Banyak ABK Indonesia di Kapal Ikan Asing Jadi Korban Eksploitasi
A
A
A
JAKARTA - Direktur Perlindungan Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal menyatakan, mayoritas anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal asing adalah korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mereka hidup layaknya budak.
Iqbal menuturkan, jika melihat TPPO ABK, 90 persen dari ABK yang bekerja di kapal asing akan mudah melihat adanya indikasi mereka sebagai korban eksploitasi. Hal ini, lanjut Iqbal, karena tata kelola di dalam negeri masih belum bagus, dan di tingkat internasional pun belum baik.
"Di tingkat internasional ada yang namanya Maritime Law Convention (MLC), itu yang mengurusi masalah ABK, tapi ABK perikanan dikecualikan dari MLC itu. Jadi, ABK perikanan ini di tingkat internasional menyebut namanya saja belum jelas, apakah mereka nelayan atau pelaut. Disebut pelaut, mereka tidak punya kemampuan pelaut, karena namanya non-rating work," ucap Iqbal pada Kamis (12/1).
"Karena ambigunya, konvensinya pun di ILO disebut pekerja sektor perikanan, tidak menyebut profesinya. Karena di sektor perikanan, kapalnya itu kecil dan 80 persen muatannya itu ikan, sisanya bahan bakar. Jadi hanya kecil sekali ruang bagi para pekerja. Kapal-kapal lain ada jadwalnya, kalau kapal ikan tidak ada, mereka berlayar sampai kapalnya penuh, mereka bisa 1 tahun tidak berlabuh," sambungnya.
Dia menyebut ada beberapa alasan yang menyebabkan ini terjadi, salah satunya adalah karena tidak adanya sistem perekrutan ABK untuk bekerja di kapal asing di dalam negeri. Jadi tidak jarang mereka yang direkrut adalah yang tidak memiliki skil, tanpa paspor, dengan buku pelaut palsu, dan terkadang mereka direkrut oleh pihak ketiga di Indonesia.
"Kadang mereka tanda tangan perjanjian disini, lalu mereka dibawa ke Singapura dan tanda tangan perjanjian lagi di sana, seringnya dengan bahasa yang tidak mereka mengerti. Lalu naik ke kapal dan langsung berlayar ke Cape Town, atau wilayah lainnya. Mereka bekerja di kapal Taiwan, tapi tidak pernah menginjakan kaki di Taiwan," ucapnya.
"Sektor yang paling rentan bukan hanya TKI, tapi ABK. Bahkan situasi kemanusiaan jauh lebih buruk ABK dibanding dengan TKI. 90 persen yang bermasalah adalah mereka yang bekerja di kapal Taiwan," tukas Iqbal.
Iqbal menuturkan, jika melihat TPPO ABK, 90 persen dari ABK yang bekerja di kapal asing akan mudah melihat adanya indikasi mereka sebagai korban eksploitasi. Hal ini, lanjut Iqbal, karena tata kelola di dalam negeri masih belum bagus, dan di tingkat internasional pun belum baik.
"Di tingkat internasional ada yang namanya Maritime Law Convention (MLC), itu yang mengurusi masalah ABK, tapi ABK perikanan dikecualikan dari MLC itu. Jadi, ABK perikanan ini di tingkat internasional menyebut namanya saja belum jelas, apakah mereka nelayan atau pelaut. Disebut pelaut, mereka tidak punya kemampuan pelaut, karena namanya non-rating work," ucap Iqbal pada Kamis (12/1).
"Karena ambigunya, konvensinya pun di ILO disebut pekerja sektor perikanan, tidak menyebut profesinya. Karena di sektor perikanan, kapalnya itu kecil dan 80 persen muatannya itu ikan, sisanya bahan bakar. Jadi hanya kecil sekali ruang bagi para pekerja. Kapal-kapal lain ada jadwalnya, kalau kapal ikan tidak ada, mereka berlayar sampai kapalnya penuh, mereka bisa 1 tahun tidak berlabuh," sambungnya.
Dia menyebut ada beberapa alasan yang menyebabkan ini terjadi, salah satunya adalah karena tidak adanya sistem perekrutan ABK untuk bekerja di kapal asing di dalam negeri. Jadi tidak jarang mereka yang direkrut adalah yang tidak memiliki skil, tanpa paspor, dengan buku pelaut palsu, dan terkadang mereka direkrut oleh pihak ketiga di Indonesia.
"Kadang mereka tanda tangan perjanjian disini, lalu mereka dibawa ke Singapura dan tanda tangan perjanjian lagi di sana, seringnya dengan bahasa yang tidak mereka mengerti. Lalu naik ke kapal dan langsung berlayar ke Cape Town, atau wilayah lainnya. Mereka bekerja di kapal Taiwan, tapi tidak pernah menginjakan kaki di Taiwan," ucapnya.
"Sektor yang paling rentan bukan hanya TKI, tapi ABK. Bahkan situasi kemanusiaan jauh lebih buruk ABK dibanding dengan TKI. 90 persen yang bermasalah adalah mereka yang bekerja di kapal Taiwan," tukas Iqbal.
(esn)