Mahasiswa AS Koma, Penyelidik HAM PBB Tuntut Penjelasan Korut
A
A
A
JENEWA - Seorang penyelidik hak asasi manusia (HAM) PBB meminta Korea Utara (Korut) untuk menjelaskan terkait kondisi koma yang dialami seorang mahasiswa asal Amerika Serikat (AS). Mahasiswa tersebut koma setelah lebih dari satu tahun di tahan di negara komunis tersebut.
Otto Warmbier mengalami cedera otak parah dan dalam keadaan tidak responsif. Keluarganya mengatakan bahwa dia mengalami koma sejak Maret 2016, tak lama setelah dia dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa di Korea Utara.
Baca Juga: Mahasiswa AS yang Dibebaskan Korut Alami Cedera Otak Parah
"Sementara saya menyambut baik kabar pembebasan Warmbier, saya sangat prihatin dengan kondisinya, dan pihak berwenang harus memberikan penjelasan yang jelas tentang apa yang membuatnya tergelincir dalam keadaan koma," kata Tomas Ojea Quintana seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (17/6/2017).
Tomas Ojea Quintana adalah pelapor khusus PBB mengenai hak asasi manusia di Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) nama lengkap Korut.
"Tampaknya ada hubungan yang tidak proporsional antara tindakan atau kejahatan yang dituduhkan oleh Otto Warmbier dan hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari sudut pandang hak asasi manusia. Ada kekhawatiran serius dalam perhatian ini," katanya lagi.
Ojea Quintana pun meminta Korut untuk menjelaskan penyebab dan keadaan pembebasan Otto Warmbier.
"Siksaan beratnya bisa dicegah jika dia tidak dihalangi untuk mendapatkan hak dasar saat dia ditangkap, seperti akses ke petugas konsuler dan perwakilan oleh penasihat hukum independen yang dia pilih," tambah Ojea Quintana, seorang pengacara dan ahli hak sipil PBB.
Quintana lantas mengungkapkan dua warga AS lainnya ditangkap tahun ini karena diduga merencanakan tindakan anti-negara dan tetap dalam tahanan. Keduanya profesor universitas di Pyongyang.
"Yang terpenting, dimanapun mereka berada, seseorang dapat bertemu mereka selain melihat mereka di pengadilan umum. Ini adalah sesuatu yang telah saya coba lakukan untuk narapidana nasional asing. Di sinilah letak masalahnya," katanya kepada Reuters, mendesak agar mereka diberi akses ke pejabat konsuler.
Sebuah laporan akhir tahun 2014 oleh seorang penyelidik PBB mengumpulkan pelanggaran HAM secara besar-besaran di Korut yang menurut mereka bisa berarti kejahatan terhadap kemanusiaan.
Laporan itu menyatakan puluhan ribu orang ditahan di negara yang terisolasi dalam kondisi tidak manusiawi dan mengalami penyiksaan dan kerja paksa. Namun Korut secara kategoris dan sama sekali menolak laporan PBB itu.
Otto Warmbier mengalami cedera otak parah dan dalam keadaan tidak responsif. Keluarganya mengatakan bahwa dia mengalami koma sejak Maret 2016, tak lama setelah dia dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa di Korea Utara.
Baca Juga: Mahasiswa AS yang Dibebaskan Korut Alami Cedera Otak Parah
"Sementara saya menyambut baik kabar pembebasan Warmbier, saya sangat prihatin dengan kondisinya, dan pihak berwenang harus memberikan penjelasan yang jelas tentang apa yang membuatnya tergelincir dalam keadaan koma," kata Tomas Ojea Quintana seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (17/6/2017).
Tomas Ojea Quintana adalah pelapor khusus PBB mengenai hak asasi manusia di Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) nama lengkap Korut.
"Tampaknya ada hubungan yang tidak proporsional antara tindakan atau kejahatan yang dituduhkan oleh Otto Warmbier dan hukuman yang dijatuhkan kepadanya dari sudut pandang hak asasi manusia. Ada kekhawatiran serius dalam perhatian ini," katanya lagi.
Ojea Quintana pun meminta Korut untuk menjelaskan penyebab dan keadaan pembebasan Otto Warmbier.
"Siksaan beratnya bisa dicegah jika dia tidak dihalangi untuk mendapatkan hak dasar saat dia ditangkap, seperti akses ke petugas konsuler dan perwakilan oleh penasihat hukum independen yang dia pilih," tambah Ojea Quintana, seorang pengacara dan ahli hak sipil PBB.
Quintana lantas mengungkapkan dua warga AS lainnya ditangkap tahun ini karena diduga merencanakan tindakan anti-negara dan tetap dalam tahanan. Keduanya profesor universitas di Pyongyang.
"Yang terpenting, dimanapun mereka berada, seseorang dapat bertemu mereka selain melihat mereka di pengadilan umum. Ini adalah sesuatu yang telah saya coba lakukan untuk narapidana nasional asing. Di sinilah letak masalahnya," katanya kepada Reuters, mendesak agar mereka diberi akses ke pejabat konsuler.
Sebuah laporan akhir tahun 2014 oleh seorang penyelidik PBB mengumpulkan pelanggaran HAM secara besar-besaran di Korut yang menurut mereka bisa berarti kejahatan terhadap kemanusiaan.
Laporan itu menyatakan puluhan ribu orang ditahan di negara yang terisolasi dalam kondisi tidak manusiawi dan mengalami penyiksaan dan kerja paksa. Namun Korut secara kategoris dan sama sekali menolak laporan PBB itu.
(ian)