Patuhi DK PBB, China Akhirnya Larang Impor Andalan Korut
A
A
A
BEIJING - China telah mengumumkan larangan penuh impor produk-produk andalan dari Korea Utara (Korut), yakni tambang dan makanan laut. Langkah China untuk mematuhi resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) ini bisa membuat ekonomi sekutunya itu sekarat.
Mulai Selasa (15/8/2017), tidak ada lagi ekspor batubara, besi, bijih besi, timbal, dan makanan laut Pyongyang yang akan diterima di Beijing. Demikian pengumuman Kementerian Perdagangan China pada hari Senin.
Barang-barang impor Korut yang sudah sampai di pelabuhan dan bea cukai China harus dilepaskan selambat-lambatnya 5 September 2017.
Namun, langkah-langkah tersebut tidak diterapkan pada ekspor batubara melalui pelabuhan Rason, Korea Utara, oleh pihak ketiga, jika mendapat persetujuan PBB dan dapat membuktikan bahwa barang tersebut tidak berasal dari Korut.
Pengumuman tersebut mengindikasikan bahwa Beijing mematuhi resolusi terbaru DK PBB terhadap Pyongyang untuk “mematikan” sumber pendapatan utama negara komunis. Sanksi DK PBB itu bermaksud menghentikan pendapatan luar negeri tahunan Korut sebesar USD1 miliar. Sanksi ini sebagai respons atas kenekatan negara tersebut menguji tembak rudal balistik antarbenua atau ICBM.
China selama ini dianggap sebagai sekutu ekonomi utama Korea Utara, dan keberhasilan sanksi DK PBB sebagian besar bergantung pada Beijing.
Menyusul pemungutan suara untuk resolusi DK PBB terhadap Pyongyang pada 5 Agustus 2017, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengakui bahwa resolusi itu akan mempengaruhi kepentingan ekonomi Korea Utara. Namun, dia berjanji bahwa Beijing siap “membayar sebagian besar harga” untuk resolusi itu.
Baca Juga: Seluruh Dubes Korut untuk Negara Besar Dipanggil Pulang
Rezim Kim Jong-un yang berkuasa di Korut telah memanggil pulang seluruh duta besarnya untuk negara-negara besar guna pertemuan di Pyongyang. Salah satu agenda pertemuan itu, kemungkinan membahas respons negara tersebut atas sanksi DK PBB. Pemanggilan pulang para diplomat Korut ini terjadi di tengah memanasnya retorika perang antrara rezim Kim Jong-un dengan pemerintah Presiden Donald Trump.
”Korea Utara mengadakan pertemuan ke-43 para duta besar pada bulan Juli 2015 dan (pertemuan terakhir) tampaknya sesuai dengan itu,” kata juru bicara Kementerian Unifikasi Korea Selatan, Baik Tae-hyun, seperti dikutip Yonhap.
“Pertemuan tersebut mungkin untuk menghadapi keadaan internasional yang sulit yang sedang ditangani negara itu,” lanjut dia.
Mulai Selasa (15/8/2017), tidak ada lagi ekspor batubara, besi, bijih besi, timbal, dan makanan laut Pyongyang yang akan diterima di Beijing. Demikian pengumuman Kementerian Perdagangan China pada hari Senin.
Barang-barang impor Korut yang sudah sampai di pelabuhan dan bea cukai China harus dilepaskan selambat-lambatnya 5 September 2017.
Namun, langkah-langkah tersebut tidak diterapkan pada ekspor batubara melalui pelabuhan Rason, Korea Utara, oleh pihak ketiga, jika mendapat persetujuan PBB dan dapat membuktikan bahwa barang tersebut tidak berasal dari Korut.
Pengumuman tersebut mengindikasikan bahwa Beijing mematuhi resolusi terbaru DK PBB terhadap Pyongyang untuk “mematikan” sumber pendapatan utama negara komunis. Sanksi DK PBB itu bermaksud menghentikan pendapatan luar negeri tahunan Korut sebesar USD1 miliar. Sanksi ini sebagai respons atas kenekatan negara tersebut menguji tembak rudal balistik antarbenua atau ICBM.
China selama ini dianggap sebagai sekutu ekonomi utama Korea Utara, dan keberhasilan sanksi DK PBB sebagian besar bergantung pada Beijing.
Menyusul pemungutan suara untuk resolusi DK PBB terhadap Pyongyang pada 5 Agustus 2017, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengakui bahwa resolusi itu akan mempengaruhi kepentingan ekonomi Korea Utara. Namun, dia berjanji bahwa Beijing siap “membayar sebagian besar harga” untuk resolusi itu.
Baca Juga: Seluruh Dubes Korut untuk Negara Besar Dipanggil Pulang
Rezim Kim Jong-un yang berkuasa di Korut telah memanggil pulang seluruh duta besarnya untuk negara-negara besar guna pertemuan di Pyongyang. Salah satu agenda pertemuan itu, kemungkinan membahas respons negara tersebut atas sanksi DK PBB. Pemanggilan pulang para diplomat Korut ini terjadi di tengah memanasnya retorika perang antrara rezim Kim Jong-un dengan pemerintah Presiden Donald Trump.
”Korea Utara mengadakan pertemuan ke-43 para duta besar pada bulan Juli 2015 dan (pertemuan terakhir) tampaknya sesuai dengan itu,” kata juru bicara Kementerian Unifikasi Korea Selatan, Baik Tae-hyun, seperti dikutip Yonhap.
“Pertemuan tersebut mungkin untuk menghadapi keadaan internasional yang sulit yang sedang ditangani negara itu,” lanjut dia.
(mas)