Kisah Pilu Pengungsi Rohingya, Berebut Makanan Demi Nyawa
A
A
A
LANGSA - Kisah pilu nan tragis diutarakan oleh para pengungsi Rohinga dan Bangladesh yang saat ini berada di penampungan Langsa, Banda Aceh. Mohammad Amin, salah seorang pengungsi mengutarakan, untuk mendapatkan makanan, tidak sedikit dari pengungsi yang harus baku pukul, hingga saling tikam.
“Satu keluarga dipukuli hingga mati dengan papan kayu oleh keluarga lainnya yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak lelakinya. Jenazah mereka kemudian dibuang ke laut,” ujar Amin, seperti dilansir Telegraph pada Senin (18/5/2015).
Kondisi ini tercipta akibat rasa frustasi, yang bercampur dengan insting bertahan hidup. Hal ini bisa dimaklumi, karena terombang-ambing di tengah laut bisa membuat sifat orang berubah, terlebih saat mereka dalam kondisi terdesak.
Sementara itu, seorang pengungsi lainnya bernama Mohammad Rafique meceritakan bagaimana anak-anak dan wanita kelaparan akibat tidak mendapatkan makanan. Para pengungsi Bangladesh, menurut Rafique, tidak pernah mau berbagi makanan dengan pengungsi lainnya.
Pria berusia 21 tahun itu bahkan mengatakan, tidak jarang justru pengungsi Bangladesh mengambil makanan milik pengungsi Rohingya.
“Mereka mengambil makanan kami. Mereka mendorong beberapa orang ke laut. Mereka memukuli dan menyerang kami dengan pisau. Saya dipukul dengan papan di kepala dan kaki,” paparnya.
Tapi sebaliknya, para imigran Bangladesh menyalahkan warga Rohingya yang menurut mereka melakukan penyiksaan. “Orang Burma (Myanmar) tidak memberi kami makanan dan air. Mereka menyiksa kami setiap hari,” kata seorang imigran Bangladesh bernama Mohammad Abdur Rahim.
Saat ini, para pengungsi tersebut masih bisa sedikit bernapas lega karena bernasib lebih baik dari para pengungsi lainnya. Mereka tidak lagi harus merasakan terjangan ombak di lautan lepas, karena mereka bisa berkumpul, bercengkrama dan beristirahat di lokasi penampungan yang disedikan Pemerintah Daerah Aceh.
“Satu keluarga dipukuli hingga mati dengan papan kayu oleh keluarga lainnya yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak lelakinya. Jenazah mereka kemudian dibuang ke laut,” ujar Amin, seperti dilansir Telegraph pada Senin (18/5/2015).
Kondisi ini tercipta akibat rasa frustasi, yang bercampur dengan insting bertahan hidup. Hal ini bisa dimaklumi, karena terombang-ambing di tengah laut bisa membuat sifat orang berubah, terlebih saat mereka dalam kondisi terdesak.
Sementara itu, seorang pengungsi lainnya bernama Mohammad Rafique meceritakan bagaimana anak-anak dan wanita kelaparan akibat tidak mendapatkan makanan. Para pengungsi Bangladesh, menurut Rafique, tidak pernah mau berbagi makanan dengan pengungsi lainnya.
Pria berusia 21 tahun itu bahkan mengatakan, tidak jarang justru pengungsi Bangladesh mengambil makanan milik pengungsi Rohingya.
“Mereka mengambil makanan kami. Mereka mendorong beberapa orang ke laut. Mereka memukuli dan menyerang kami dengan pisau. Saya dipukul dengan papan di kepala dan kaki,” paparnya.
Tapi sebaliknya, para imigran Bangladesh menyalahkan warga Rohingya yang menurut mereka melakukan penyiksaan. “Orang Burma (Myanmar) tidak memberi kami makanan dan air. Mereka menyiksa kami setiap hari,” kata seorang imigran Bangladesh bernama Mohammad Abdur Rahim.
Saat ini, para pengungsi tersebut masih bisa sedikit bernapas lega karena bernasib lebih baik dari para pengungsi lainnya. Mereka tidak lagi harus merasakan terjangan ombak di lautan lepas, karena mereka bisa berkumpul, bercengkrama dan beristirahat di lokasi penampungan yang disedikan Pemerintah Daerah Aceh.
(esn)