Singapura, Negara-Kota dengan Biaya Hidup Tertinggi
A
A
A
LONDON - Tingginya jumlah barang impor dan terbatasnya lahan, Singapura kembali menjadi kota termahal di dunia. Biaya hidup di sana di atas rata-rata dibandingkan kota-kota lainnya di dunia, seperti New York, Paris, Tokyo, London, Moskow, dan Beijing.
Singapura merupakan negara- kota yang hanya memiliki luas daratan sekitar 719 kilometer persegi atau hampir sama dengan Bahrain (760). Dengan demikian, hasil alam di Singapura tidak mampu memenuhi kebutuhan 5,3 juta penduduknya. Apalagi, Singapura memiliki kekayaan alam ikan, batu bara, minyak, dan gas yang terbatas. Selain itu, Singapura kekurangan sumber mata air. Sebagian besar sumber air segar domestiklangsungberasaldari airhujan.
Pemerintah dan para ahli di Singapura akhirnya membangun sebuah alat untuk menampung air hujan dan sering melakukan daur ulang. Sebagai tambahan, Singapura juga membangun fasilitas desalinasi di Tuas. Kondisi tersebut memaksa Singapura melakukan impor, terutama dari negara tetangga seperti Indonesia atau Malaysia. Selain permintaan selalu dua kali lipat lebih besar dari ketersediaan barang, angka penduduk di Singapura terus naik. Dengan demikian, rata-rata biaya hidup di Singapura lebih mahal daripada di kota lainnya.
Bagaimanapun, sebagai negara-kota, Singapura dinilai tidak bisa disandingkan dengan kota-kota dari negara besar lainnya seperti kota-kota di Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Indonesia, India, bahkan Inggris sekalipun. Pasalnya, kota-kota di negara besar memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah sehingga harganya tidak mahal. Faktanya, biaya hidup di Singapura tinggi akibat dua faktor utama, harga properti dan mobil. Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, pembangunan rumah didasarkan pada permintaan para konsumen.
Akibatnya, ketika krisis ekonomi muncul, spekulasi abu-abu saja dapat meledakkan harga dalam sekejap mata. Sementara itu, banderol mobil sengaja dipasang tinggi oleh pemerintah agar tidak terjadi penumpukan kendaraan di jalan raya. Di sisi lain, pemerintah menyediakan transportasi umum yang memadai, aman, dan nyaman. Menurut warga lokal, biaya hidup di Singapura sebenarnya beragam dan tidak semahal yang dikira banyak orang.
”Kebutuhan rumah tangga dan pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura lebih murah dibanding di kota-kota lainnya,” ungkap Economist Intelligence Unit dalam laporan mereka. Harga makanan dan minuman di Singapura juga sama dengan di Shanghai, kendati ada beberapa kedai makanan yang menyediakan harga miring.
Survei yang dilakukan Economist Intelligence Unit tidak termasuk berbagai program subsidi yang banyak diterapkan pemerintah. Mereka hanya membandingkan harga 160 produk yang meliputi makanan, minuman, pakaian, perabot rumah tangga, juga jasa sewa rumah, transportasi, utilitas, guru privat, PRT, dan biaya rekreasi.
Singapura telah menjadi kota dengan biaya hidup paling tinggi di dunia versi Economist Intelligence Unit dalam empat tahun berturut-turut. Di belakang Singapura ada Hong Kong, Zurich, Tokyo, Osaka, Seoul, Jenewa, Paris, New York, dan Copenhagen. Faktor penentu survei ini ialah kondisi nilai tukar mata uang dan kondisi ekonomi.
”Pada tahun lalu, deflasi dan devaluasi merupakan faktor utama yang menentukan kisaran biaya hidup di seluruh kota. Banyak kota yang jatuh akibat nilai mata uang yang melemah. Rata-rata biaya hidup di dunia meningkat 74%. Tapi dibandingkan lima tahun lalu (93,5%), biaya hidup saat ini terbilang rendah,” ungkap Economist.
Singapura merupakan negara- kota yang hanya memiliki luas daratan sekitar 719 kilometer persegi atau hampir sama dengan Bahrain (760). Dengan demikian, hasil alam di Singapura tidak mampu memenuhi kebutuhan 5,3 juta penduduknya. Apalagi, Singapura memiliki kekayaan alam ikan, batu bara, minyak, dan gas yang terbatas. Selain itu, Singapura kekurangan sumber mata air. Sebagian besar sumber air segar domestiklangsungberasaldari airhujan.
Pemerintah dan para ahli di Singapura akhirnya membangun sebuah alat untuk menampung air hujan dan sering melakukan daur ulang. Sebagai tambahan, Singapura juga membangun fasilitas desalinasi di Tuas. Kondisi tersebut memaksa Singapura melakukan impor, terutama dari negara tetangga seperti Indonesia atau Malaysia. Selain permintaan selalu dua kali lipat lebih besar dari ketersediaan barang, angka penduduk di Singapura terus naik. Dengan demikian, rata-rata biaya hidup di Singapura lebih mahal daripada di kota lainnya.
Bagaimanapun, sebagai negara-kota, Singapura dinilai tidak bisa disandingkan dengan kota-kota dari negara besar lainnya seperti kota-kota di Amerika Serikat (AS), China, Rusia, Indonesia, India, bahkan Inggris sekalipun. Pasalnya, kota-kota di negara besar memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah sehingga harganya tidak mahal. Faktanya, biaya hidup di Singapura tinggi akibat dua faktor utama, harga properti dan mobil. Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, pembangunan rumah didasarkan pada permintaan para konsumen.
Akibatnya, ketika krisis ekonomi muncul, spekulasi abu-abu saja dapat meledakkan harga dalam sekejap mata. Sementara itu, banderol mobil sengaja dipasang tinggi oleh pemerintah agar tidak terjadi penumpukan kendaraan di jalan raya. Di sisi lain, pemerintah menyediakan transportasi umum yang memadai, aman, dan nyaman. Menurut warga lokal, biaya hidup di Singapura sebenarnya beragam dan tidak semahal yang dikira banyak orang.
”Kebutuhan rumah tangga dan pembantu rumah tangga (PRT) di Singapura lebih murah dibanding di kota-kota lainnya,” ungkap Economist Intelligence Unit dalam laporan mereka. Harga makanan dan minuman di Singapura juga sama dengan di Shanghai, kendati ada beberapa kedai makanan yang menyediakan harga miring.
Survei yang dilakukan Economist Intelligence Unit tidak termasuk berbagai program subsidi yang banyak diterapkan pemerintah. Mereka hanya membandingkan harga 160 produk yang meliputi makanan, minuman, pakaian, perabot rumah tangga, juga jasa sewa rumah, transportasi, utilitas, guru privat, PRT, dan biaya rekreasi.
Singapura telah menjadi kota dengan biaya hidup paling tinggi di dunia versi Economist Intelligence Unit dalam empat tahun berturut-turut. Di belakang Singapura ada Hong Kong, Zurich, Tokyo, Osaka, Seoul, Jenewa, Paris, New York, dan Copenhagen. Faktor penentu survei ini ialah kondisi nilai tukar mata uang dan kondisi ekonomi.
”Pada tahun lalu, deflasi dan devaluasi merupakan faktor utama yang menentukan kisaran biaya hidup di seluruh kota. Banyak kota yang jatuh akibat nilai mata uang yang melemah. Rata-rata biaya hidup di dunia meningkat 74%. Tapi dibandingkan lima tahun lalu (93,5%), biaya hidup saat ini terbilang rendah,” ungkap Economist.
(esn)