ISIS Kehilangan Lebih dari Seperempat Wilayahnya di Suriah dan Irak
A
A
A
LONDON - Kelompok ekstrimis ISIS dilaporkan telah kehilangan lebih dari seperempat wilayahnya yang dikendalikannya. Hal itu menurut data terbaru yang dikeluarkan oleh Analis Keamanan dan Pertahanan IHS.
IHS menyatakan bahwa wilayah yang dikontrol oleh kelompok tersebut telah menyusut 28% sejak puncaknya pada Januari 2015. "Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, wilayah yang dikuasai ISIS turun dari 78.000 km per segi menjadi 65.500 km per segi atau setara dengan ukuran Sri Lanka," kata analis IHS seperti dikutip dari BBC, Minggu (9/10/2016).
Namun, kerugian yang diderita ISIS ini melambat dalam tiga bulan terakhir sampai Oktober. Perlambatan ini muncul bertepatan dengan Rusia mengurangi jumlah serangan udaranya terhadap ISIS. Pada awal tahun ini, sekitar 26% serangan ditargetkan kepada ISIS, tetapi pada musim panas turun menjadi hanya 17%.
"September lalu, Presiden Putin mengatakan misi Rusia untuk memerangi terorisme internasional dan khususnya ISIS. Data kami menunjukkan bahwa itu tidak terjadi," kata Alex Kokcharov, kepala analis Rusia di IHS.
"Prioritas Rusia adalah memberikan dukungan militer kepada pemerintah Assad dan, kemungkinan besar, mengubah perang sipil Suriah dari konflik multi kelompok menjasi salah satu biner antara pemerintah Suriah dan kelompok-kelompok jihad seperti ISIS sehingga merusak kasus untuk memberikan dukungan internasional untuk oposisi," jelasnya lagi.
Meski begitu, para ahli mengatakan, kerugian yang diderita ISIS tetap signifikan. Kelompok ini telah terdorong sejauh 10 km dari perbatasan Turki, sementara pasukan Irak telah mengamankan pangkalan Qayyarah, sebuah fasilitas strategis 60 km sebelah selatan dari Mosul. ISIS juga kehilangan Manbij dan sekitarnya di Suriah yang jatuh ke tangan pejuang Kurdi yang didukung Amerika Serikat.
"Kerugian teritorial ISIS sejak Juli relatif sederhana dalam skala, tapi belum pernah terjadi sebelumnya dalam arti strategis mereka. Hilangnya akses jalan langsung ke lintas perbatasan yang menjadi rute penyelundupan ke Turki sangat membatasi kemampuan kelompok itu untuk merekrut pejuang baru dari luar negeri, sementara pemerintah Irak siap untuk meluncurkan serangan di Mosul," kata Columb Strack, analis senior dan kepala IHS Konflik Monitor.
Jika aksi ofensif yang telah lama dijanjikan dan kerap tertunda terhadap Mosul sukses, ini akan menjadi pukulan telak bagi ISIS. Mosul digambarkan sebagai benteng terakhir ISIS di Irak dimana pihak berwenang di Baghdad mengatakan itu akan berarti akhir untuk ISIS di Irak.
IHS menyatakan bahwa wilayah yang dikontrol oleh kelompok tersebut telah menyusut 28% sejak puncaknya pada Januari 2015. "Dalam sembilan bulan pertama tahun ini, wilayah yang dikuasai ISIS turun dari 78.000 km per segi menjadi 65.500 km per segi atau setara dengan ukuran Sri Lanka," kata analis IHS seperti dikutip dari BBC, Minggu (9/10/2016).
Namun, kerugian yang diderita ISIS ini melambat dalam tiga bulan terakhir sampai Oktober. Perlambatan ini muncul bertepatan dengan Rusia mengurangi jumlah serangan udaranya terhadap ISIS. Pada awal tahun ini, sekitar 26% serangan ditargetkan kepada ISIS, tetapi pada musim panas turun menjadi hanya 17%.
"September lalu, Presiden Putin mengatakan misi Rusia untuk memerangi terorisme internasional dan khususnya ISIS. Data kami menunjukkan bahwa itu tidak terjadi," kata Alex Kokcharov, kepala analis Rusia di IHS.
"Prioritas Rusia adalah memberikan dukungan militer kepada pemerintah Assad dan, kemungkinan besar, mengubah perang sipil Suriah dari konflik multi kelompok menjasi salah satu biner antara pemerintah Suriah dan kelompok-kelompok jihad seperti ISIS sehingga merusak kasus untuk memberikan dukungan internasional untuk oposisi," jelasnya lagi.
Meski begitu, para ahli mengatakan, kerugian yang diderita ISIS tetap signifikan. Kelompok ini telah terdorong sejauh 10 km dari perbatasan Turki, sementara pasukan Irak telah mengamankan pangkalan Qayyarah, sebuah fasilitas strategis 60 km sebelah selatan dari Mosul. ISIS juga kehilangan Manbij dan sekitarnya di Suriah yang jatuh ke tangan pejuang Kurdi yang didukung Amerika Serikat.
"Kerugian teritorial ISIS sejak Juli relatif sederhana dalam skala, tapi belum pernah terjadi sebelumnya dalam arti strategis mereka. Hilangnya akses jalan langsung ke lintas perbatasan yang menjadi rute penyelundupan ke Turki sangat membatasi kemampuan kelompok itu untuk merekrut pejuang baru dari luar negeri, sementara pemerintah Irak siap untuk meluncurkan serangan di Mosul," kata Columb Strack, analis senior dan kepala IHS Konflik Monitor.
Jika aksi ofensif yang telah lama dijanjikan dan kerap tertunda terhadap Mosul sukses, ini akan menjadi pukulan telak bagi ISIS. Mosul digambarkan sebagai benteng terakhir ISIS di Irak dimana pihak berwenang di Baghdad mengatakan itu akan berarti akhir untuk ISIS di Irak.
(ian)