Ahli: Sudah 'Dikunci' Negara Besar, Negara Miskin Sulit Dapatkan Vaksin Covid-19
loading...
A
A
A
LONDON - Kabar baik terus menghampiri dunia, dengan semakin banyaknya pengembang vaksin Covid-19 . Para pengembang itu menyatakan bahwa vaksin yang mereka kembangkan menunjukan hasil yang positif. Terbaru, Moderna mengatakan vaksin mereka bisa memberikan proteksi hingga 95 persen, setelah sebelumnya Pfizer menyampaikan kabar serupa.
Tetapi, sementara negara-negara kaya merencanakan program vaksinasi mereka hingga akhir 2021, para ahli memperingatkan bahwa negara-negara miskin dan berkembang menghadapi rintangan untuk mendapatkan vaksin yang cukup untuk rakyat mereka.
(Baca: Spanyol Mendata Warganya yang Menolak Vaksin Covid-19 )
Dengan biaya USD 40 untuk setiap perawatan, yang terdiri dari dua suntikan terpisah, negara-negara kaya bergegas memesan puluhan juta dosis. Tapi, kurang jelas apa yang bisa diharapkan negara-negara miskin.
"Jika kita hanya memiliki vaksin Pfizer dan setiap orang membutuhkan dua dosis, jelas itu dilema etika yang sulit," kata Trudie Lang, direktur Jaringan Kesehatan Global di Departemen Kedokteran Nuffield Universitas Oxford, seperti dilansir Japan Today.
Sementara Rachel Silverman, seorang peneliti kebijakan di Center for Global Development, mengatakan, tidak mungkin sebagian besar dari kumpulan vaksin pertama akan berakhir di negara-negara yang lebih miskin.
Berdasarkan perjanjian pembelian di muka yang ditandatangani dengan Pfizer, dia menghitung bahwa 1,1 miliar dosis telah diambil seluruhnya oleh negara-negara kaya. "Tidak banyak yang tersisa untuk semua orang," katanya.
Benjamin Schreiber, koordinator vaksin COVID-19 di UNICEF, dana anak-anak PBB, mengatakan, sangat penting bahwa semua negara memiliki akses yang adil ke vaksin baru. "Kami benar-benar perlu menghindari situasi negara-negara kaya yang menelan semua vaksin dan kemudian tidak ada dosis yang cukup untuk negara-negara termiskin," katanya.
(Baca: 8 Orang Disuntik 5 Kali Dosis Vaksin Pfizer, 4 Malah Mengalami Gejala COVID-19 )
Terlepas dari etika, data epidemiologi menggarisbawahi perlunya distribusi vaksin yang adil. Para peneliti di Universitas Northeastern Amerika pada pertengahan November menerbitkan penelitian yang meneliti hubungan antara jangkauan vaksin dan kematian Covid-19.
Mereka mencontohkan dua skenario. Yang pertama, skenario "alokasi tidak kooperatif", menghipotesiskan apa yang akan terjadi jika 50 negara kaya memonopoli 2 miliar dosis vaksin pertama. Yang kedua melihat vaksin didistribusikan berdasarkan populasi suatu negara daripada kemampuan untuk membayarnya.
Tetapi, sementara negara-negara kaya merencanakan program vaksinasi mereka hingga akhir 2021, para ahli memperingatkan bahwa negara-negara miskin dan berkembang menghadapi rintangan untuk mendapatkan vaksin yang cukup untuk rakyat mereka.
(Baca: Spanyol Mendata Warganya yang Menolak Vaksin Covid-19 )
Dengan biaya USD 40 untuk setiap perawatan, yang terdiri dari dua suntikan terpisah, negara-negara kaya bergegas memesan puluhan juta dosis. Tapi, kurang jelas apa yang bisa diharapkan negara-negara miskin.
"Jika kita hanya memiliki vaksin Pfizer dan setiap orang membutuhkan dua dosis, jelas itu dilema etika yang sulit," kata Trudie Lang, direktur Jaringan Kesehatan Global di Departemen Kedokteran Nuffield Universitas Oxford, seperti dilansir Japan Today.
Sementara Rachel Silverman, seorang peneliti kebijakan di Center for Global Development, mengatakan, tidak mungkin sebagian besar dari kumpulan vaksin pertama akan berakhir di negara-negara yang lebih miskin.
Berdasarkan perjanjian pembelian di muka yang ditandatangani dengan Pfizer, dia menghitung bahwa 1,1 miliar dosis telah diambil seluruhnya oleh negara-negara kaya. "Tidak banyak yang tersisa untuk semua orang," katanya.
Benjamin Schreiber, koordinator vaksin COVID-19 di UNICEF, dana anak-anak PBB, mengatakan, sangat penting bahwa semua negara memiliki akses yang adil ke vaksin baru. "Kami benar-benar perlu menghindari situasi negara-negara kaya yang menelan semua vaksin dan kemudian tidak ada dosis yang cukup untuk negara-negara termiskin," katanya.
(Baca: 8 Orang Disuntik 5 Kali Dosis Vaksin Pfizer, 4 Malah Mengalami Gejala COVID-19 )
Terlepas dari etika, data epidemiologi menggarisbawahi perlunya distribusi vaksin yang adil. Para peneliti di Universitas Northeastern Amerika pada pertengahan November menerbitkan penelitian yang meneliti hubungan antara jangkauan vaksin dan kematian Covid-19.
Mereka mencontohkan dua skenario. Yang pertama, skenario "alokasi tidak kooperatif", menghipotesiskan apa yang akan terjadi jika 50 negara kaya memonopoli 2 miliar dosis vaksin pertama. Yang kedua melihat vaksin didistribusikan berdasarkan populasi suatu negara daripada kemampuan untuk membayarnya.