Rusia Buat Hegemoni AS di Timur Tengah Memudar
A
A
A
WASHINGTON - Beberapa analis, dalam sebuah laporan yang diterbitkan Wall Sreet Journal (WSJ) menilai hegemoni Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah akan segera berakhir. Ini disebabkan kehadiran Rusia di wilayah tersebut yang dipandang lebih efektif dan terbuka dalam melakukan setiap operasi anti-teror, dibanding dengan AS.
Seorang mantan diplomat AS, Ryan Crocker mengakui, saat ini hubungan AS dengan beberapa negara di Timur Tengah telah menyentuh titik terendah sejak Perang Dunia II. "Kekosongan politik di wilayah bermasalah juga sekarang sedang diisi oleh Rusia, sesuatu hal yang diperjuangan Washington dalam waktu lama," ucap Croker.
Sementara itu, menurut Emile Hokayem, seorang analis senior di Institut Internasional untuk Studi Strategis Bahrain mengatakan, walaupun kekuatan militer AS di Timur Tengah masih cukup besar, tapi dunia lebih tertarik pada Rusia saat ini. Emile, menyebut mitra AS di Timur Tengah sudah mulai kehilangan kepercayaan pada AS.
"Anda tidak akan dapat menemukan satu konstituen di wilayah Timur Tengah yang akan mendukung penuh kebijakan AS saat ini. Itu sesuatu yang cukup menakjubkan," kata Hokayem dalam laporan WSJ seperti dilansir Sputnik pada Minggu (11/10).
Seorang analisi lainnya yakni Camille Grand, yang merupakan direktur sebuah organisasi think tank di Prancis menilai kebijakan Rusia telah membuat posisi mereka setara, atau bahkan lebih dari AS di Timur Tengah.
"Apa yang (Vladimir) Putin inginkan adalah membangun semacam pembagian kekuasaan dengan AS untuk mengawasi Timur Tengah, dan sejauh ini dia hampir berhasil," ujar Grand.
Dalam laporannya WSJ memberikan beberapa contoh mengenai mulai berkurangnya pengaruh AS di Timur Tengah. Salah satunya adalah penolakan Israel, yang merupakan mitra dekat AS, soal resolusi yang diutrakan AS di PBB mengenai Crimea.
Selain itu, beberapa mitra AS juga bungkan ketika AS mencoba mencari dukungan untuk menekan Rusia agar menghentikan serangan di Suriah.
Beberapa pihak di Timur Tengah, khususnya Kurdi dan Irak saat ini memang mulai menyuarakan rasa tidak puas atas operasi yang dilancarakan AS untuk melawan ISIS dalam kurun waktu satu terakhir.
Bentuk rasa tidak puas itu terlihat ketika Irak mulai meminta bantuan untuk menyerang ISIS di negara mereka, dan bahkan meminta Rusia untuk berperang lebih besar dibanding AS dalam melakukan serangan terhadap ISIS.
Seorang mantan diplomat AS, Ryan Crocker mengakui, saat ini hubungan AS dengan beberapa negara di Timur Tengah telah menyentuh titik terendah sejak Perang Dunia II. "Kekosongan politik di wilayah bermasalah juga sekarang sedang diisi oleh Rusia, sesuatu hal yang diperjuangan Washington dalam waktu lama," ucap Croker.
Sementara itu, menurut Emile Hokayem, seorang analis senior di Institut Internasional untuk Studi Strategis Bahrain mengatakan, walaupun kekuatan militer AS di Timur Tengah masih cukup besar, tapi dunia lebih tertarik pada Rusia saat ini. Emile, menyebut mitra AS di Timur Tengah sudah mulai kehilangan kepercayaan pada AS.
"Anda tidak akan dapat menemukan satu konstituen di wilayah Timur Tengah yang akan mendukung penuh kebijakan AS saat ini. Itu sesuatu yang cukup menakjubkan," kata Hokayem dalam laporan WSJ seperti dilansir Sputnik pada Minggu (11/10).
Seorang analisi lainnya yakni Camille Grand, yang merupakan direktur sebuah organisasi think tank di Prancis menilai kebijakan Rusia telah membuat posisi mereka setara, atau bahkan lebih dari AS di Timur Tengah.
"Apa yang (Vladimir) Putin inginkan adalah membangun semacam pembagian kekuasaan dengan AS untuk mengawasi Timur Tengah, dan sejauh ini dia hampir berhasil," ujar Grand.
Dalam laporannya WSJ memberikan beberapa contoh mengenai mulai berkurangnya pengaruh AS di Timur Tengah. Salah satunya adalah penolakan Israel, yang merupakan mitra dekat AS, soal resolusi yang diutrakan AS di PBB mengenai Crimea.
Selain itu, beberapa mitra AS juga bungkan ketika AS mencoba mencari dukungan untuk menekan Rusia agar menghentikan serangan di Suriah.
Beberapa pihak di Timur Tengah, khususnya Kurdi dan Irak saat ini memang mulai menyuarakan rasa tidak puas atas operasi yang dilancarakan AS untuk melawan ISIS dalam kurun waktu satu terakhir.
Bentuk rasa tidak puas itu terlihat ketika Irak mulai meminta bantuan untuk menyerang ISIS di negara mereka, dan bahkan meminta Rusia untuk berperang lebih besar dibanding AS dalam melakukan serangan terhadap ISIS.
(esn)