Perjanjian Raja Abdulaziz dan Roosevelt, Cikal Bakal Arab Saudi Jadi Sekutu AS
loading...
A
A
A
RIYADH - Arab Saudi telah menjadi sekutu utama Amerika Serikat (AS) selama puluhan tahun. Hingga kini, kerajaan yang jadi rumah situs tersuci umat Islam itu dijanjikan perlindungan militer oleh Washington.
Cikal bakal Kerajaan Arab Saudi menjadi sekutu Amerika bermula dari peristiwa 14 Februari 1945.
Pada tanggal itulah Presiden AS saat itu; Franklin D Roosevelt, kembali dari Konferensi Yalta di mana dia bertemu dengan Winston Churchill Inggris dan Joseph Stalin dari Uni Soviet, dan Raja Abdulaziz Al-Saud; pendiri Kerajaan Arab Saudi.
Usai pertemuan itu, Raja Abdulaziz dipanggil untuk bertemu Roosevelet secara pribadi. Pertemuan berlangsung di kapal USS Quincy di Terusan Suez.
Pertemuan khusus itu menghasilkan Pakta Quincy yang ditandatangani oleh kedua pemimpin.
Menurut laporan Middle East Monitor, Kamis (15/12/2022), bagian terpenting dari perjanjian atau pakta itu adalah bahwa AS akan memberikan perlindungan tanpa syarat kepada keluarga al-Saud yang berkuasa di Kerajaan Arab Saudi dengan imbalan jaminan pasokan energi Saudi kepada Amerika untuk jangka waktu 60 tahun.
Selama masa kepresidenan George W Bush pada tahun 2005, perjanjian tersebut diperbarui untuk 60 tahun lagi.
Sepanjang periode yang panjang ini, semuanya berjalan dengan baik dan hubungan kedua negara juga baik sampai akhirnya Pangeran Mohammed bin Salman al-Saud menjadi Putra Mahkota Arab Saudi pada tahun 2017.
Ketika Joe Biden melenggang ke Gedung Putih sebagai Presiden AS pada Januari 2021, dia benar-benar mengabaikan Pangeran Mohammed sebagai pemimpin de facto Saudi.
Sepanjang kampanye pemilihan presidennya, Biden bersumpah untuk menghukum Pangeran Mohammed bin Salman, yang dituduh oleh CIA terlibat langsung dalam pembunuhan jurnalis Washington Post; Jamal Khashoggi, tahun 2018 di Konsulat Saudi di Istanbul.
Itulah mengapa Biden sengaja memilih untuk tidak menelepon sang pangeran setelah dia terpilih sebagai presiden AS.
Biden bersikeras akan berbicara dengan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dengan syarat putranya; Pangeran Mohammed bin Salman, tidak mendengarkan atau bergabung dalam diskusi.
Biden juga menghapus kelompok Houthi di Yaman dari daftar kelompok teroris, yang membuat marah Pangeran Mohammed bin Salman, yang menanggapinya dengan mendekatkan diri ke Rusia dan China.
Pemimpin de factor Saudi itu kemudian menolak untuk meningkatkan produksi minyak ketika diminta oleh AS untuk melakukannya, dan bertindak sebagai pemasok alternatif untuk minyak dan gas Rusia setelah invasi Moskow ke Ukraina.
Beberapa media global melaporkan bahwa Mohammed bin Salman menolak menerima telepon dari Biden yang diatur oleh Gedung Putih.
Menurut Wall Street Journal, Mohammed bin Salman meneriaki Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan selama pertemuan ketika nama Khashoggi disebut-sebut.
Pangeran Mohammed bin Salman menunjukkan bahwa dia tidak ingin membahas masalah itu lagi, dan mengatakan bahwa AS dapat melupakan permintaannya untuk menggandakan produksi minyak Arab Saudi.
Posisi Mohammed bin Salman sebagai Putra Mahkota Arab Saudi pada akhirnya mendorong Biden untuk mengunjungi negara itu, dan membuatnya mundur dari ancamannya terhadap Mohammed bin Salman serta sumpahnya untuk menjadikan Kerajaan Arab Saudi sebagai negara "pariah".
Kunjungan itu merupakan perubahan strategis yang membuat AS menaruh minat di Timur Tengah sekali lagi setelah ditinggalkan Washington dan melihat ke Timur Jauh. Ini adalah salah satu dampak geostrategis dari perang Rusia-Ukraina dan ancaman terhadap keamanan dan energi di Eropa.
"Kami tidak akan pergi begitu saja dan meninggalkan kekosongan untuk diisi oleh China, Rusia atau Iran," jelas Biden dalam kunjungannya ke Jeddah beberapa bulan lalu.
Nasib Timur Tengah dan rakyatnya seolah-olah hanya ditentukan oleh persaingan antar kekuatan besar.
Mohammed bin Salman terlihat bersikap dingin selama kunjungan Biden, membuat presiden AS itu kecewa.
Biden terkejut dengan Arab Saudi yang setuju dengan Rusia di dalam OPEC+ tentang pemangkasan yang signifikan dalam kuota produksi minyak daripada meningkatkannya untuk mengendalikan harga.
Momen itu bertepatan dengan datangnya pemilu paruh waktu Kongres AS. Itu adalah pukulan pribadi yang ditujukan kepada Biden oleh pemimpin muda Arab Saudi.
Tantangan lain bagi Biden adalah kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Riyadh atas undangan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, yang juga ditunjuk sebagai Perdana Menteri menggantikan ayahnya.
Penerimaan presiden China jauh lebih mewah daripada yang diberikan kepada Biden. Jabat tangan antara Mohammed bin Salman dan Xi Jinping berlangsung setidaknya sepuluh detik, seperti yang ditunjukkan oleh para komentator. Sedangkan Biden harus puas hanya dengan "tos tinju" kilat.
Perjanjian kemitraan strategis yang ditandatangani oleh Arab Saudi dan China membuat marah AS.
Gedung Putih mengatakan bahwa kunjungan Xi Jinping ke Riyadh adalah bagian dari upaya China untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia.
Sedangkan Washington menyatakan kunjungan itu tak heran, reaksinya terbukti dengan prediksi akan menimbulkan masalah dalam hubungan antara Amerika dan China serta sekutu lainnya, termasuk Arab Saudi.
Pertanyaan sekarang diajukan tentang adopsi perjanjian kemitraan dengan China oleh Mohammed bin Salman. Akankah, misalnya, membatalkan perjanjian kakeknya; Raja Abdulaziz dengan Presiden AS Roosevelt saat itu, Pakta Quincy? Atau akankah dia mempermainkan Washington dan Beijing satu sama lain, dengan risiko bahwa keduanya pada akhirnya akan mendepaknya?
Meskipun tekanan politik di AS telah memastikan bahwa Mohammed bin Salman sebagai Perdana Menteri Arab Saudi akan kebal dari penuntutan atas pembunuhan Khashoggi, beberapa hari mendatang akan menunjukkan kepada dunia apakah ini menandakan perubahan strategis lain oleh pemerintahan Biden, dan apakah Mohammed bin Salman mampu untuk bermanuver sendiri cukup untuk melewati tantangan besar ini dalam keadaan utuh.
Lihat Juga: Penuhi Undangan Menteri Tawfiq, Menag Bertolak ke Arab Saudi Bahas Operasional Haji 2025
Cikal bakal Kerajaan Arab Saudi menjadi sekutu Amerika bermula dari peristiwa 14 Februari 1945.
Pada tanggal itulah Presiden AS saat itu; Franklin D Roosevelt, kembali dari Konferensi Yalta di mana dia bertemu dengan Winston Churchill Inggris dan Joseph Stalin dari Uni Soviet, dan Raja Abdulaziz Al-Saud; pendiri Kerajaan Arab Saudi.
Usai pertemuan itu, Raja Abdulaziz dipanggil untuk bertemu Roosevelet secara pribadi. Pertemuan berlangsung di kapal USS Quincy di Terusan Suez.
Pertemuan khusus itu menghasilkan Pakta Quincy yang ditandatangani oleh kedua pemimpin.
Menurut laporan Middle East Monitor, Kamis (15/12/2022), bagian terpenting dari perjanjian atau pakta itu adalah bahwa AS akan memberikan perlindungan tanpa syarat kepada keluarga al-Saud yang berkuasa di Kerajaan Arab Saudi dengan imbalan jaminan pasokan energi Saudi kepada Amerika untuk jangka waktu 60 tahun.
Selama masa kepresidenan George W Bush pada tahun 2005, perjanjian tersebut diperbarui untuk 60 tahun lagi.
Sepanjang periode yang panjang ini, semuanya berjalan dengan baik dan hubungan kedua negara juga baik sampai akhirnya Pangeran Mohammed bin Salman al-Saud menjadi Putra Mahkota Arab Saudi pada tahun 2017.
Ketika Joe Biden melenggang ke Gedung Putih sebagai Presiden AS pada Januari 2021, dia benar-benar mengabaikan Pangeran Mohammed sebagai pemimpin de facto Saudi.
Sepanjang kampanye pemilihan presidennya, Biden bersumpah untuk menghukum Pangeran Mohammed bin Salman, yang dituduh oleh CIA terlibat langsung dalam pembunuhan jurnalis Washington Post; Jamal Khashoggi, tahun 2018 di Konsulat Saudi di Istanbul.
Itulah mengapa Biden sengaja memilih untuk tidak menelepon sang pangeran setelah dia terpilih sebagai presiden AS.
Biden bersikeras akan berbicara dengan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dengan syarat putranya; Pangeran Mohammed bin Salman, tidak mendengarkan atau bergabung dalam diskusi.
Biden juga menghapus kelompok Houthi di Yaman dari daftar kelompok teroris, yang membuat marah Pangeran Mohammed bin Salman, yang menanggapinya dengan mendekatkan diri ke Rusia dan China.
Pemimpin de factor Saudi itu kemudian menolak untuk meningkatkan produksi minyak ketika diminta oleh AS untuk melakukannya, dan bertindak sebagai pemasok alternatif untuk minyak dan gas Rusia setelah invasi Moskow ke Ukraina.
Beberapa media global melaporkan bahwa Mohammed bin Salman menolak menerima telepon dari Biden yang diatur oleh Gedung Putih.
Menurut Wall Street Journal, Mohammed bin Salman meneriaki Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan selama pertemuan ketika nama Khashoggi disebut-sebut.
Pangeran Mohammed bin Salman menunjukkan bahwa dia tidak ingin membahas masalah itu lagi, dan mengatakan bahwa AS dapat melupakan permintaannya untuk menggandakan produksi minyak Arab Saudi.
Posisi Mohammed bin Salman sebagai Putra Mahkota Arab Saudi pada akhirnya mendorong Biden untuk mengunjungi negara itu, dan membuatnya mundur dari ancamannya terhadap Mohammed bin Salman serta sumpahnya untuk menjadikan Kerajaan Arab Saudi sebagai negara "pariah".
Kunjungan itu merupakan perubahan strategis yang membuat AS menaruh minat di Timur Tengah sekali lagi setelah ditinggalkan Washington dan melihat ke Timur Jauh. Ini adalah salah satu dampak geostrategis dari perang Rusia-Ukraina dan ancaman terhadap keamanan dan energi di Eropa.
"Kami tidak akan pergi begitu saja dan meninggalkan kekosongan untuk diisi oleh China, Rusia atau Iran," jelas Biden dalam kunjungannya ke Jeddah beberapa bulan lalu.
Nasib Timur Tengah dan rakyatnya seolah-olah hanya ditentukan oleh persaingan antar kekuatan besar.
Mohammed bin Salman terlihat bersikap dingin selama kunjungan Biden, membuat presiden AS itu kecewa.
Biden terkejut dengan Arab Saudi yang setuju dengan Rusia di dalam OPEC+ tentang pemangkasan yang signifikan dalam kuota produksi minyak daripada meningkatkannya untuk mengendalikan harga.
Momen itu bertepatan dengan datangnya pemilu paruh waktu Kongres AS. Itu adalah pukulan pribadi yang ditujukan kepada Biden oleh pemimpin muda Arab Saudi.
Tantangan lain bagi Biden adalah kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Riyadh atas undangan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, yang juga ditunjuk sebagai Perdana Menteri menggantikan ayahnya.
Penerimaan presiden China jauh lebih mewah daripada yang diberikan kepada Biden. Jabat tangan antara Mohammed bin Salman dan Xi Jinping berlangsung setidaknya sepuluh detik, seperti yang ditunjukkan oleh para komentator. Sedangkan Biden harus puas hanya dengan "tos tinju" kilat.
Perjanjian kemitraan strategis yang ditandatangani oleh Arab Saudi dan China membuat marah AS.
Gedung Putih mengatakan bahwa kunjungan Xi Jinping ke Riyadh adalah bagian dari upaya China untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia.
Sedangkan Washington menyatakan kunjungan itu tak heran, reaksinya terbukti dengan prediksi akan menimbulkan masalah dalam hubungan antara Amerika dan China serta sekutu lainnya, termasuk Arab Saudi.
Pertanyaan sekarang diajukan tentang adopsi perjanjian kemitraan dengan China oleh Mohammed bin Salman. Akankah, misalnya, membatalkan perjanjian kakeknya; Raja Abdulaziz dengan Presiden AS Roosevelt saat itu, Pakta Quincy? Atau akankah dia mempermainkan Washington dan Beijing satu sama lain, dengan risiko bahwa keduanya pada akhirnya akan mendepaknya?
Meskipun tekanan politik di AS telah memastikan bahwa Mohammed bin Salman sebagai Perdana Menteri Arab Saudi akan kebal dari penuntutan atas pembunuhan Khashoggi, beberapa hari mendatang akan menunjukkan kepada dunia apakah ini menandakan perubahan strategis lain oleh pemerintahan Biden, dan apakah Mohammed bin Salman mampu untuk bermanuver sendiri cukup untuk melewati tantangan besar ini dalam keadaan utuh.
Lihat Juga: Penuhi Undangan Menteri Tawfiq, Menag Bertolak ke Arab Saudi Bahas Operasional Haji 2025
(min)