Proyek Pulau Buatan China Hampir Selesai
A
A
A
WASHINGTON - China hampir menyelesaikan pembangunan sekitar 20 bangunan di pulau buatan di perairan sengketa di Laut China Selatan. Bangunan yang hampir selesai dibangun tersebut didesain untuk fasilitas pendukung misil jarak jauh.
Itu menjadi ujian baru bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan negara-negara Asia Tenggara. Pemerintahan Trump telah menyatakan pembangunan pulau buatan di Laut China Selatan merupakan tindakan ilegal.
AS telah mengirimkan kapal induk ke Laut China Selatan dan siap bersikap keras terhadap China dalam sengketa di kawasan tersebut. China juga berencana menggelar latihan perang di Laut China Selatan dengan mendatangkan kapal induknya.
“Bangunan beton dengan atap yang bisa dibuka dan tutup itu berada di Pulau Subi, Mischief, dan Fiery Cross yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly.
Bangunan tersebut terletak di dekat landasan udara untuk kepentingan militer. Itu menunjukkan China mempersiapkan segala kemungkinan ada eskalasi militer,” kata para pejabat AS yang enggan disebutkan namanya, dilansir Reuters. Kemudian dikuatkan seorang pejabat intelijen AS yang menyebutkan bangunan digunakan untuk sistem peluncur misil udara.
Itu didukung dengan struktur bangunan yang memiliki panjang 20 meter dan tinggi hingga 10 meter. Kedutaan Besar China di Washington tidak berkomentar mengenai laporan tersebut. Juru bicara Pentagon mengatakan, AS tetap berkomitmen untuk melaksanakan zona bebas militerisasi di Laut China Selatan.
“Kita menyerukan pihak yang mengklaim Laut China Selatan konsisten dengan hukum internasional,” ungkap juru bicara Pentagon yang tidak disebutkan namanya.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Senat bulan lalu, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menegaskan Beijing seharusnya dilarang untuk mendapatkan akses ke bangunan di Laut China Selatan. Dia mengatakan, pembangunan pulau dan penempatan aset militer China di Laut China Selatan itu seperti langkah Rusia saat menganeksasi Crimea dari Ukraina.
Greg Poling, pakar Laut China Selatan dari Center for Strategic (CSIS) and International Studies di Washington, mengatakan laporan Desember menunjukkan China telah memasang senjata, termasuk misil antipesawat dan sistem pertahanan misil. “Misil tersebut dipasang di sembilan pulau buatan di Laut China Selatan,” kata Poling.
Para pejabat intelijen AS menyebutkan bangunan baru itu seperti akan digunakan sebagai lokasi peluncuran misil jarak jauh. Itu untuk memperkuat sistem pertahanan di kepulauan tersebut. Sayangnya, mereka tidak menjelaskan kapan penempatan misil tersebut. Tapi, mereka percaya misil tersebut akan dipasang di pulau tersebut.
“Penempatan misil jarak jauh diperkirakan akan memicu ketegangan,” kata Poling. “China telah mendapatkan posisi baik karena berhasil memperkuat kemampuan mereka,” imbuhnya.
Struktur bangunan China tersebut, menurut pejabat intelijen AS, tidak menunjukkan ada ancaman militer terhadap pasukan AS di kawasan. Dia mengatakan, pembangunan gedung baru itu diperkirakan sebagai ujian politik untuk melihat bagaimana respons pemerintahan Trump.
“Respons logis akan lebih politis karena tidak boleh ada eskalasi militer di kawasan strategis,” kata pejabat intelijen tersebut. Chas Freeman, pakar China dan mantan asisten menteri pertahanan AS, mengatakan proyek pembangunan di pulau buatan bertujuan untuk memprovokasi negara-negara di Asia Tenggara yang juga mengklaim Laut China Selatan. Dia mengatakan, proyek instalasi misil itu bukan ditujukan untuk AS.
“Memang ada tendensi Washington menjadi sasaran provokasi Beijing. Tapi, kita bukan pihak yang mengklaim kawasan di Laut China Selatan,” kata Freeman. “ Kita tidak perlu melawan posisi China tersebut. Biarkan hal itu terjadi, semua bisa dihadapi orang Vietnam, Filipina, dan Malaysia,” ucapnya. Dia menambahkan, kondisi saat ini tidak menguntungkan dan tidak bisa diprediksi.
Dari Manila, Filipina mengungkapkan negara-negara ASEAN melihat pemasangan senjata di Laut China Selatan sebagai hal yang tidak dikehendaki. Mereka sepakat negaranegara ASEAN mencegah Beijing untuk menghentikan perkembangan terbaru.
“ASEAN, China, dan AS harus memperkuat perdamaian dan stabilitas,” kata Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay, dilansir ABNCBN. Dia menegaskan ASEAN memiliki satu tujuan untuk mencegah militerisasi di Laut China Selatan. Saat ini China dan ASEAN masih bekerja sama menyelesaikan kerangka kerja code of conduct yang telah dibahas selama 15 tahun dan belum selesai. Mereka sepakat untuk menahan diri.
Itu menjadi ujian baru bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan negara-negara Asia Tenggara. Pemerintahan Trump telah menyatakan pembangunan pulau buatan di Laut China Selatan merupakan tindakan ilegal.
AS telah mengirimkan kapal induk ke Laut China Selatan dan siap bersikap keras terhadap China dalam sengketa di kawasan tersebut. China juga berencana menggelar latihan perang di Laut China Selatan dengan mendatangkan kapal induknya.
“Bangunan beton dengan atap yang bisa dibuka dan tutup itu berada di Pulau Subi, Mischief, dan Fiery Cross yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly.
Bangunan tersebut terletak di dekat landasan udara untuk kepentingan militer. Itu menunjukkan China mempersiapkan segala kemungkinan ada eskalasi militer,” kata para pejabat AS yang enggan disebutkan namanya, dilansir Reuters. Kemudian dikuatkan seorang pejabat intelijen AS yang menyebutkan bangunan digunakan untuk sistem peluncur misil udara.
Itu didukung dengan struktur bangunan yang memiliki panjang 20 meter dan tinggi hingga 10 meter. Kedutaan Besar China di Washington tidak berkomentar mengenai laporan tersebut. Juru bicara Pentagon mengatakan, AS tetap berkomitmen untuk melaksanakan zona bebas militerisasi di Laut China Selatan.
“Kita menyerukan pihak yang mengklaim Laut China Selatan konsisten dengan hukum internasional,” ungkap juru bicara Pentagon yang tidak disebutkan namanya.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Senat bulan lalu, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menegaskan Beijing seharusnya dilarang untuk mendapatkan akses ke bangunan di Laut China Selatan. Dia mengatakan, pembangunan pulau dan penempatan aset militer China di Laut China Selatan itu seperti langkah Rusia saat menganeksasi Crimea dari Ukraina.
Greg Poling, pakar Laut China Selatan dari Center for Strategic (CSIS) and International Studies di Washington, mengatakan laporan Desember menunjukkan China telah memasang senjata, termasuk misil antipesawat dan sistem pertahanan misil. “Misil tersebut dipasang di sembilan pulau buatan di Laut China Selatan,” kata Poling.
Para pejabat intelijen AS menyebutkan bangunan baru itu seperti akan digunakan sebagai lokasi peluncuran misil jarak jauh. Itu untuk memperkuat sistem pertahanan di kepulauan tersebut. Sayangnya, mereka tidak menjelaskan kapan penempatan misil tersebut. Tapi, mereka percaya misil tersebut akan dipasang di pulau tersebut.
“Penempatan misil jarak jauh diperkirakan akan memicu ketegangan,” kata Poling. “China telah mendapatkan posisi baik karena berhasil memperkuat kemampuan mereka,” imbuhnya.
Struktur bangunan China tersebut, menurut pejabat intelijen AS, tidak menunjukkan ada ancaman militer terhadap pasukan AS di kawasan. Dia mengatakan, pembangunan gedung baru itu diperkirakan sebagai ujian politik untuk melihat bagaimana respons pemerintahan Trump.
“Respons logis akan lebih politis karena tidak boleh ada eskalasi militer di kawasan strategis,” kata pejabat intelijen tersebut. Chas Freeman, pakar China dan mantan asisten menteri pertahanan AS, mengatakan proyek pembangunan di pulau buatan bertujuan untuk memprovokasi negara-negara di Asia Tenggara yang juga mengklaim Laut China Selatan. Dia mengatakan, proyek instalasi misil itu bukan ditujukan untuk AS.
“Memang ada tendensi Washington menjadi sasaran provokasi Beijing. Tapi, kita bukan pihak yang mengklaim kawasan di Laut China Selatan,” kata Freeman. “ Kita tidak perlu melawan posisi China tersebut. Biarkan hal itu terjadi, semua bisa dihadapi orang Vietnam, Filipina, dan Malaysia,” ucapnya. Dia menambahkan, kondisi saat ini tidak menguntungkan dan tidak bisa diprediksi.
Dari Manila, Filipina mengungkapkan negara-negara ASEAN melihat pemasangan senjata di Laut China Selatan sebagai hal yang tidak dikehendaki. Mereka sepakat negaranegara ASEAN mencegah Beijing untuk menghentikan perkembangan terbaru.
“ASEAN, China, dan AS harus memperkuat perdamaian dan stabilitas,” kata Menteri Luar Negeri Filipina Perfecto Yasay, dilansir ABNCBN. Dia menegaskan ASEAN memiliki satu tujuan untuk mencegah militerisasi di Laut China Selatan. Saat ini China dan ASEAN masih bekerja sama menyelesaikan kerangka kerja code of conduct yang telah dibahas selama 15 tahun dan belum selesai. Mereka sepakat untuk menahan diri.
(esn)