Lebih dari 60 Tahun, Korban Racun Merkuri Jepang Berjuang untuk Didengar
A
A
A
MINAMATA - Shinobu Sakamoto baru berumur 15 tahun saat meninggalkan rumahnya di desa nelayan Minamata di Jepang selatan untuk pergi ke Stockholm. Ia ke Stockholm untuk menceritakan tentang kengerian keracunan merkuri.
Empat puluh lima tahun kemudian, dia bepergian lagi, kali ini ke Jenewa, untuk menghadiri sebuah pertemuan penandatanganan pakta global pertama yang mengendalikan polusi merkuri.
Sakamoto adalah salah satu dari kelompok korban dari bencana industri tahun 1950 di mana puluhan ribu orang terpapar racun setelah air limbah dari pabrik kimia meresap ke teluk Minamata.
Limbah tersebut mengandung senyawa organik beracun, methylmercury, yang dapat menyebabkan kerusakan parah pada otak dan sistem saraf, yang menyebabkan suatu kondisi yang disebut penyakit Minamata. Insiden ini menjadi insipirasi bagi nama perjanjian yang didukung PBB yang mulai berlaku bulan lalu.
Gejala keracunan yang semakin memburuk seiring bertambahnya usia, membuat beberapa korban bergulat dengan pertanyaan siapa yang akan merawat mereka setelah kematian saudara kandung dan orang tua, sementara yang lainnya menghadapi perselisihan hukum.
"Jika saya tidak mengatakan sesuatu, tidak ada yang akan tahu tentang penyakit Minamata," kata Sakamoto, salah satu dari yang sedikit terlahir dengan penyakit itu yang masih bisa diajak bicara.
"Masih banyak masalah, dan saya ingin orang tahu," sambungnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (21/9/2017).
Data kementerian lingkungan Jepang menunjukkan hanya 528 orang yang selamat dari 3.000 korban penyakit Minamata yang tercatat. Lebih dari 20.000 orang berusaha mendapatkan pengakuan sebagai korban, dengan harapan mendapat kompensasi hukum.
"Kita perlu menganggap serius fakta bahwa masih banyak orang yang mengangkat tangan mereka," kata pejabat kementerian Koji Sasaki, merujuk pada upaya korban untuk mendapatkan pengakuan.
Lahir di sebuah keluarga pembuat kapal yang rumahnya menghadap ke teluk Minamata, Jitsuko Tanaka (64) biasa bermain di pantai bersama kakaknya, memetik dan memakan kerang, tidak menyadari bahwa itu terkontaminasi dengan merkuri.
Dia hampir berumur tiga tahun, dan kakaknya yang berumur lima tahun, ketika mereka kehilangan kemampuan untuk menggerakkan tangan mereka dengan bebas dan berjalan dengan baik, menjadi yang pertama diidentifikasi sebagai penderita penyakit Minamata.
Kakak perempuan Tanaka meninggal pada usia delapan tahun. Tanaka selamat, tapi keracunan membuatnya terlalu lemah untuk berjalan tanpa bantuan. Beberapa tahun yang lalu, keluarganya mengatakan, bahkan itu menjadi tidak mungkin.
Saat dia berbaring tak bergerak di tempat tidur, saudara iparnya, sesama penderita, mengatakan bahwa dia khawatir dengan pasien yang masih hidup saat anggota keluarga meninggal.
"Setelah aku mati, siapa yang akan menjaganya?" Tanya Yoshio Shimoda (69).
Enam puluh satu tahun sejak penyakit Minamata diidentifikasi pada tahun 1956, perjuangan atas pengakuan terhadap penyakit itu semakin berkurang.
Sebelum pemerintah menamakan methylmercury sebagai penyebabnya pada tahun 1968, penderita penyakit menghadapi diskriminasi karena ketakutan penyakit itu menular, yang menghalangi banyak orang untuk mencari pengakuan hukum.
"Orang-orang masih mengirimkan tali pusar berusia puluhan tahun untuk diperiksa kontaminasi, dengan harapan menjadi bukti untuk mendukung klaim mereka sebagai korban," kata Hirokatsu Akagi, direktur Laboratorium Mercury Internasional Minamata.
Sakamoto, yang keracunan saat masih di rahim, menganggap tugasnya untuk memberitahu dunia tentang bahaya merkuri.
"Penyakit Minamata belum berakhir; Ini bukan masa lalu," tegasnya.
Empat puluh lima tahun kemudian, dia bepergian lagi, kali ini ke Jenewa, untuk menghadiri sebuah pertemuan penandatanganan pakta global pertama yang mengendalikan polusi merkuri.
Sakamoto adalah salah satu dari kelompok korban dari bencana industri tahun 1950 di mana puluhan ribu orang terpapar racun setelah air limbah dari pabrik kimia meresap ke teluk Minamata.
Limbah tersebut mengandung senyawa organik beracun, methylmercury, yang dapat menyebabkan kerusakan parah pada otak dan sistem saraf, yang menyebabkan suatu kondisi yang disebut penyakit Minamata. Insiden ini menjadi insipirasi bagi nama perjanjian yang didukung PBB yang mulai berlaku bulan lalu.
Gejala keracunan yang semakin memburuk seiring bertambahnya usia, membuat beberapa korban bergulat dengan pertanyaan siapa yang akan merawat mereka setelah kematian saudara kandung dan orang tua, sementara yang lainnya menghadapi perselisihan hukum.
"Jika saya tidak mengatakan sesuatu, tidak ada yang akan tahu tentang penyakit Minamata," kata Sakamoto, salah satu dari yang sedikit terlahir dengan penyakit itu yang masih bisa diajak bicara.
"Masih banyak masalah, dan saya ingin orang tahu," sambungnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis (21/9/2017).
Data kementerian lingkungan Jepang menunjukkan hanya 528 orang yang selamat dari 3.000 korban penyakit Minamata yang tercatat. Lebih dari 20.000 orang berusaha mendapatkan pengakuan sebagai korban, dengan harapan mendapat kompensasi hukum.
"Kita perlu menganggap serius fakta bahwa masih banyak orang yang mengangkat tangan mereka," kata pejabat kementerian Koji Sasaki, merujuk pada upaya korban untuk mendapatkan pengakuan.
Lahir di sebuah keluarga pembuat kapal yang rumahnya menghadap ke teluk Minamata, Jitsuko Tanaka (64) biasa bermain di pantai bersama kakaknya, memetik dan memakan kerang, tidak menyadari bahwa itu terkontaminasi dengan merkuri.
Dia hampir berumur tiga tahun, dan kakaknya yang berumur lima tahun, ketika mereka kehilangan kemampuan untuk menggerakkan tangan mereka dengan bebas dan berjalan dengan baik, menjadi yang pertama diidentifikasi sebagai penderita penyakit Minamata.
Kakak perempuan Tanaka meninggal pada usia delapan tahun. Tanaka selamat, tapi keracunan membuatnya terlalu lemah untuk berjalan tanpa bantuan. Beberapa tahun yang lalu, keluarganya mengatakan, bahkan itu menjadi tidak mungkin.
Saat dia berbaring tak bergerak di tempat tidur, saudara iparnya, sesama penderita, mengatakan bahwa dia khawatir dengan pasien yang masih hidup saat anggota keluarga meninggal.
"Setelah aku mati, siapa yang akan menjaganya?" Tanya Yoshio Shimoda (69).
Enam puluh satu tahun sejak penyakit Minamata diidentifikasi pada tahun 1956, perjuangan atas pengakuan terhadap penyakit itu semakin berkurang.
Sebelum pemerintah menamakan methylmercury sebagai penyebabnya pada tahun 1968, penderita penyakit menghadapi diskriminasi karena ketakutan penyakit itu menular, yang menghalangi banyak orang untuk mencari pengakuan hukum.
"Orang-orang masih mengirimkan tali pusar berusia puluhan tahun untuk diperiksa kontaminasi, dengan harapan menjadi bukti untuk mendukung klaim mereka sebagai korban," kata Hirokatsu Akagi, direktur Laboratorium Mercury Internasional Minamata.
Sakamoto, yang keracunan saat masih di rahim, menganggap tugasnya untuk memberitahu dunia tentang bahaya merkuri.
"Penyakit Minamata belum berakhir; Ini bukan masa lalu," tegasnya.
(ian)