AS dan Israel Ingin Pindahkan Paksa Warga Gaza ke 3 Negara Afrika Timur
loading...

Orang-orang menunggu di depan dapur amal untuk mendapatkan makanan di kamp pengungsi Jabalia, Jalur Gaza utara, pada 11 Maret 2025. Foto/Rizek Abdeljawad/Xinhua
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) dan Israel telah berdiskusi dengan tiga pemerintah Afrika Timur tentang pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza ke Sudan, Somalia, dan wilayah yang memisahkan diri Somaliland.
Kabar itu diungkap pejabat AS dan Israel yang dikutip kantor berita The Associated Press.
Laporan hari Jumat (14/3/2025) mengatakan pejabat dari Sudan mengaku telah menolak tawaran dari AS, sementara pejabat dari Somalia dan Somaliland mengatakan kepada AP bahwa mereka tidak mengetahui adanya kontak.
Berbicara dengan syarat anonim untuk membahas inisiatif diplomatik rahasia, pejabat AS dan Israel mengonfirmasi kontak dengan Somalia dan Somaliland, sementara pejabat AS mengonfirmasi Sudan juga.
Mereka mengatakan tidak jelas seberapa banyak kemajuan yang dicapai upaya tersebut atau pada tingkat apa diskusi berlangsung.
Perkembangan ini terjadi lebih dari sebulan setelah Presiden AS Donald Trump melontarkan gagasan untuk memindahkan paksa warga Palestina dan "mengambil alih" Jalur Gaza.
Gagasan itu ditolak mentah-mentah oleh warga Palestina dan negara-negara di Timur Tengah, dengan banyak yang menggambarkannya sebagai pembersihan etnis.
Upaya terpisah dari AS dan Israel ke tiga tujuan potensial dimulai bulan lalu, beberapa hari setelah Trump meluncurkan rencana Gaza bersama Netanyahu, menurut pejabat AS, yang mengatakan Israel memimpin dalam diskusi tersebut.
Tidak ada reaksi langsung terhadap laporan tersebut dari AS atau Israel.
Namun Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich, pendukung lama dari apa yang disebutnya emigrasi "sukarela" warga Palestina, mengatakan pekan ini bahwa Israel sedang berupaya mengidentifikasi negara-negara untuk menerima mereka.
Dia juga mengatakan Israel sedang mempersiapkan "departemen emigrasi yang sangat besar" di dalam Kementerian Pertahanannya.
Tamer Qarmout, profesor madya di Institut Studi Pascasarjana Doha, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemindahan paksa warga Palestina adalah "garis merah yang tidak boleh dilintasi".
Dia mengatakan, “Pemerintah di seluruh dunia memiliki tanggung jawab menghentikan proposal yang keterlaluan dan tidak boleh terlibat dengan Israel dalam skenario apa pun ini, terutama pemindahan warga Palestina ke negara-negara Afrika, yang banyak di antaranya terus berjuang dari warisan kolonial."
“Sudan dan Somalia masih dilanda perang karena warisan kolonial. Mereka (pemerintah Israel) harus diekspos dan dimasukkan ke dalam daftar aib,” tegas Qarmout.
Sebagai imbalan atas penerimaan warga Palestina yang dimukimkan kembali, diperkirakan berbagai insentif yakni finansial, diplomatik, dan keamanan akan ditawarkan kepada pemerintah Afrika Timur.
Seorang pejabat AS yang terlibat dalam upaya tersebut mengonfirmasi kepada AP bahwa, “AS melakukan pembicaraan diam-diam dengan Somaliland tentang berbagai bidang di mana mereka dapat dibantu AS sebagai imbalan atas pengakuan.”
AS dapat menawarkan pengakuan internasional kepada wilayah yang memisahkan diri dengan lebih dari 3 juta orang tersebut, yang merupakan prioritas bagi Presiden baru Somaliland, Abdirahman Mohamed Abdullahi.
Sementara itu, sulit untuk memahami mengapa Somalia ingin menampung warga Palestina mengingat dukungan kuat negara tersebut terhadap pemerintahan sendiri Palestina, menurut Sambu Chepkorir, pengacara dan peneliti konflik di Nairobi, pada AP.
“Penataan ulang terus berubah, jadi mungkin ada agenda tersembunyi di balik Somalia,” papar Chepkorir.
Dua pejabat Sudan, yang berbicara dengan syarat anonim untuk membahas masalah diplomatik yang sensitif, mengonfirmasi pemerintahan Trump telah mendekati pemerintah yang dipimpin militer untuk menerima warga Palestina.
Salah seorang mengatakan kontak tersebut dimulai bahkan sebelum pelantikan Trump, dengan tawaran bantuan militer terhadap kelompok paramiliter RSF, bantuan rekonstruksi pascaperang, dan insentif lainnya.
Kedua pejabat tersebut mengatakan pemerintah Sudan menolak gagasan tersebut. “Saran ini langsung ditolak,” tegas seorang pejabat. “Tidak seorang pun membuka masalah ini lagi.”
Kabar itu diungkap pejabat AS dan Israel yang dikutip kantor berita The Associated Press.
Laporan hari Jumat (14/3/2025) mengatakan pejabat dari Sudan mengaku telah menolak tawaran dari AS, sementara pejabat dari Somalia dan Somaliland mengatakan kepada AP bahwa mereka tidak mengetahui adanya kontak.
Berbicara dengan syarat anonim untuk membahas inisiatif diplomatik rahasia, pejabat AS dan Israel mengonfirmasi kontak dengan Somalia dan Somaliland, sementara pejabat AS mengonfirmasi Sudan juga.
Mereka mengatakan tidak jelas seberapa banyak kemajuan yang dicapai upaya tersebut atau pada tingkat apa diskusi berlangsung.
Perkembangan ini terjadi lebih dari sebulan setelah Presiden AS Donald Trump melontarkan gagasan untuk memindahkan paksa warga Palestina dan "mengambil alih" Jalur Gaza.
Gagasan itu ditolak mentah-mentah oleh warga Palestina dan negara-negara di Timur Tengah, dengan banyak yang menggambarkannya sebagai pembersihan etnis.
Upaya terpisah dari AS dan Israel ke tiga tujuan potensial dimulai bulan lalu, beberapa hari setelah Trump meluncurkan rencana Gaza bersama Netanyahu, menurut pejabat AS, yang mengatakan Israel memimpin dalam diskusi tersebut.
Tidak ada reaksi langsung terhadap laporan tersebut dari AS atau Israel.
Namun Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich, pendukung lama dari apa yang disebutnya emigrasi "sukarela" warga Palestina, mengatakan pekan ini bahwa Israel sedang berupaya mengidentifikasi negara-negara untuk menerima mereka.
Dia juga mengatakan Israel sedang mempersiapkan "departemen emigrasi yang sangat besar" di dalam Kementerian Pertahanannya.
Garis Merah
Tamer Qarmout, profesor madya di Institut Studi Pascasarjana Doha, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemindahan paksa warga Palestina adalah "garis merah yang tidak boleh dilintasi".
Dia mengatakan, “Pemerintah di seluruh dunia memiliki tanggung jawab menghentikan proposal yang keterlaluan dan tidak boleh terlibat dengan Israel dalam skenario apa pun ini, terutama pemindahan warga Palestina ke negara-negara Afrika, yang banyak di antaranya terus berjuang dari warisan kolonial."
“Sudan dan Somalia masih dilanda perang karena warisan kolonial. Mereka (pemerintah Israel) harus diekspos dan dimasukkan ke dalam daftar aib,” tegas Qarmout.
Sebagai imbalan atas penerimaan warga Palestina yang dimukimkan kembali, diperkirakan berbagai insentif yakni finansial, diplomatik, dan keamanan akan ditawarkan kepada pemerintah Afrika Timur.
Seorang pejabat AS yang terlibat dalam upaya tersebut mengonfirmasi kepada AP bahwa, “AS melakukan pembicaraan diam-diam dengan Somaliland tentang berbagai bidang di mana mereka dapat dibantu AS sebagai imbalan atas pengakuan.”
AS dapat menawarkan pengakuan internasional kepada wilayah yang memisahkan diri dengan lebih dari 3 juta orang tersebut, yang merupakan prioritas bagi Presiden baru Somaliland, Abdirahman Mohamed Abdullahi.
Sementara itu, sulit untuk memahami mengapa Somalia ingin menampung warga Palestina mengingat dukungan kuat negara tersebut terhadap pemerintahan sendiri Palestina, menurut Sambu Chepkorir, pengacara dan peneliti konflik di Nairobi, pada AP.
“Penataan ulang terus berubah, jadi mungkin ada agenda tersembunyi di balik Somalia,” papar Chepkorir.
Dua pejabat Sudan, yang berbicara dengan syarat anonim untuk membahas masalah diplomatik yang sensitif, mengonfirmasi pemerintahan Trump telah mendekati pemerintah yang dipimpin militer untuk menerima warga Palestina.
Salah seorang mengatakan kontak tersebut dimulai bahkan sebelum pelantikan Trump, dengan tawaran bantuan militer terhadap kelompok paramiliter RSF, bantuan rekonstruksi pascaperang, dan insentif lainnya.
Kedua pejabat tersebut mengatakan pemerintah Sudan menolak gagasan tersebut. “Saran ini langsung ditolak,” tegas seorang pejabat. “Tidak seorang pun membuka masalah ini lagi.”
(sya)
Lihat Juga :