Diplomat Cantik Indonesia Ini Tampar 6 Pemimpin Negara
A
A
A
NEW YORK - Nara Rakhmatia, diplomat muda Indonesia mencuri perhatian dalam sidang PBB di New York. Perempuan cantik yang akan genap berusia 34 tahun pada Desember nanti itu berhasil membungkam tudingan dari sejumlah kepala negara di Kepulauan Pasifik terkait kondisi HAM di Papua dan Papua Barat.
Dalam sidang PBB tersebut enam negara Kepualauan Pasifik—Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Nauru, Marshall Island dan Tuvalu yang blak-blakan menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Negara-negara itu di forum PBB menyerukan kebebasan bagi Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri.
"Pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan mengejar untuk menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat yang menekankan penguatan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang menghasilkan pelanggaran HAM langsung oleh Indonesia dalam upaya untuk meredakan segala bentuk oposisi," kata Perdana Menteri Solomon Island, Manasye Sogavare pada Sidang PBB Senin (26/9/2016) lalu.
Sedangkan Presiden Marshall Island, Hilda Heine, mendesak Dewan HAM PBB untuk melakukan penyelidikan yang kredibel atas pelanggaran di Papua Barat.
Diserang dengan tudingan tersebut, Nara tidak gentar. Alumnus perguruan tinggi negeri ibukota itu menjawab tudingan tersebut dengan tegas dan berani. ”Para pemimpin yang sama memilih bukan untuk melanggar Piagam PBB dengan mencampuri kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya,” kata Nara.
“Laporan bermotif politik mereka rancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi tersebut (Papua Barat dan Papua) yang telah secara konsisten terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan melakukan serangan teroris bersenjata,” tukas Nara.
Apa yang dilakukan oleh Nara ini jelas-jelas menampar para pemimpin negara-negara itu. Pasalnya, jawaban atas segala tudingan yang dialamatkan ke Indonesia itu meluncur dari seorang Diplomat Junior.
Nara Rakhmatia Masista adalah jebolan Sekolah Departemen Luar Negeri dan lulus pada tahun 2008. Ia sempat mengecam pendidikan di FISIP UI jurusan Hubungan Internasional dan lulus pada tahun 2002. Sebelum memutuskan bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara menghabiskan waktunya menjadi peneliti di CERIC (Center for Research on Inter-group Relations and Conflict Resolution) dan juga Center for East Asia Cooperation Studies.
Setelah bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara ditempatkan di Direktorat Kerjasama Antar Kawasan pada Direktorat Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika. Di Kemlu, spesialisasi Nara nampaknya adalah Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasific APEC dan sempat menjabat Head of Section for The Budget and Management Committee (BMC) APEC sebelum dikirim ke New York.
Dalam sidang PBB tersebut enam negara Kepualauan Pasifik—Vanuatu, Solomon Island, Tonga, Nauru, Marshall Island dan Tuvalu yang blak-blakan menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Negara-negara itu di forum PBB menyerukan kebebasan bagi Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri.
"Pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan mengejar untuk menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat yang menekankan penguatan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang menghasilkan pelanggaran HAM langsung oleh Indonesia dalam upaya untuk meredakan segala bentuk oposisi," kata Perdana Menteri Solomon Island, Manasye Sogavare pada Sidang PBB Senin (26/9/2016) lalu.
Sedangkan Presiden Marshall Island, Hilda Heine, mendesak Dewan HAM PBB untuk melakukan penyelidikan yang kredibel atas pelanggaran di Papua Barat.
Diserang dengan tudingan tersebut, Nara tidak gentar. Alumnus perguruan tinggi negeri ibukota itu menjawab tudingan tersebut dengan tegas dan berani. ”Para pemimpin yang sama memilih bukan untuk melanggar Piagam PBB dengan mencampuri kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya,” kata Nara.
“Laporan bermotif politik mereka rancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi tersebut (Papua Barat dan Papua) yang telah secara konsisten terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan melakukan serangan teroris bersenjata,” tukas Nara.
Apa yang dilakukan oleh Nara ini jelas-jelas menampar para pemimpin negara-negara itu. Pasalnya, jawaban atas segala tudingan yang dialamatkan ke Indonesia itu meluncur dari seorang Diplomat Junior.
Nara Rakhmatia Masista adalah jebolan Sekolah Departemen Luar Negeri dan lulus pada tahun 2008. Ia sempat mengecam pendidikan di FISIP UI jurusan Hubungan Internasional dan lulus pada tahun 2002. Sebelum memutuskan bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara menghabiskan waktunya menjadi peneliti di CERIC (Center for Research on Inter-group Relations and Conflict Resolution) dan juga Center for East Asia Cooperation Studies.
Setelah bergabung dengan Kementerian Luar Negeri, Nara ditempatkan di Direktorat Kerjasama Antar Kawasan pada Direktorat Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika. Di Kemlu, spesialisasi Nara nampaknya adalah Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasific APEC dan sempat menjabat Head of Section for The Budget and Management Committee (BMC) APEC sebelum dikirim ke New York.
(ian)