Kelompok Pria Bersenjata Bunuh Lebih dari 100 Orang di Ethiopia

Kamis, 24 Desember 2020 - 05:05 WIB
loading...
Kelompok Pria Bersenjata...
Tentara melintasi jalanan di Ethiopia. Foto/africanews
A A A
ADDIS ABABA - Kelompok pria bersenjata membunuh lebih dari 100 orang dalam serangan fajar di wilayah barat Benishangul-Gumuz di Ethiopia pada Rabu (23/12).

Komisi hak asasi manusia (HAM) menyatakan penduduk menggambarkan melarikan diri dari serangan mematikan terbaru di daerah yang diliputi oleh kekerasan etnis itu.

“Serangan itu terjadi di desa Bekoji, kabupaten Bulen, zona Metekel,” ungkap Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Ethiopia.

Negara terpadat kedua di Afrika itu bergulat dengan kekerasan mematikan yang rutin terjadi sejak Perdana Menteri (PM) Abiy Ahmed diangkat pada 2018. (Baca Juga: Trump Ancam Tak Tanda Tangani RUU COVID-19, Ingin BLT Lebih Besar)

Pemilu tahun depan semakin mengobarkan konflik atas tanah, kekuasaan, dan sumber daya alam. (Lihat Infografis: Lima Shio yang Diprediksi Beruntung pada Tahun 2021)

Di negara itu, militer Ethiopia memerangi pemberontak di wilayah Tigray utara selama lebih dari enam pekan dalam konflik yang telah menyebabkan hampir 950.000 orang mengungsi. (Lihat Video: Tak Terima Ditegur Makan Mi Instan, Seorang Pemuda Ancam Bunuh Ibu Kandung)

Pengerahan pasukan federal di sana telah menimbulkan kekhawatiran terjadi kekosongan keamanan di wilayah konflik lainnya.



Ethiopia juga memerangi pemberontakan di wilayah Oromiya dan menghadapi ancaman keamanan jangka panjang dari militan Islam Somalia di sepanjang perbatasan timur yang rawan.

Gashu Dugaz, pejabat senior keamanan regional, mengatakan pihak berwenang mengetahui serangan Benishangul-Gumuz dan sedang memverifikasi identitas para penyerang dan korban, tetapi tidak memberikan informasi lebih lanjut.

Daerah tersebut adalah rumah bagi beberapa kelompok etnis termasuk orang Gumuz. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir para petani dan pengusaha dari wilayah tetangga Amhara mulai pindah ke daerah tersebut, mendorong beberapa warga Gumuz mengeluh bahwa tanah subur telah diambil.

Beberapa pemimpin Amhara sekarang mengatakan bahwa beberapa tanah di wilayah itu, terutama di zona Metekel, menjadi milik mereka. Klaim itu membuat marah warga Gumuz.

“Dalam serangan sebelumnya, yang terlibat adalah orang-orang yang berasal dari 'hutan', tetapi dalam kasus ini, para korban mengatakan bahwa mereka mengenal orang-orang yang terlibat dalam serangan tersebut,” ungkap komisi HAM dalam pernyataannya.

Belay Wajera, petani di kota barat Bulen, mengatakan pada Reuters bahwa dia menghitung 82 mayat di ladang dekat rumahnya setelah penggerebekan pada Rabu.

Dia dan keluarganya terbangun karena suara tembakan dan lari keluar rumah mereka saat sejumlah pria berteriak "tangkap mereka".

Istri dan lima anaknya ditembak mati. “Saya ditembak di pantat sementara empat anak lainnya melarikan diri dan sekarang hilang,” ungkap Wajera kepada Reuters melalui telepon.

Penduduk kota lainnya, Hassen Yimama, mengatakan orang-orang bersenjata menyerbu daerah itu sekitar pukul 6 pagi.

Dia mengatakan kepada Reuters bahwa dia menghitung 20 mayat di lokasi berbeda. Dia mengambil senjatanya sendiri tetapi penyerang menembak perutnya.

Seorang petugas medis setempat mengatakan dia dan rekannya merawat 38 orang yang terluka, sebagian besar menderita luka tembak.

Beberapa pasien memberi tahu dia tentang kerabat yang dibunuh dengan pisau dan mengatakan kepadanya bahwa orang-orang bersenjata membakar rumah dan menembak orang yang mencoba melarikan diri.

“Kami tidak siap untuk ini dan kami kehabisan obat,” ungkap seorang perawat di fasilitas yang sama mengatakan kepada Reuters.

Dia menambahkan bahwa seorang anak berusia lima tahun meninggal saat dipindahkan ke klinik.

Serangan itu terjadi sehari setelah Abiy, kepala staf militer dan pejabat federal senior lainnya mengunjungi wilayah itu untuk menyeru ketenangan setelah beberapa insiden mematikan dalam beberapa bulan terakhir, seperti serangan 14 November di mana orang-orang bersenjata menargetkan satu bus dan menewaskan 34 orang.

“Keinginan musuh untuk memecah belah Ethiopia menurut garis etnis dan agama masih ada. Keinginan ini akan tetap tidak tercapai,” ujar Abiy pada Selasa bersama dengan foto pertemuannya hari itu di kota Metekel, dekat tempat serangan 14 November terjadi.

Dia mengatakan keinginan penduduk untuk perdamaian melebihi agenda yang memecah belah.
(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1986 seconds (0.1#10.140)