Punya Rp88 Juta, Pria Asing Boleh Kawin Kontrak dengan Wanita Mesir
A
A
A
KAIRO - Hukum kawin kontrak atau musiman yang dilansir otoritas Mesir pada pekan lalu dikecam para aktivis pembela hak-hak perempun. Hukum itu membolehkan wanita lokal Mesir berusia 25 tahun atau lebih muda dinikahi turis pria asing dengan syarat pria itu punya tabungan 50 ribu Pound Mesir atau sekitar Rp88 juta.
Uang sebesar itu harus didepositkan atas nama calon istri di Bank Nasional Mesir. Media Timur Tengah, Saudi Gazette, dalam laporannya kemarin, menulis bahwa banyak kasus para wanita Mesir bercerai pada akhir liburan. Mereka diduga menjalani kawin kontrak.
Undang-undang tentang pernikahan yang kontroversial itu sejatinya sudah ada sejak lama. Namun, pada tahun ini, syarat uang yang dianggap sebagai “mahar” itu telah dinaikkan dari 25 ribu, kemudian menjadi 40 ribu dan kini meningkat lagi menjadi 50 ribu Pound Mesir. Kenaikan jumlah uang syarat itu diklaim untuk melindungi hak-hak perempuan lokal Mesir.
Aktivis hak-hak perempuan, Nehad Abul Qomsan, mengecam hukum kawin kontrak itu. Dia menyebutnya sebagai “kerusakan”.
”Undang-undang, yang kembali ke tahun 1976, pernikahan awalnya dilarang antara perempuan dan laki-laki asing Mesir jika perbedaan usia melebihi 25 tahun. Kemudian pada tahun 1993, di bawah tekanan dari kelompok-kelompok Islamis, larangan ini dicabut dengan ketentuan bahwa deposito suami 25 ribu pound Mesir atas nama istri,” katanya.
”Jumlah tersebut meningkat menjadi 40 ribu Pound Mesir pada tahun 2004 dan kemudian menjadi 50 ribu Pound Mesir pada tahun 2015,” ujar Qomsan.
Menurutnya, “pernikahan wisata” itu harus dianggap sebagai “prostitusi legal”. “Orang asing hanya menandatangani kontrak pernikahan untuk menghindari masalah hukum dan keluarga gadis itu mengambil uang. Kadang-kadang seorang gadis dapat menikah dua kali atau lebih dalam waktu kurang dari sebulan,” kata Qomsan.
Naglaa al-Adly, Direktur Teknik Komunikasi untuk Pembangunan Pusat (ACT), berpendapat bahwa hukum tidak mempertimbangkan fakta bahwa pernikahan tersebut biasanya dilakukan secara rahasia karena beberapa anak perempuan masih berusia di bawah 18 tahun. ”Bahkan jika gadis itu bukan gadis kecil, kebanyakan pernikahan ini tidak terdaftar,” ujar Adly.
Thanaa al-Saeid, anggota Dewan Nasional untuk Perempuan (NCW), mengatakan hukum itu hanya memungkinkan perempuan Mesir dianggap sebagai komoditas yang mahal. ”Terlepas dari jumlah uang yang dibayar, hukum mendorong pernikahan untuk kesenangan. Plus, apakah 50 ribu Pound Mesir akan menguntungkan gadis itu kalau dia hamil?,” tanya dia.
Uang sebesar itu harus didepositkan atas nama calon istri di Bank Nasional Mesir. Media Timur Tengah, Saudi Gazette, dalam laporannya kemarin, menulis bahwa banyak kasus para wanita Mesir bercerai pada akhir liburan. Mereka diduga menjalani kawin kontrak.
Undang-undang tentang pernikahan yang kontroversial itu sejatinya sudah ada sejak lama. Namun, pada tahun ini, syarat uang yang dianggap sebagai “mahar” itu telah dinaikkan dari 25 ribu, kemudian menjadi 40 ribu dan kini meningkat lagi menjadi 50 ribu Pound Mesir. Kenaikan jumlah uang syarat itu diklaim untuk melindungi hak-hak perempuan lokal Mesir.
Aktivis hak-hak perempuan, Nehad Abul Qomsan, mengecam hukum kawin kontrak itu. Dia menyebutnya sebagai “kerusakan”.
”Undang-undang, yang kembali ke tahun 1976, pernikahan awalnya dilarang antara perempuan dan laki-laki asing Mesir jika perbedaan usia melebihi 25 tahun. Kemudian pada tahun 1993, di bawah tekanan dari kelompok-kelompok Islamis, larangan ini dicabut dengan ketentuan bahwa deposito suami 25 ribu pound Mesir atas nama istri,” katanya.
”Jumlah tersebut meningkat menjadi 40 ribu Pound Mesir pada tahun 2004 dan kemudian menjadi 50 ribu Pound Mesir pada tahun 2015,” ujar Qomsan.
Menurutnya, “pernikahan wisata” itu harus dianggap sebagai “prostitusi legal”. “Orang asing hanya menandatangani kontrak pernikahan untuk menghindari masalah hukum dan keluarga gadis itu mengambil uang. Kadang-kadang seorang gadis dapat menikah dua kali atau lebih dalam waktu kurang dari sebulan,” kata Qomsan.
Naglaa al-Adly, Direktur Teknik Komunikasi untuk Pembangunan Pusat (ACT), berpendapat bahwa hukum tidak mempertimbangkan fakta bahwa pernikahan tersebut biasanya dilakukan secara rahasia karena beberapa anak perempuan masih berusia di bawah 18 tahun. ”Bahkan jika gadis itu bukan gadis kecil, kebanyakan pernikahan ini tidak terdaftar,” ujar Adly.
Thanaa al-Saeid, anggota Dewan Nasional untuk Perempuan (NCW), mengatakan hukum itu hanya memungkinkan perempuan Mesir dianggap sebagai komoditas yang mahal. ”Terlepas dari jumlah uang yang dibayar, hukum mendorong pernikahan untuk kesenangan. Plus, apakah 50 ribu Pound Mesir akan menguntungkan gadis itu kalau dia hamil?,” tanya dia.
(mas)