Perang Memanas, Rusia Tingkatkan Produksi Perangkat Keras Militer
loading...
A
A
A
MOSKOW - Raksasa industri pertahanan milik negara Rusia, Rostech, berjanji meningkatkan kemampuan produksinya untuk memenuhi permintaan yang meningkat untuk perangkat keras militer di tengah mobilisasi parsial.
Perusahaan mengumumkan hal itu pada Rabu (21/9/2022). “Keputusan manajemen tertentu telah diambil,” tambahnya.
“Hari ini, banyak perusahaan Rostech telah memperkenalkan kondisi operasi khusus: Karyawan bekerja lembur dan sering juga di akhir pekan,” ungkap Rostech dalam pernyataan.
Rostech menambahkan mereka akan “lebih meningkatkan kapasitas produksinya untuk memenuhi tujuan” yang ditetapkan Moskow.
Korporasi juga menyatakan harapannya, “Kontribusinya pada tujuan bersama akan membantu Rusia menang dan keluar sebagai pemenang.”
Pernyataan itu muncul ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menuntut industri pertahanan mempercepat pekerjaan mereka di bawah program pengadaan dan akuisisi pertahanan negara.
“Rostech bertanggung jawab atas 40% dari semua kontrak akuisisi pertahanan,” papar perusahaan itu.
Raksasa industri pertahanan itu antara lain memproduksi pesawat tempur, sistem artileri, senjata presisi tinggi, perangkat komunikasi, dan sistem peperangan elektronik radio.
Sebelumnya pada Rabu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi militer parsial.
Dia mengatakan Kementerian Pertahanan telah merekomendasikan pengerahan tentara cadangan ke dalam dinas aktif di tengah konflik berkepanjangan di Ukraina dan Donbass.
Menurut Menteri Pertahanan (Menhan) Rusia Sergey Shoigu, mobilisasi akan melibatkan panggilan untuk mempersenjatai sekitar 300.000 tentara cadangan, atau lebih dari 1% dari potensi mobilisasi penuh Rusia.
Rusia mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari, mengutip kegagalan Kiev mengimplementasikan perjanjian Minsk, yang dirancang untuk memberikan status khusus wilayah Donetsk dan Luhansk di dalam negara Ukraina.
Protokol, yang ditengahi Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada tahun 2014. Mantan presiden Ukraina Pyotr Poroshenko sejak itu mengakui tujuan utama Kiev adalah menggunakan gencatan senjata untuk mengulur waktu dan “menciptakan angkatan bersenjata yang kuat.”
Pada Februari 2022, Kremlin mengakui republik Donbass sebagai negara merdeka dan menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer Barat mana pun. Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan.
Perusahaan mengumumkan hal itu pada Rabu (21/9/2022). “Keputusan manajemen tertentu telah diambil,” tambahnya.
“Hari ini, banyak perusahaan Rostech telah memperkenalkan kondisi operasi khusus: Karyawan bekerja lembur dan sering juga di akhir pekan,” ungkap Rostech dalam pernyataan.
Rostech menambahkan mereka akan “lebih meningkatkan kapasitas produksinya untuk memenuhi tujuan” yang ditetapkan Moskow.
Korporasi juga menyatakan harapannya, “Kontribusinya pada tujuan bersama akan membantu Rusia menang dan keluar sebagai pemenang.”
Pernyataan itu muncul ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menuntut industri pertahanan mempercepat pekerjaan mereka di bawah program pengadaan dan akuisisi pertahanan negara.
“Rostech bertanggung jawab atas 40% dari semua kontrak akuisisi pertahanan,” papar perusahaan itu.
Raksasa industri pertahanan itu antara lain memproduksi pesawat tempur, sistem artileri, senjata presisi tinggi, perangkat komunikasi, dan sistem peperangan elektronik radio.
Sebelumnya pada Rabu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi militer parsial.
Dia mengatakan Kementerian Pertahanan telah merekomendasikan pengerahan tentara cadangan ke dalam dinas aktif di tengah konflik berkepanjangan di Ukraina dan Donbass.
Menurut Menteri Pertahanan (Menhan) Rusia Sergey Shoigu, mobilisasi akan melibatkan panggilan untuk mempersenjatai sekitar 300.000 tentara cadangan, atau lebih dari 1% dari potensi mobilisasi penuh Rusia.
Rusia mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari, mengutip kegagalan Kiev mengimplementasikan perjanjian Minsk, yang dirancang untuk memberikan status khusus wilayah Donetsk dan Luhansk di dalam negara Ukraina.
Protokol, yang ditengahi Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada tahun 2014. Mantan presiden Ukraina Pyotr Poroshenko sejak itu mengakui tujuan utama Kiev adalah menggunakan gencatan senjata untuk mengulur waktu dan “menciptakan angkatan bersenjata yang kuat.”
Pada Februari 2022, Kremlin mengakui republik Donbass sebagai negara merdeka dan menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer Barat mana pun. Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan.
(sya)