Pakar Hukum Internasional: IPT 1965 'Permainan' HAM

Jum'at, 13 November 2015 - 10:11 WIB
Pakar Hukum Internasional:...
Pakar Hukum Internasional: IPT 1965 'Permainan' HAM
A A A
JAKARTA - Pakar hukum internasional, Ko Swan Sik, telah mendengarkan banyak kesaksian dalam International People’s Tribunal (IPT) atau Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda. Menurutnya, secara hukum murni IPT 1965 itu tidak ada artinya atau sekadar “permainan” HAM.

Pandangan Ko Swan Sik itu disampaikan dalam wawancaranya dengan Yanti Mualim dari laman 1965tribunal.org, yang dilansir hari ini (13/11/2015). Berikut kutipan wawancara itu.


YM: Tamu saya adalah Professor Ko Swan Sik, seorang ahli dalam hukum internasional. Kami telah mendengarkan sejumlah kesaksian dalam beberapa hari terakhir. Apa pandangan Anda setelah mendengar kesaksian ini, sebagai ahli hukum dan orang biasa?

KS: Mari kita pertama pergi dari sudut pandang manusia; Saya pikir kita semua merasakan hal yang sama. Saya sendiri bersyukur bahwa anggota keluarga saya tidak pernah jadi korban. Tapi kita semua percaya bahwa semua itu benar-benar terjadi. Pertanyaan saya dan saya pikir saya bukan satu-satunya, selalu mengatakan; bagaimana ini bisa terjadi? Ada keheranan ini, bagaimana ini bisa terjadi di Indonesia?


YM: Itu satu orang bisa melakukan hal-hal seperti yang lain?

KS: Ya.


YM: Jadi dapat dimengerti bahwa mereka mencari keadilan?

KS: Saya bisa memahaminya. Hal ini dimengerti untuk korban secara langsung atau tidak langsung dari peristiwa-peristiwa itu, saya bisa mengerti itu sebagai seorang manusia.


YM: Kami telah mendengar beberapa saksi mengatakan dalam kesaksian mereka bahwa mereka merasa lega dapat memberitahu pengadilan apa yang telah terjadi pada mereka. Tapi dari sudut pandang hukum: apa artinya pengadilan ini?

KS: Saya bisa mengerti mengapa pertanyaan ini diajukan, karena ini memang bukan pengadilan dalam arti sebenarnya dari kata tersebut.


YM: Jadi itu tidak ada artinya dari sudut pandang hukum?

KS: Tidak dalam pandangan hukum murni. Selain segala sesuatu yang telah dikatakan di sini, dengan cara yang berlebihan dapat dikatakan bahwa ini hanyalah sebuah permainan. Ini adalah cara untuk mencurahkan perasaan, dan menunjukkan kepada masyarakat umum apa yang telah terjadi. Tapi secara hukum, itu tidak ada artinya. Hal serupa dilakukan selama perang Vietnam. Sejauh yang saya bisa mengerti, inisiatif ini datang dari aktivis yang ingin menahan gagasan hak asasi manusia, yang tentu saja kita semua dukung.


YM: Jadi tidak memiliki nilai hukum, tetapi bisa dikatakan bahwa itu adalah semacam tekanan moral?

KS: Tentu saja. Saya percaya bahwa ini adalah tujuan dari penyelenggara (IPT 1965).


YM: Sebagai ahli hukum, bagaimana Anda melihat prosedur di sini, seperti ‘make up’ dari panel hakim, yang sekaliber internasional, sementara tim penuntut terdiri dari orang-orang Indonesia?

KS: Jika ini adalah pengadilan nyata dengan mengikat secara hukum, itu tidak bisa terus hanya dalam empat hari. Mungkin empat bulan, mungkin setahun, atau lebih dari itu.


YM: Seperti Tribunal Yugoslavia?

KS: Ya.


YM: Jika Anda ditanya: apa yang akan jadi cara terbaik untuk memecahkan setelah tragedi 1965, apa yang akan Anda jawab?

KS: Saya selalu berharap bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga yang kita miliki di Indonesia seperti Komnas HAM akan cukup kuat untuk memecahkan masalah ini menurut hukum.


YM: Apa yang harus dilakukan agar hal itu terjadi?

KS: Lembaga pemerintah harus mulai membuat rencana tentang bagaimana untuk menangani peristiwa ini dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.


YM: Mengingat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir, apakah ini harapan yang realistis?

KS: Saya tidak berpikir begitu. Saya tidak aktif dalam politik, tapi saya yakin bahwa politik tidak mudah. Saya senang bahwa saya bukan politisi, karena itu sangat sulit. Orang sering mengkritik pemerintah, tapi itu bukan hal yang mudah.


YM: Apa solusi yang telah dicari di sejumlah negara, di mana tragedi serupa terjadi, seperti di Yugoslavia, Rwanda dan Afrika Selatan?

KS: Di beberapa bagian dunia, kejadian yang tidak diinginkan terjadi, yang telah menyebabkan set up pengadilan internasional. Saya memahami bahwa mekanisme sebagai seorang sarjana hukum, ketika inisiatif dan organisasi hadir. Namun secara pribadi, saya bukan pendukung besar. Tapi ini bukan dari sudut pandang hukum. Saya berpikir bahwa jenis penyelenggaraan, seperti yang terjadi di Indonesia, harus diselesaikan dalam lingkup nasional, tanpa intervensi internasional.


YM: Berarti itu harus terjadi dalam suatu negara?

KS: Ya.


YM: Bagaimana soal permintaan maaf? Apakah ini sangat sulit?

KS: Ini untuk para korban; apakah mereka menerimanya, atau mereka merasa itu tidak cukup.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1114 seconds (0.1#10.140)