Duterte Ancam Membom Sekolah Adat
A
A
A
MANILA - Presiden Filipina memicu kekhawatiran di antara kelompok hak asasi manusia setelah mengancam akan membom sekolah-sekolah adat. Ia menuduh mereka telah mengajar siswa untuk menjadi pemberontak komunis.
Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan televisi pada hari Senin, Rodrigo Duterte mengutuk pemberontak karena menghancurkan jembatan dan membakar sekolah di pedesaan. Namun para pemberontak menyelamatkan sekolah adat Lumad, yang menurutnya beroperasi di bawah kontrol pemberontak tanpa izin pemerintah.
"Keluar dari sana, sekarang saya memberi tahu Lumad. Saya akan mengebom, termasuk struktur Anda," kata Duterte seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (26/7/2017).
"Saya akan menggunakan angkatan bersenjata, angkatan udara Filipina. Saya benar-benar akan mengebom mereka karena Anda beroperasi secara ilegal dan Anda sedang mengajar anak-anak untuk memberontak melawan pemerintah," ujarnya.
Duterte juga menyerukan penghapusan Komisi Hak Asasi Manusia, sebuah badan independen yang dibuat berdasarkan undang-undang dasar. Dia menuntut agar komisi dan ombudsman pemerintah tersebut, yang menginvestigasi pejabat karena korupsi dan pelanggaran lainnya, mengajukan permintaan untuk menginvestigasi polisi dan personil militer melalui dia, dan menetapkan kondisi di mana dia mengizinkan penyelidikan tersebut.
"Jika ombudsman gagal mengatasi kekejaman yang dilakukan oleh gerilyawan terhadap pasukan pemerintah, sehingga Anda bisa mendapatkan kebenaran dan keseluruhan cerita, maka jangan menyelidiki tentara dan polisi saya," katanya.
Kelompok hak asasi manusia meminta dia untuk menarik kembali ancaman tersebut. Mereka memperingatkan bahwa serangan semacam itu merupakan kejahatan perang.
Human Rights Watch yang berbasis di Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa undang-undang kemanusiaan internasional melarang serangan terhadap sekolah dan bangunan sipil lainnya kecuali jika mereka digunakan untuk tujuan militer. Kelompok itu menambahkan bahwa serangan yang disengaja terhadap warga sipil, termasuk pelajar dan guru, juga merupakan kejahatan perang.
"Dengan menyerukan sebuah serangan ke sekolah, Duterte mengarahkan militer untuk melakukan kejahatan perang," kata Carlos Conde dari Human Rights Watch.
Conde mendesak Duterte untuk menandatangani sebuah pernyataan politik internasional 2015, the Safe Schools Declaration. Deklarasi itu meminta pemerintah untuk mendukung perlindungan siswa, guru dan sekolah pada saat konflik bersenjata.
Anggota parlemen Leftwing Emmi de Jesus dari partai Gabriela Women meminta Duterte untuk menarik kembali ancaman tersebut. Ia mengatakan bahwa pasukan pemerintah dapat menggunakannya sebagai alasan untuk menyerang sekolah dan masyarakat adat di selatan negara itu yang mendapat ancaman dari milisi pro-militer dalam beberapa tahun terakhir.
Marah oleh serangan pemberontak komunis baru-baru ini terhadap pasukan pemerintah, termasuk sebuah baku tembak senjata akhir pekan lalu yang melukai lima anggota kelompok elitnya, Duterte telah membatalkan perundingan damai dengan gerilyawan Maois dan mengancam simpatisannya.
Duterte naik ke kursi kepresidenan pada tahun 2016 setelah mengkampanyekan pendekatan ekstra keras terhadap kejahatan. Dia tetap populer meski ribuan kematian dalam tindakan keras anti obat bius nasionalnya, dan popularitasnya yang terus berlanjut. Kelompok oposisi yang tidak efektif rupanya membuatnya semakin berani.
Dalam sebuah konferensi pers yang disiarkan televisi pada hari Senin, Rodrigo Duterte mengutuk pemberontak karena menghancurkan jembatan dan membakar sekolah di pedesaan. Namun para pemberontak menyelamatkan sekolah adat Lumad, yang menurutnya beroperasi di bawah kontrol pemberontak tanpa izin pemerintah.
"Keluar dari sana, sekarang saya memberi tahu Lumad. Saya akan mengebom, termasuk struktur Anda," kata Duterte seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (26/7/2017).
"Saya akan menggunakan angkatan bersenjata, angkatan udara Filipina. Saya benar-benar akan mengebom mereka karena Anda beroperasi secara ilegal dan Anda sedang mengajar anak-anak untuk memberontak melawan pemerintah," ujarnya.
Duterte juga menyerukan penghapusan Komisi Hak Asasi Manusia, sebuah badan independen yang dibuat berdasarkan undang-undang dasar. Dia menuntut agar komisi dan ombudsman pemerintah tersebut, yang menginvestigasi pejabat karena korupsi dan pelanggaran lainnya, mengajukan permintaan untuk menginvestigasi polisi dan personil militer melalui dia, dan menetapkan kondisi di mana dia mengizinkan penyelidikan tersebut.
"Jika ombudsman gagal mengatasi kekejaman yang dilakukan oleh gerilyawan terhadap pasukan pemerintah, sehingga Anda bisa mendapatkan kebenaran dan keseluruhan cerita, maka jangan menyelidiki tentara dan polisi saya," katanya.
Kelompok hak asasi manusia meminta dia untuk menarik kembali ancaman tersebut. Mereka memperingatkan bahwa serangan semacam itu merupakan kejahatan perang.
Human Rights Watch yang berbasis di Amerika Serikat (AS) mengatakan bahwa undang-undang kemanusiaan internasional melarang serangan terhadap sekolah dan bangunan sipil lainnya kecuali jika mereka digunakan untuk tujuan militer. Kelompok itu menambahkan bahwa serangan yang disengaja terhadap warga sipil, termasuk pelajar dan guru, juga merupakan kejahatan perang.
"Dengan menyerukan sebuah serangan ke sekolah, Duterte mengarahkan militer untuk melakukan kejahatan perang," kata Carlos Conde dari Human Rights Watch.
Conde mendesak Duterte untuk menandatangani sebuah pernyataan politik internasional 2015, the Safe Schools Declaration. Deklarasi itu meminta pemerintah untuk mendukung perlindungan siswa, guru dan sekolah pada saat konflik bersenjata.
Anggota parlemen Leftwing Emmi de Jesus dari partai Gabriela Women meminta Duterte untuk menarik kembali ancaman tersebut. Ia mengatakan bahwa pasukan pemerintah dapat menggunakannya sebagai alasan untuk menyerang sekolah dan masyarakat adat di selatan negara itu yang mendapat ancaman dari milisi pro-militer dalam beberapa tahun terakhir.
Marah oleh serangan pemberontak komunis baru-baru ini terhadap pasukan pemerintah, termasuk sebuah baku tembak senjata akhir pekan lalu yang melukai lima anggota kelompok elitnya, Duterte telah membatalkan perundingan damai dengan gerilyawan Maois dan mengancam simpatisannya.
Duterte naik ke kursi kepresidenan pada tahun 2016 setelah mengkampanyekan pendekatan ekstra keras terhadap kejahatan. Dia tetap populer meski ribuan kematian dalam tindakan keras anti obat bius nasionalnya, dan popularitasnya yang terus berlanjut. Kelompok oposisi yang tidak efektif rupanya membuatnya semakin berani.
(ian)