Putin-Xi Jinping Berpotensi Ambil Alih Kepemimpinan Dunia
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) bakal kehilangan kendali kepemimpinan dan pengaruhnya atas dunia. Kemungkinan ini ternyata bisa terjadi jika Presiden Donald Trump tumbang pada pemilu Presiden AS November nanti. Dalam kondisi tersebut, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping akan mengambil kepemimpinan dunia yang berpotensi mengubah tatanan dunia.
Prediksi tersebut disampaikan sejumlah pengamat, di antaranya pengamat politik dari AS, David Ignatius, dilansir The Washington Post. Menurut dia, Putin dan Jinping bisa mengambil keuntungan dengan berbagai ketidakpastian dan hal yang tidak bisa diprediksi dalam perpolitikan AS.
Fondasi merebut tatanan dunia juga telah dimulai oleh Putin dan Jinping, dari kerja sama militer, pemberian utang kepada negara miskin, hingga upaya membangun kerja sama ekonomi yang solid. Meskipun mereka tidak bahu membahu, tetapi gerakan yang mereka lakukan sudah mengarah pada upaya untuk merongrong kekuatan AS sebagai pemimpin dunia.
Di sisi lain, baik Putin dan Jinping telah memperkuat kekuasaannya di dalam negeri. Stabilitas politik dan ekonomi di dalam negeri merupakan prasyarat utama bagi pemimpin yang ingin memiliki posisi yang kokoh di ranah internasional. Hal itu sangat berkebalikan dengan Trump yang memiliki kebijakan dan citra yang hancur di dalam negeri. (Baca: Wabah Covid-19 AS Kian Parah: Sehari 39.379 Orang Terinfeksi)
Seperti diketahui, Putin sudah memenangkan referendum konstitusi yang mengizinkannya menjadi presiden seumur hidup. Namun, rakyat Rusia justru senang dengan kepemimpinan Putin yang tegas dan mampu mengangkat Moskow ke kancah politik internasional.
Putin dikenal sebagai pemimpinan yang selalu mengutamakan persatuan nasional dan mencari posisi di forum global. Apalagi, salah satu misi utamanya adalah memperbaiki kedudukan Rusia di ranah global, termasuk dengan aneksasi Crimea dan intervensi di Suriah. Putin juga rajin membangun kekuatan diplomasi dengan negara-negara di Asia-Pasifik hingga Afrika serta Amerika Latin. Itu sebagai alternatif terbaik karena Rusia dijauhi oleh negara-negara Eropa.
Baik China maupun Rusia berstatus sebagai rival utama AS. Mereka tetap konsisten dengan perlawanan. Dengan memiliki musuh yang sama, Putin dan Jinping pun bahu membahu untuk melakukan segala cara agar bisa mengalahkan AS, dalam bidang geopolitik dan ekonomi global. Melihat AS menderita merupakan hasrat mereka. Saat ini AS memang berada di titik terendah dalam bidang ekonomi dengan tingginya pengangguran dan penyebaran virus corona yang sangat masif.
Khusus Putin, dia selalu ingin membalas dendam kepada AS. Menurut David, Putin perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa mewujudkan “dendamnya” kepada AS. “Putin yakin AS menghancurkan Uni Soviet. Dia sangat suka jika AS menderita,” kata David. (Baca juga: Dua Kapal Induknya Diancam Rudal Pembunuh China, Ini Respons AS)
Tak ingin terlihat kalah dari Putin, sentimen anti-Rusia juga dimainkan Trump beberapa waktu lalu. Gedung Putih menuding Rusia membayar gerilyawan Taliban untuk membunuh tentara AS di Afganistan. Kedutaan Besar Rusia di AS dan Taliban pun membantah tudingan tersebut.
Tak kelewatan, Trump juga tetap memainkan sentimen anti-China pada kampanye dan kebijakan menjelang pemilu presiden mendatang. Mulai dari menyalahkan virus corona dari China, perang dagang, hingga larangan penerbangan dari China. Sinofobia menjadi isu atraktif bagi Trump untuk menggaet dukungan publik AS.
Prediksi tersebut disampaikan sejumlah pengamat, di antaranya pengamat politik dari AS, David Ignatius, dilansir The Washington Post. Menurut dia, Putin dan Jinping bisa mengambil keuntungan dengan berbagai ketidakpastian dan hal yang tidak bisa diprediksi dalam perpolitikan AS.
Fondasi merebut tatanan dunia juga telah dimulai oleh Putin dan Jinping, dari kerja sama militer, pemberian utang kepada negara miskin, hingga upaya membangun kerja sama ekonomi yang solid. Meskipun mereka tidak bahu membahu, tetapi gerakan yang mereka lakukan sudah mengarah pada upaya untuk merongrong kekuatan AS sebagai pemimpin dunia.
Di sisi lain, baik Putin dan Jinping telah memperkuat kekuasaannya di dalam negeri. Stabilitas politik dan ekonomi di dalam negeri merupakan prasyarat utama bagi pemimpin yang ingin memiliki posisi yang kokoh di ranah internasional. Hal itu sangat berkebalikan dengan Trump yang memiliki kebijakan dan citra yang hancur di dalam negeri. (Baca: Wabah Covid-19 AS Kian Parah: Sehari 39.379 Orang Terinfeksi)
Seperti diketahui, Putin sudah memenangkan referendum konstitusi yang mengizinkannya menjadi presiden seumur hidup. Namun, rakyat Rusia justru senang dengan kepemimpinan Putin yang tegas dan mampu mengangkat Moskow ke kancah politik internasional.
Putin dikenal sebagai pemimpinan yang selalu mengutamakan persatuan nasional dan mencari posisi di forum global. Apalagi, salah satu misi utamanya adalah memperbaiki kedudukan Rusia di ranah global, termasuk dengan aneksasi Crimea dan intervensi di Suriah. Putin juga rajin membangun kekuatan diplomasi dengan negara-negara di Asia-Pasifik hingga Afrika serta Amerika Latin. Itu sebagai alternatif terbaik karena Rusia dijauhi oleh negara-negara Eropa.
Baik China maupun Rusia berstatus sebagai rival utama AS. Mereka tetap konsisten dengan perlawanan. Dengan memiliki musuh yang sama, Putin dan Jinping pun bahu membahu untuk melakukan segala cara agar bisa mengalahkan AS, dalam bidang geopolitik dan ekonomi global. Melihat AS menderita merupakan hasrat mereka. Saat ini AS memang berada di titik terendah dalam bidang ekonomi dengan tingginya pengangguran dan penyebaran virus corona yang sangat masif.
Khusus Putin, dia selalu ingin membalas dendam kepada AS. Menurut David, Putin perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa mewujudkan “dendamnya” kepada AS. “Putin yakin AS menghancurkan Uni Soviet. Dia sangat suka jika AS menderita,” kata David. (Baca juga: Dua Kapal Induknya Diancam Rudal Pembunuh China, Ini Respons AS)
Tak ingin terlihat kalah dari Putin, sentimen anti-Rusia juga dimainkan Trump beberapa waktu lalu. Gedung Putih menuding Rusia membayar gerilyawan Taliban untuk membunuh tentara AS di Afganistan. Kedutaan Besar Rusia di AS dan Taliban pun membantah tudingan tersebut.
Tak kelewatan, Trump juga tetap memainkan sentimen anti-China pada kampanye dan kebijakan menjelang pemilu presiden mendatang. Mulai dari menyalahkan virus corona dari China, perang dagang, hingga larangan penerbangan dari China. Sinofobia menjadi isu atraktif bagi Trump untuk menggaet dukungan publik AS.