Data Kependudukan Dicuri Hacker, Nyawa Mata-mata AS Terancam
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) saat ini sedang khawatir mengenai nasib mata-mata mereka yang saat ini disebar di seluruh dunia. Kekhawatiran ini muncul setelah hacker berhasil menjebol dan mencuri data kependudukan AS dari Kantor Manajemen Personalia (OPM) negara tersebut.
Setidaknya, dalam insiden yang terjadi bulan lalu tersebut, hacker berhasil mencuri data 21 juta warga AS, di mana seluruh informasi pribadi mengenai alamat tinggal, hingga pekerjaan ke-21 juta orang tersebut berhasil dicuri oleh para hacker.
Direktur Agensi Keamanan Nasional AS atau NSA, Laksamana Michael S. Rogers mengatakan, dalam perspektif dunia intelijen, memiliki data sebanyak itu adalah keuntungan yang teramat besar. "Dari perspektif intelijen, hal itu berpotensi digunakan untuk tujuan kontra intelijen," kata Rogers.
"Jika saya tertarik untuk mencoba untuk mengidentifikasi warga AS yang mungkin di berada negara saya, maka saya akan mencoba untuk mencari tahu mengapa mereka ada, spakah mereka hanya wisatawan, spakah mereka ada untuk tujuan alternatif lainnya. Ada banyak sekali informasi yang bisa Anda dapat dari informasi OPM,” sambungnya seperti dilansir Sputnik pada Minggu (26/7/2015).
Sejatinya sampai saat ini belum diketahui apakah pemerintah AS tetap memasukan data mata-mata mereka ke dalam data OPM. Namun, menurut beberapa pengamat, hal itu tidak terlalu penting. Sebab, para hacker tersebut tetap bisa melakukan analisis, untuk bisa mengetahui mana warga AS yang bekerja sebagai mata-mata dan mana yang bukan.
Menurut pengamat, teknik analisa yang digunakan untuk mengetahui hal ini sangatlah mudah. Yakni, Dengan membandingkan daftar pegawai federal dengan daftar orang-orang yang diberikan visa untuk bekerja di perwakilan AS, kedok umum yang digunakan petugas intelijen AS yang mengumpulkan informasi di negara lain. Dari sana identitas mata-mata bisa disimpulkan, karena nama mereka akan ada pada daftar terakhir, tetapi tidak masuk ke dalam daftar mantan pegawai.
Setidaknya, dalam insiden yang terjadi bulan lalu tersebut, hacker berhasil mencuri data 21 juta warga AS, di mana seluruh informasi pribadi mengenai alamat tinggal, hingga pekerjaan ke-21 juta orang tersebut berhasil dicuri oleh para hacker.
Direktur Agensi Keamanan Nasional AS atau NSA, Laksamana Michael S. Rogers mengatakan, dalam perspektif dunia intelijen, memiliki data sebanyak itu adalah keuntungan yang teramat besar. "Dari perspektif intelijen, hal itu berpotensi digunakan untuk tujuan kontra intelijen," kata Rogers.
"Jika saya tertarik untuk mencoba untuk mengidentifikasi warga AS yang mungkin di berada negara saya, maka saya akan mencoba untuk mencari tahu mengapa mereka ada, spakah mereka hanya wisatawan, spakah mereka ada untuk tujuan alternatif lainnya. Ada banyak sekali informasi yang bisa Anda dapat dari informasi OPM,” sambungnya seperti dilansir Sputnik pada Minggu (26/7/2015).
Sejatinya sampai saat ini belum diketahui apakah pemerintah AS tetap memasukan data mata-mata mereka ke dalam data OPM. Namun, menurut beberapa pengamat, hal itu tidak terlalu penting. Sebab, para hacker tersebut tetap bisa melakukan analisis, untuk bisa mengetahui mana warga AS yang bekerja sebagai mata-mata dan mana yang bukan.
Menurut pengamat, teknik analisa yang digunakan untuk mengetahui hal ini sangatlah mudah. Yakni, Dengan membandingkan daftar pegawai federal dengan daftar orang-orang yang diberikan visa untuk bekerja di perwakilan AS, kedok umum yang digunakan petugas intelijen AS yang mengumpulkan informasi di negara lain. Dari sana identitas mata-mata bisa disimpulkan, karena nama mereka akan ada pada daftar terakhir, tetapi tidak masuk ke dalam daftar mantan pegawai.
(esn)