China Tingkatkan Tekanan Pada Korsel
A
A
A
SHANGHAI - Tekanan terhadap perusahaan-perusahaan travel di China memaksa beberapa maskapai dan operator kapal pesiar dari negara itu menghentikan rute menuju Korea Selatan (Korsel).
Kondisi ini terjadi akibat konflik diplomatik kedua negara terkait rencana Seoul memasang sistem pertahanan rudal Amerika Serikat (AS) Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) di Korsel, meski diprotes China. Maskapai China Eastern Airlines Corp Ltd dan Spring Airlines Co Ltd berhenti melayani penerbangan antara Kota Ningbo, China dan pulau wisata Jeju, Korsel, mulai pekan depan.
Maskapai Eastar Jet asal Korsel juga menghentikan penerbangan antara Kota Cheongju, Korsel, dan tujuan wisata Jeju dengan berbagai kota di China, termasuk Ningbo, Jinjiang, dan Harbin. Langkah tersebut diikuti Carnival Corp’s Costa Cruises dan Royal Caribbean Cruises yang menghentikan tujuan ke Korsel menggunakan kapalkapal China mereka.
Royal Caribbean menyebut perkembangan terbaru terkait situasi di Korsel sebagai alasan kebijakan perusahaannya. Tindakan-tindakan itu mencerminkan sikap lebih agresif dan tegas terhadap bisnis Korsel di China, meski Beijing tidak secara langsung menyatakan menargetkan perusahaan- perusahaan asal Negeri Ginseng tersebut.
Dokumen internal pemerintah Korsel yang diperoleh kantor berita Reuters menyebutkan, otoritas China memberi tujuh poin perintah lisan pada perusahaan-perusahaan travel untuk mengurangi atau melarang perjalanan ke Korsel. Itu termasuk larangan pada kelompok-kelompok tur mengunjungi Korsel mulai 15 Maret, kapal-kapal pesiar tidak diizinkan berlabuh di pelabuhan Korsel dan memperingatkan semua pihak yang melanggar arahan itu akan menghadapi hukuman berat.
Badan pariwisata China belum memberikan komentar terkait perkembangan terbaru tersebut. Maskapai China Eastern dan Spring Airlines juga belum memberikan pernyataan. Tindakan tegas itu membekukan sektor pariwisata dan ritel Korsel yang sangat bergantung pada perdagangan dengan China. Korsel pun menyatakan siap mempertimbangkan komplain terhadap China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Korsel menjual barang dan jasa senilai USD124 miliar pada China tahun lalu, sekitar lima kali lebih banyak dibandingkan ekspor ke Jepang dan dua kali lipat dari jumlah yang dikirim ke AS yang menjadi pasar terbesar kedua Korsel. Pariwisata menjadi sektor yang sensitif terhadap konflik tersebut.
Data resmi Korsel menunjukkan hampir setengah dari pengunjung negara itu berasal dari China. Saat ditanya tentang para operator kapal pesiar China yang membatalkan kunjungan ke pelabuhan Korsel, pejabat dari Kementerian Perdagangan, Industri dan Energi Korsel menyatakan pihaknya sedang memeriksa apakah ada aturan WTO yang dilanggar.
“Jika kita meluncurkan gugatan, kita masih perlu memastikan jika semuanya diperintahkan oleh Beijing,” ungkap pejabat Korsel tersebut pada Reuters.
Para pengamat risiko politik menjelaskan, meluasnya aksi terhadap perusahaanperusahaan Korsel me-nunjukkan adanya koordinasi pusat. Princess Cruises yang dimiliki oleh Carnival menyatakan kemarin pihaknya akan menghapus kunjungan ke Korsel dari rute-rute mereka setelah berunding dengan departemen terkait.
“Karena kondisi sekarang, tim China Princess Cruises telah berdialog dan berdiskusi dengan departemen-departemen terkait. Semua rute yang melibatkan Korsel akan dihapus,” papar pernyataan Carnival. Masalah diplomatik dengan mitra dagang terbesar terjadi saat Korsel mengalami masa sulit.
Apalagi di dalam negeri, krisis politik sedang mendera negara itu dengan langkah Mahkamah Konstitusi memecat Presiden Korsel Park Geun-hye dari jabatannya terkait skandal korupsi yang melibatkan banyak konglomerasi. Para pengamat menilai kondisi suram di Korsel memberi China peluang untuk menekan siapa pun pengganti Park agar menghentikan atau menunda pemasangan sistem tameng rudal THAAD.
“Saya pikir mereka akan meningkatkan tekanan ini hingga periode kami mendapat pemerintahan baru di Korsel,” kata Direktur Analis untuk China dan Asia Utara lembaga konsultan Control Risks Andrew Gilholm.
Kondisi ini terjadi akibat konflik diplomatik kedua negara terkait rencana Seoul memasang sistem pertahanan rudal Amerika Serikat (AS) Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) di Korsel, meski diprotes China. Maskapai China Eastern Airlines Corp Ltd dan Spring Airlines Co Ltd berhenti melayani penerbangan antara Kota Ningbo, China dan pulau wisata Jeju, Korsel, mulai pekan depan.
Maskapai Eastar Jet asal Korsel juga menghentikan penerbangan antara Kota Cheongju, Korsel, dan tujuan wisata Jeju dengan berbagai kota di China, termasuk Ningbo, Jinjiang, dan Harbin. Langkah tersebut diikuti Carnival Corp’s Costa Cruises dan Royal Caribbean Cruises yang menghentikan tujuan ke Korsel menggunakan kapalkapal China mereka.
Royal Caribbean menyebut perkembangan terbaru terkait situasi di Korsel sebagai alasan kebijakan perusahaannya. Tindakan-tindakan itu mencerminkan sikap lebih agresif dan tegas terhadap bisnis Korsel di China, meski Beijing tidak secara langsung menyatakan menargetkan perusahaan- perusahaan asal Negeri Ginseng tersebut.
Dokumen internal pemerintah Korsel yang diperoleh kantor berita Reuters menyebutkan, otoritas China memberi tujuh poin perintah lisan pada perusahaan-perusahaan travel untuk mengurangi atau melarang perjalanan ke Korsel. Itu termasuk larangan pada kelompok-kelompok tur mengunjungi Korsel mulai 15 Maret, kapal-kapal pesiar tidak diizinkan berlabuh di pelabuhan Korsel dan memperingatkan semua pihak yang melanggar arahan itu akan menghadapi hukuman berat.
Badan pariwisata China belum memberikan komentar terkait perkembangan terbaru tersebut. Maskapai China Eastern dan Spring Airlines juga belum memberikan pernyataan. Tindakan tegas itu membekukan sektor pariwisata dan ritel Korsel yang sangat bergantung pada perdagangan dengan China. Korsel pun menyatakan siap mempertimbangkan komplain terhadap China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Korsel menjual barang dan jasa senilai USD124 miliar pada China tahun lalu, sekitar lima kali lebih banyak dibandingkan ekspor ke Jepang dan dua kali lipat dari jumlah yang dikirim ke AS yang menjadi pasar terbesar kedua Korsel. Pariwisata menjadi sektor yang sensitif terhadap konflik tersebut.
Data resmi Korsel menunjukkan hampir setengah dari pengunjung negara itu berasal dari China. Saat ditanya tentang para operator kapal pesiar China yang membatalkan kunjungan ke pelabuhan Korsel, pejabat dari Kementerian Perdagangan, Industri dan Energi Korsel menyatakan pihaknya sedang memeriksa apakah ada aturan WTO yang dilanggar.
“Jika kita meluncurkan gugatan, kita masih perlu memastikan jika semuanya diperintahkan oleh Beijing,” ungkap pejabat Korsel tersebut pada Reuters.
Para pengamat risiko politik menjelaskan, meluasnya aksi terhadap perusahaanperusahaan Korsel me-nunjukkan adanya koordinasi pusat. Princess Cruises yang dimiliki oleh Carnival menyatakan kemarin pihaknya akan menghapus kunjungan ke Korsel dari rute-rute mereka setelah berunding dengan departemen terkait.
“Karena kondisi sekarang, tim China Princess Cruises telah berdialog dan berdiskusi dengan departemen-departemen terkait. Semua rute yang melibatkan Korsel akan dihapus,” papar pernyataan Carnival. Masalah diplomatik dengan mitra dagang terbesar terjadi saat Korsel mengalami masa sulit.
Apalagi di dalam negeri, krisis politik sedang mendera negara itu dengan langkah Mahkamah Konstitusi memecat Presiden Korsel Park Geun-hye dari jabatannya terkait skandal korupsi yang melibatkan banyak konglomerasi. Para pengamat menilai kondisi suram di Korsel memberi China peluang untuk menekan siapa pun pengganti Park agar menghentikan atau menunda pemasangan sistem tameng rudal THAAD.
“Saya pikir mereka akan meningkatkan tekanan ini hingga periode kami mendapat pemerintahan baru di Korsel,” kata Direktur Analis untuk China dan Asia Utara lembaga konsultan Control Risks Andrew Gilholm.
(esn)