Di Mana 6 Juta Pengungsi Suriah Tersebar di Dunia?
loading...
A
A
A
ANKARA - Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Suriah setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Bashar al-Assad adalah pemulangan dan integrasi ke dalam masyarakat, jutaan pengungsi yang telah meninggalkan negara itu selama lebih dari 13 tahun perang.
Pada tahun 2011, pada awal pemberontakan rakyat terhadap Assad, populasi Suriah sekitar 21 juta. Pada tahun-tahun berikutnya, ratusan ribu orang tewas, dan sekitar 13 juta orang meninggalkan rumah mereka.
Pada tahun 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, 7,4 juta warga Suriah masih mengungsi di dalam negeri, dengan sekitar 4,9 juta mencari perlindungan di negara-negara tetangga, sebagian besar Turki.
Sebanyak 1,3 juta lainnya telah bermukim di tempat lain, sebagian besar di negara-negara Eropa.
Pekan ini, beberapa negara Eropa telah menghentikan proses suaka, meninggalkan puluhan ribu orang dalam ketidakpastian saat mereka memutuskan apakah akan kembali ke Suriah.
Negara-negara dengan jumlah pengungsi Suriah yang terdaftar terbanyak adalah: Turki 3.112.683, Lebanon 774.697, Jerman 716.728, Irak 286.099, Mesir 156.465, Austria 97.939, Swedia 86.956, Belanda 65.622, Yunani 50.759.
“Keputusan beberapa negara Eropa untuk menghentikan permohonan suaka bagi pengungsi Suriah setelah runtuhnya pemerintahan al-Assad sangat mengecewakan,” ungkap Bushra Alzoubi, pengungsi Suriah dan aktivis hak asasi manusia yang tinggal di Prancis, mengatakan kepada Al Jazeera.
"Hal itu benar-benar membuat lapisan pengungsian selama bertahun-tahun bagi warga Suriah tidak terlihat," ujar Alzoubi. "Mereka telah melalui banyak hal untuk sampai ke tempat mereka sekarang."
Dia menjelaskan, “Sebagian besar warga Suriah, telah mengungsi berkali-kali, hidup dalam ketidakpastian selama bertahun-tahun dan menunggu kabar tentang proses suaka yang telah menunda hidup mereka selama bertahun-tahun.”
“Mereka telah hidup dalam ketidakpastian begitu lama, dengan tekanan tentang apa yang akan terjadi. Itu sangat tidak manusiawi,” papar dia.
“Meskipun begitu banyak warga Suriah yang mengungsi bersorak atas jatuhnya Assad, negara-negara Eropa tidak boleh memanfaatkan kesempatan untuk memulangkan semua orang … Masa depan tidak pasti,” pungkas dia.
Pada tahun 2011, pada awal pemberontakan rakyat terhadap Assad, populasi Suriah sekitar 21 juta. Pada tahun-tahun berikutnya, ratusan ribu orang tewas, dan sekitar 13 juta orang meninggalkan rumah mereka.
Pada tahun 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan, 7,4 juta warga Suriah masih mengungsi di dalam negeri, dengan sekitar 4,9 juta mencari perlindungan di negara-negara tetangga, sebagian besar Turki.
Sebanyak 1,3 juta lainnya telah bermukim di tempat lain, sebagian besar di negara-negara Eropa.
Pekan ini, beberapa negara Eropa telah menghentikan proses suaka, meninggalkan puluhan ribu orang dalam ketidakpastian saat mereka memutuskan apakah akan kembali ke Suriah.
Negara-negara dengan jumlah pengungsi Suriah yang terdaftar terbanyak adalah: Turki 3.112.683, Lebanon 774.697, Jerman 716.728, Irak 286.099, Mesir 156.465, Austria 97.939, Swedia 86.956, Belanda 65.622, Yunani 50.759.
“Keputusan beberapa negara Eropa untuk menghentikan permohonan suaka bagi pengungsi Suriah setelah runtuhnya pemerintahan al-Assad sangat mengecewakan,” ungkap Bushra Alzoubi, pengungsi Suriah dan aktivis hak asasi manusia yang tinggal di Prancis, mengatakan kepada Al Jazeera.
"Hal itu benar-benar membuat lapisan pengungsian selama bertahun-tahun bagi warga Suriah tidak terlihat," ujar Alzoubi. "Mereka telah melalui banyak hal untuk sampai ke tempat mereka sekarang."
Dia menjelaskan, “Sebagian besar warga Suriah, telah mengungsi berkali-kali, hidup dalam ketidakpastian selama bertahun-tahun dan menunggu kabar tentang proses suaka yang telah menunda hidup mereka selama bertahun-tahun.”
“Mereka telah hidup dalam ketidakpastian begitu lama, dengan tekanan tentang apa yang akan terjadi. Itu sangat tidak manusiawi,” papar dia.
“Meskipun begitu banyak warga Suriah yang mengungsi bersorak atas jatuhnya Assad, negara-negara Eropa tidak boleh memanfaatkan kesempatan untuk memulangkan semua orang … Masa depan tidak pasti,” pungkas dia.
(sya)