibutuhkan di Bangladesh untuk menghindari bencana kesehatan masyarakat.
"Kami setiap hari menerima orang dewasa di puncak kematian akibat dehidrasi," kata Kate White, koordinator medis darurat kelompok tersebut.
"Itu sangat langka di kalangan orang dewasa, dan memberi sinyal bahwa keadaan darurat kesehatan masyarakat bisa terjadi di sekitar sini," imbuhnya seperti dikutip dari Al Arabiya, Sabtu (23/9/2017).
Tidak ada jalan resmi ke permukiman kumuh yang bermunculan di luar kamp-kamp resmi, mempersulit pengiriman bantuan ke daerah perbukitan yang licin dan berlumpur.
"Tidak ada jamban yang lengkap. Saat Anda berjalan menuju tempat pengungsian, Anda harus melewati air kotor dan kotoran manusia," ungkapnya.
"Dengan distribusi makanan yang kacau dan tidak merata, banyak orang Rohingya hanya makan satu kali nasi putih per hari," imbuhnya.
Pasukan Bangladesh dikerahkan minggu ini untuk membangun lebih banyak toilet dan tempat penampungan bagi ribuan orang yang masih tidur di tempat terbuka yang telah memasuki musim hujan.
Pada hari Jumat Badan Pengungsi PBB mengatakan bahwa pihaknya mempercepat penyebaran lembaran plastik untuk memberikan perlindungan dasar saat pihak berwenang bekerja untuk mendirikan tempat penampungan baru seluas 2.000 hektar.
"Kamp-kamp tersebut meledak dan ya, ada risiko penyakit, oleh karena itu perluasannya sangat penting," kata juru bicara UNHCR Andrej Mahecic.
Menurut MSF, potensi wabah penyakit menular sangat tinggi. Hal ini merujuk pada peningkatan populasi yang cepat dan cakupan vaksinasi yang rendah di antara warga Rohingya, yang tinggal dalam kondisi miskin di Myanmar.
"Satu peristiwa kecil dapat menyebabkan wabah yang mungkin merupakan titik kritis antara krisis dan malapetaka," kata koordinator darurat MSF Robert Onus.
Keadaan darurat kemanusiaan telah memunculkan tekanan global terhadap pemerintah Myanmar untuk menghentikan operasi militer di negara bagian Rakhine. Wilayah ini dulunya merupakan rumah bagi 1,1 juta penduduk Rohingya.
Kaum minoritas tanpa kewarganegaraan telah mendekam di bawah diskriminasi bertahun-tahun di negara mayoritas Budha itu. Kewarganegaraan mereka ditolakdan berjuang untuk mengakses layanan kesehatan dan layanan dasar lainnya.
Tentara telah mempertahankan operasinya sebagai respon yang proporsional terhadap gerilyawan Rohingya yang menyerang pos polisi pada 25 Agustus lalu.
"Kami setiap hari menerima orang dewasa di puncak kematian akibat dehidrasi," kata Kate White, koordinator medis darurat kelompok tersebut.
"Itu sangat langka di kalangan orang dewasa, dan memberi sinyal bahwa keadaan darurat kesehatan masyarakat bisa terjadi di sekitar sini," imbuhnya seperti dikutip dari Al Arabiya, Sabtu (23/9/2017).
Tidak ada jalan resmi ke permukiman kumuh yang bermunculan di luar kamp-kamp resmi, mempersulit pengiriman bantuan ke daerah perbukitan yang licin dan berlumpur.
"Tidak ada jamban yang lengkap. Saat Anda berjalan menuju tempat pengungsian, Anda harus melewati air kotor dan kotoran manusia," ungkapnya.
"Dengan distribusi makanan yang kacau dan tidak merata, banyak orang Rohingya hanya makan satu kali nasi putih per hari," imbuhnya.
Pasukan Bangladesh dikerahkan minggu ini untuk membangun lebih banyak toilet dan tempat penampungan bagi ribuan orang yang masih tidur di tempat terbuka yang telah memasuki musim hujan.
Pada hari Jumat Badan Pengungsi PBB mengatakan bahwa pihaknya mempercepat penyebaran lembaran plastik untuk memberikan perlindungan dasar saat pihak berwenang bekerja untuk mendirikan tempat penampungan baru seluas 2.000 hektar.
"Kamp-kamp tersebut meledak dan ya, ada risiko penyakit, oleh karena itu perluasannya sangat penting," kata juru bicara UNHCR Andrej Mahecic.
Menurut MSF, potensi wabah penyakit menular sangat tinggi. Hal ini merujuk pada peningkatan populasi yang cepat dan cakupan vaksinasi yang rendah di antara warga Rohingya, yang tinggal dalam kondisi miskin di Myanmar.
"Satu peristiwa kecil dapat menyebabkan wabah yang mungkin merupakan titik kritis antara krisis dan malapetaka," kata koordinator darurat MSF Robert Onus.
Keadaan darurat kemanusiaan telah memunculkan tekanan global terhadap pemerintah Myanmar untuk menghentikan operasi militer di negara bagian Rakhine. Wilayah ini dulunya merupakan rumah bagi 1,1 juta penduduk Rohingya.
Kaum minoritas tanpa kewarganegaraan telah mendekam di bawah diskriminasi bertahun-tahun di negara mayoritas Budha itu. Kewarganegaraan mereka ditolakdan berjuang untuk mengakses layanan kesehatan dan layanan dasar lainnya.
Tentara telah mempertahankan operasinya sebagai respon yang proporsional terhadap gerilyawan Rohingya yang menyerang pos polisi pada 25 Agustus lalu.
(ian)