Konvoi Ambulans Ditembaki, Sentimen Anti-China Meningkat di Myanmar
loading...
A
A
A
Tema berulang lainnya adalah superioritas moral, di mana klaim seperti “China sangat buruk untuk diajak bertetangga—moral mereka sangat rendah” membingkai individu China sebagai orang yang pada dasarnya tidak bermoral, memperdalam kesenjangan sosial dan melestarikan stereotip negatif.
Studi ini menyoroti bahwa unggahan yang mengkritik blokade perbatasan China—seperti yang terjadi di Muse dan pos pemeriksaan lain di Negara Bagian Shan utara pada Oktober 2024—mendapat perhatian signifikan. Blokade ini membatasi barang-barang seperti elektronik dan perlengkapan medis, yang memicu kemarahan publik dan memperkuat kritik terhadap pengaruh China.
Menurut survei pertengahan tahun 2024 yang dilakukan oleh Institut Strategi dan Kebijakan Myanmar (ISP-Myanmar), 54 persen pemangku kepentingan utama di Myanmar menyatakan persepsi negatif terhadap China sebagai tetangga.
Sentimen ini bahkan lebih kuat di kalangan organisasi masyarakat sipil, dengan 72 persen menggambarkan China sebagai "tidak baik sama sekali" atau "bukan tetangga yang baik."
Demikian pula, 60 persen organisasi etnis bersenjata dan 54 persen Pasukan Pertahanan Rakyat—yang terdiri dari sayap bersenjata Pemerintah Persatuan Nasional dan pasukan pertahanan lokal yang dibentuk setelah kudeta—memiliki pandangan yang tidak menguntungkan ini.
Selain protes terhadap pengaruh Beijing yang semakin besar, ujaran kebencian yang ditujukan kepada China dan warga China di lingkungan media sosial Myanmar telah menjadi cerminan signifikan dari meningkatnya ketegangan geopolitik di negara tersebut.
Permusuhan daring ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas, tetapi juga memperkuatnya, menciptakan ruang digital yang tidak stabil yang memengaruhi sikap dan tindakan di dunia nyata. Lingkungan yang tidak bersahabat meningkatkan risiko bagi bisnis China, lembaga bantuan, dan misi diplomatik, karena mereka menjadi sasaran potensial kemarahan publik.
Koridor Ekonomi China Myanmar (CMEC), proyek unggulan di bawah Prakarsa Sabuk dan Jalan China, bertujuan untuk meningkatkan konektivitas ekonomi antara kedua negara. Namun, ketidakstabilan yang berkembang mengancam implementasinya, karena infrastruktur dan rute perdagangan menghadapi gangguan.
Serangan terhadap proyek dan infrastruktur yang didukung China telah dilaporkan, yang mencerminkan posisi genting entitas China di wilayah tersebut.
Salah satu contoh penting terjadi pada Mei 2023, ketika Pasukan Gerilya Natogyi (NGF) menyerang stasiun pengambilan minyak dan gas yang didanai China di wilayah Mandalay. Pipa sepanjang 973 km itu membentang dari pantai Rakhine, melalui wilayah Magwe dan Mandalay serta negara bagian Shan, hingga provinsi Yunnan di China. Serangan itu terjadi tak lama setelah kunjungan menteri luar negeri China ke Myanmar.
Studi ini menyoroti bahwa unggahan yang mengkritik blokade perbatasan China—seperti yang terjadi di Muse dan pos pemeriksaan lain di Negara Bagian Shan utara pada Oktober 2024—mendapat perhatian signifikan. Blokade ini membatasi barang-barang seperti elektronik dan perlengkapan medis, yang memicu kemarahan publik dan memperkuat kritik terhadap pengaruh China.
Menurut survei pertengahan tahun 2024 yang dilakukan oleh Institut Strategi dan Kebijakan Myanmar (ISP-Myanmar), 54 persen pemangku kepentingan utama di Myanmar menyatakan persepsi negatif terhadap China sebagai tetangga.
Sentimen ini bahkan lebih kuat di kalangan organisasi masyarakat sipil, dengan 72 persen menggambarkan China sebagai "tidak baik sama sekali" atau "bukan tetangga yang baik."
Demikian pula, 60 persen organisasi etnis bersenjata dan 54 persen Pasukan Pertahanan Rakyat—yang terdiri dari sayap bersenjata Pemerintah Persatuan Nasional dan pasukan pertahanan lokal yang dibentuk setelah kudeta—memiliki pandangan yang tidak menguntungkan ini.
Selain protes terhadap pengaruh Beijing yang semakin besar, ujaran kebencian yang ditujukan kepada China dan warga China di lingkungan media sosial Myanmar telah menjadi cerminan signifikan dari meningkatnya ketegangan geopolitik di negara tersebut.
Permusuhan daring ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas, tetapi juga memperkuatnya, menciptakan ruang digital yang tidak stabil yang memengaruhi sikap dan tindakan di dunia nyata. Lingkungan yang tidak bersahabat meningkatkan risiko bagi bisnis China, lembaga bantuan, dan misi diplomatik, karena mereka menjadi sasaran potensial kemarahan publik.
Proyek Infrastruktur Terancam
Koridor Ekonomi China Myanmar (CMEC), proyek unggulan di bawah Prakarsa Sabuk dan Jalan China, bertujuan untuk meningkatkan konektivitas ekonomi antara kedua negara. Namun, ketidakstabilan yang berkembang mengancam implementasinya, karena infrastruktur dan rute perdagangan menghadapi gangguan.
Serangan terhadap proyek dan infrastruktur yang didukung China telah dilaporkan, yang mencerminkan posisi genting entitas China di wilayah tersebut.
Salah satu contoh penting terjadi pada Mei 2023, ketika Pasukan Gerilya Natogyi (NGF) menyerang stasiun pengambilan minyak dan gas yang didanai China di wilayah Mandalay. Pipa sepanjang 973 km itu membentang dari pantai Rakhine, melalui wilayah Magwe dan Mandalay serta negara bagian Shan, hingga provinsi Yunnan di China. Serangan itu terjadi tak lama setelah kunjungan menteri luar negeri China ke Myanmar.
Lihat Juga :