Borrell Peringatkan Masa Depan Uni Eropa dalam Bahaya
loading...
A
A
A
BRUSSEL - Masa depan Uni Eropa (UE) terancam di tengah berbagai krisis di luar perbatasannya dan keraguan atas jaminan pertahanan dari Amerika Serikat (AS), menurut kepala kebijakan luar negeri UE Josep Borrell yang akan lengser.
Josep Borrell melukiskan gambaran yang mengkhawatirkan tentang keadaan dunia saat menandai peluncuran kumpulan pidato dan esainya yang berjudul ‘Eropa di Lengkungan Api.’
Dia mencantumkan konflik di Ukraina, Gaza, dan Afrika di antara faktor-faktor utama yang mengancam keamanan global.
“Peristiwa yang harus kita hadapi selama beberapa bulan terakhir, sayangnya telah mengonfirmasi diagnosis yang dibuat sebelumnya: Eropa dalam bahaya,” tulis Borrell di situs web kantornya.
“Lingkungan geopolitik kita memburuk, dan konflik serta krisis berlipat ganda di depan pintu kita. Dari Ukraina hingga Timur Tengah, melalui Kaukasus Selatan, Tanduk Afrika, atau Sahel,” ujar dia.
Dia menjelaskan, “Semua ini terjadi dengan latar belakang di mana komitmen AS di masa depan terhadap keamanan Eropa menjadi jauh lebih tidak pasti.”
Diplomat itu berpendapat komitmen Washington “terhadap keamanan Eropa secara keseluruhan menjadi semakin tidak pasti untuk masa depan,” mengingat terpilihnya kembali Donald Trump.
“Kesejahteraan dan masa depan kita tidak dapat terus bergantung pada suasana hati para pemilih AS di Midwest setiap empat tahun,” tulis Borrell, mendesak negara-negara anggota blok tersebut meningkatkan pertahanan mereka sendiri.
Dia lebih lanjut menyatakan ada “risiko serius” bahwa konflik Ukraina “dapat membantu memperkuat koalisi ‘yang lain melawan Barat.’”
Dia merujuk pada pertemuan puncak BRICS bulan lalu di Kazan, Rusia, dan menekankan koalisi semacam itu juga dapat “terwujud” di Sahel, dengan pasukan penjaga perdamaian PBB meninggalkan Mali pada akhir tahun 2023.
BRICS (awalnya BRIC) didirikan pada tahun 2006 oleh Brasil, Rusia, India, dan China. Para anggota kelompok tersebut telah menolak untuk menjatuhkan sanksi kepada Moskow atas konfliknya dengan Kiev dan terus mengadvokasi penyelesaian diplomatik atas krisis tersebut.
Rusia dan China telah mempererat hubungan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, menggambarkan hubungan mereka sebagai "kemitraan strategis."
Kedua negara nuklir itu juga menentang "unilateralisme" aliansi NATO yang dipimpin AS dan mengatakan mereka ingin berpartisipasi dalam pembentukan model hubungan internasional yang lebih adil.
Josep Borrell melukiskan gambaran yang mengkhawatirkan tentang keadaan dunia saat menandai peluncuran kumpulan pidato dan esainya yang berjudul ‘Eropa di Lengkungan Api.’
Dia mencantumkan konflik di Ukraina, Gaza, dan Afrika di antara faktor-faktor utama yang mengancam keamanan global.
“Peristiwa yang harus kita hadapi selama beberapa bulan terakhir, sayangnya telah mengonfirmasi diagnosis yang dibuat sebelumnya: Eropa dalam bahaya,” tulis Borrell di situs web kantornya.
“Lingkungan geopolitik kita memburuk, dan konflik serta krisis berlipat ganda di depan pintu kita. Dari Ukraina hingga Timur Tengah, melalui Kaukasus Selatan, Tanduk Afrika, atau Sahel,” ujar dia.
Dia menjelaskan, “Semua ini terjadi dengan latar belakang di mana komitmen AS di masa depan terhadap keamanan Eropa menjadi jauh lebih tidak pasti.”
Diplomat itu berpendapat komitmen Washington “terhadap keamanan Eropa secara keseluruhan menjadi semakin tidak pasti untuk masa depan,” mengingat terpilihnya kembali Donald Trump.
“Kesejahteraan dan masa depan kita tidak dapat terus bergantung pada suasana hati para pemilih AS di Midwest setiap empat tahun,” tulis Borrell, mendesak negara-negara anggota blok tersebut meningkatkan pertahanan mereka sendiri.
Dia lebih lanjut menyatakan ada “risiko serius” bahwa konflik Ukraina “dapat membantu memperkuat koalisi ‘yang lain melawan Barat.’”
Dia merujuk pada pertemuan puncak BRICS bulan lalu di Kazan, Rusia, dan menekankan koalisi semacam itu juga dapat “terwujud” di Sahel, dengan pasukan penjaga perdamaian PBB meninggalkan Mali pada akhir tahun 2023.
BRICS (awalnya BRIC) didirikan pada tahun 2006 oleh Brasil, Rusia, India, dan China. Para anggota kelompok tersebut telah menolak untuk menjatuhkan sanksi kepada Moskow atas konfliknya dengan Kiev dan terus mengadvokasi penyelesaian diplomatik atas krisis tersebut.
Rusia dan China telah mempererat hubungan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, menggambarkan hubungan mereka sebagai "kemitraan strategis."
Kedua negara nuklir itu juga menentang "unilateralisme" aliansi NATO yang dipimpin AS dan mengatakan mereka ingin berpartisipasi dalam pembentukan model hubungan internasional yang lebih adil.
(sya)