China: AS Ancaman Nuklir Paling Utama di Dunia
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Seorang pejabat China mengatakan Beijing menolak karakterisasi Pentagon tentang peningkatan kemampuan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dalam sebuah laporan terbaru. Ia beralasan bahwa Amerika Serikatlah yang memicu ketegangan nuklir, bukan China.
Pentagon baru saja merilis penilain terbarunya tentang "Perkembangan Militer dan Keamanan yang Melibatkan Republik Rakyat China", mencatat sejumlah pengamatan, termasuk peningkatan senjata nuklir China dan kekuatan rudal balistik.
Laporan tersebut memperkirakan bahwa Pasukan Roket PLA telah menggandakan kekuatan rudal balistik antarbenua (ICBM) dari 150 menjadi 300 dan akan berusaha untuk melipatgandakan hulu ledak nuklirnya dari hitungan saat ini di atas 400 menjadi 1.500 pada tahun 2035.
Namun juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu berpendapat, laporan tersebut sama seperti laporan sebelum-sebelumnya, mengabaikan fakta dan sarat dengan bias.
"AS menggunakan laporan ini untuk menyebarkan teori 'ancaman nuklir China'," kata Liu.
"Tapi ini memanipulasi retorika untuk membingungkan opini publik, yang dilihat oleh komunitas internasional," imbuhnya.
"Faktanya, sumber utama ancaman nuklir di dunia tidak lain adalah AS sendiri," tambahnya.
“Meskipun memiliki persenjataan nuklir terbesar dan tercanggih di dunia, AS masih menginvestasikan triliunan dolar untuk meningkatkan 'triad nuklirnya', mengembangkan senjata nuklir hasil rendah dan menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir,” tuturnya.
Mengenai upaya non-proliferasi sebelumnya, Liu mencatat bagaiman AS telah menarik diri dari instrumen hukum dalam pengendalian senjata termasuk Perjanjian Anti-Rudal Balistik (ABM) yang dibatalkan oleh Presiden George W Bush pada tahun 2002 dan Perjanjian Pasukan Nuklir Jarak Menengah (INF) yang ditinggalkan oleh Presiden Donald Trump pada 2019.
Pentagon baru saja merilis penilain terbarunya tentang "Perkembangan Militer dan Keamanan yang Melibatkan Republik Rakyat China", mencatat sejumlah pengamatan, termasuk peningkatan senjata nuklir China dan kekuatan rudal balistik.
Laporan tersebut memperkirakan bahwa Pasukan Roket PLA telah menggandakan kekuatan rudal balistik antarbenua (ICBM) dari 150 menjadi 300 dan akan berusaha untuk melipatgandakan hulu ledak nuklirnya dari hitungan saat ini di atas 400 menjadi 1.500 pada tahun 2035.
Namun juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu berpendapat, laporan tersebut sama seperti laporan sebelum-sebelumnya, mengabaikan fakta dan sarat dengan bias.
"AS menggunakan laporan ini untuk menyebarkan teori 'ancaman nuklir China'," kata Liu.
"Tapi ini memanipulasi retorika untuk membingungkan opini publik, yang dilihat oleh komunitas internasional," imbuhnya.
"Faktanya, sumber utama ancaman nuklir di dunia tidak lain adalah AS sendiri," tambahnya.
“Meskipun memiliki persenjataan nuklir terbesar dan tercanggih di dunia, AS masih menginvestasikan triliunan dolar untuk meningkatkan 'triad nuklirnya', mengembangkan senjata nuklir hasil rendah dan menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir,” tuturnya.
Mengenai upaya non-proliferasi sebelumnya, Liu mencatat bagaiman AS telah menarik diri dari instrumen hukum dalam pengendalian senjata termasuk Perjanjian Anti-Rudal Balistik (ABM) yang dibatalkan oleh Presiden George W Bush pada tahun 2002 dan Perjanjian Pasukan Nuklir Jarak Menengah (INF) yang ditinggalkan oleh Presiden Donald Trump pada 2019.