Menlu Rusia Curhat Soal Sanksi di Sidang Umum PBB
loading...
A
A
A
MOSKOW - Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia mengeluhkan tentang negara-negara yang menggunakan sanksi untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain di sidang umum PBB . Ia mengatakan bahwa hukuman semacam itu menghambat respon dunia yang efektif terhadap masalah-masalah seperti pandemi virus Corona, perubahan iklim, konflik militer dan terorisme internasional.
Dalam pidatonya yang disampaikan di Moskow, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan upaya beberapa negara untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain, menggunakan sanksi sepihak mengganggu penanganan ancaman yang dihadapi dunia saat ini.
"Kami percaya bahwa ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa beberapa negara tidak bersedia mempertanggungjawabkan kepentingan sah negara lain," kata Lavrov dalam pidatonya atas nama Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif, yang terdiri dari Rusia, Belarusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan.
"Mereka berusaha untuk memaksakan konsep dan standar seperti 'tatanan dunia berbasis aturan' sambil mencoba mencampuri urusan dalam negeri negara lain, menggunakan sanksi sepihak yang melanggar hak prerogatif Dewan Keamanan PBB, dan menunjukkan intoleransi dan kebencian," tuturnya seperti dikutip dari AP, Selasa (22/9/2020).
Lavrov, dalam pidatonya, menyerukan persatuan dan mendesak negara-negara untuk menegaskan kembali komitmen mereka terhadap piagam PBB dan hukum internasional, dengan mengatakan bahwa dunia lelah membagi garis, memisahkan negara menjadi teman dan musuh.
“Kita sekali lagi, seperti pada 1945, perlu mengesampingkan perbedaan dan bersatu atas nama menyelesaikan masalah bersama, didukung oleh dialog yang setara dan saling menghormati kepentingan (satu sama lain),” menteri Rusia itu menyimpulkan.
Pidato Lavrov muncul di tengah ketegangan antara Rusia dan Barat atas insiden peracunan krikus Kremlin Alexei Navalny, yang dirawat di Berlin karena apa yang dikatakan pihak berwenang Jerman sebagai racun saraf, dan ketika Uni Eropa mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi atas pemilihan presiden yang disengketakan dan tindakan keras Belarusia terhadap pengunjuk rasa.
Kanselir Jerman Angela Merkel menyebut peracunan Navalny sebagai percobaan pembunuhan yang dimaksudkan untuk membungkam musuh paling menonjol Presiden Rusia Vladimir Putin. Kantor Merkel mengindikasikan bahwa dia mungkin bersedia untuk memikirkan kembali proyek pipa Nord Stream 2, yang akan membawa gas Rusia ke Jerman di bawah Laut Baltik.(Baca juga: Pembuat Racun Novichok Minta Maaf kepada Navalny, Si Pengkritik Putin )
Para menteri luar negeri Uni Eropa pada Senin gagal menyetujui untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat Belarusia yang dicurigai melakukan kecurangan dalam pemilu atau memainkan peran dalam tindakan keras keamanan selama enam minggu. Namun, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan ada keinginan yang jelas untuk mengadopsi sanksi tersebut.
Rusia juga menuai kritik internasional karena menyetujui vaksin Covid-19 setelah mengujinya hanya pada beberapa lusin orang. Putin, yang dijadwalkan berpidato di Sidang Umum PBB pada Selasa malam, memuji vaksin itu di televisi nasional dan mengatakan bahwa salah satu putrinya yang sudah dewasa telah disuntik. Namun, ahli Rusia dan Barat bersikeras bahwa studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan efektivitas dan keamanannya.(Baca juga: Tanpa Uji Coba Fase 3, Jerman Sebut Vaksin Corona Rusia Berbahaya )
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
Dalam pidatonya yang disampaikan di Moskow, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan upaya beberapa negara untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain, menggunakan sanksi sepihak mengganggu penanganan ancaman yang dihadapi dunia saat ini.
"Kami percaya bahwa ini sebagian besar disebabkan oleh fakta bahwa beberapa negara tidak bersedia mempertanggungjawabkan kepentingan sah negara lain," kata Lavrov dalam pidatonya atas nama Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif, yang terdiri dari Rusia, Belarusia, Armenia, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan.
"Mereka berusaha untuk memaksakan konsep dan standar seperti 'tatanan dunia berbasis aturan' sambil mencoba mencampuri urusan dalam negeri negara lain, menggunakan sanksi sepihak yang melanggar hak prerogatif Dewan Keamanan PBB, dan menunjukkan intoleransi dan kebencian," tuturnya seperti dikutip dari AP, Selasa (22/9/2020).
Lavrov, dalam pidatonya, menyerukan persatuan dan mendesak negara-negara untuk menegaskan kembali komitmen mereka terhadap piagam PBB dan hukum internasional, dengan mengatakan bahwa dunia lelah membagi garis, memisahkan negara menjadi teman dan musuh.
“Kita sekali lagi, seperti pada 1945, perlu mengesampingkan perbedaan dan bersatu atas nama menyelesaikan masalah bersama, didukung oleh dialog yang setara dan saling menghormati kepentingan (satu sama lain),” menteri Rusia itu menyimpulkan.
Pidato Lavrov muncul di tengah ketegangan antara Rusia dan Barat atas insiden peracunan krikus Kremlin Alexei Navalny, yang dirawat di Berlin karena apa yang dikatakan pihak berwenang Jerman sebagai racun saraf, dan ketika Uni Eropa mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi atas pemilihan presiden yang disengketakan dan tindakan keras Belarusia terhadap pengunjuk rasa.
Kanselir Jerman Angela Merkel menyebut peracunan Navalny sebagai percobaan pembunuhan yang dimaksudkan untuk membungkam musuh paling menonjol Presiden Rusia Vladimir Putin. Kantor Merkel mengindikasikan bahwa dia mungkin bersedia untuk memikirkan kembali proyek pipa Nord Stream 2, yang akan membawa gas Rusia ke Jerman di bawah Laut Baltik.(Baca juga: Pembuat Racun Novichok Minta Maaf kepada Navalny, Si Pengkritik Putin )
Para menteri luar negeri Uni Eropa pada Senin gagal menyetujui untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat Belarusia yang dicurigai melakukan kecurangan dalam pemilu atau memainkan peran dalam tindakan keras keamanan selama enam minggu. Namun, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan ada keinginan yang jelas untuk mengadopsi sanksi tersebut.
Rusia juga menuai kritik internasional karena menyetujui vaksin Covid-19 setelah mengujinya hanya pada beberapa lusin orang. Putin, yang dijadwalkan berpidato di Sidang Umum PBB pada Selasa malam, memuji vaksin itu di televisi nasional dan mengatakan bahwa salah satu putrinya yang sudah dewasa telah disuntik. Namun, ahli Rusia dan Barat bersikeras bahwa studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan efektivitas dan keamanannya.(Baca juga: Tanpa Uji Coba Fase 3, Jerman Sebut Vaksin Corona Rusia Berbahaya )
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(ber)