Diplomat Palestina Bandingkan Pemboman Hiroshima dan Genosida Israel di Gaza
loading...
A
A
A
HIROSHIMA - Diplomat utama Palestina di Jepang membandingkan "kengerian yang tak terlukiskan" dari pemboman nuklir Hiroshima dengan serangan di Jalur Gaza selama "Upacara Perdamaian Alternatif" di Jepang.
Pemerintah daerah di Hiroshima menjamu para diplomat asing, termasuk dari Israel, untuk memperingati pemboman Amerika Serikat (AS) di Jepang.
Namun, Waleed Siam dari Palestina tidak diundang oleh pemerintah daerah Hiroshima yang menentang tuntutan publik untuk tidak mengundang pejabat dari Israel yang terlibat dalam serangan yang menghancurkan terhadap Gaza.
AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima, lokasi bom atom pertama di dunia, pada 6 Agustus 1945, dan kemudian Nagasaki pada 9 Agustus, yang mengakibatkan 140.000 kematian pada akhir tahun itu.
Jepang memperingati ulang tahun ke-79 kekejaman tersebut tahun ini dan para peserta acara perdamaian di Hiroshima mengheningkan cipta pada pukul 8.15 pagi (2315GMT), saat AS menjatuhkan bom nuklir pertama pada tahun 1945.
“Sebagai seorang Palestina yang menanggung kenyataan brutal di Gaza, saya berdiri di hadapan Anda dengan amarah yang membara dan tuntutan tanpa henti untuk pembebasan dan kebebasan,” tegas Siam dalam pidato virtual di acara yang diselenggarakan oleh para relawan.
Jepang tidak mengakui Negara Palestina, tetapi menjadi tuan rumah Misi Umum Palestina di Tokyo.
“Keberadaan kami dirusak oleh cengkeraman penindasan Israel yang mencekik, dan penderitaan yang kami hadapi adalah akibat langsung dari penindasan yang kejam selama puluhan tahun,” ujar Siam kepada para aktivis perdamaian yang berkumpul di Hiroshima.
Namun, dia mengatakan rakyatnya “tidak akan meninggalkan” Gaza.
“Kami tangguh, ini tanah kami dan tidak ada kekuatan yang dapat memaksa kami keluar dari tanah kami. Kami akan melawan untuk mengakhiri Pendudukan militer yang buruk ini,” tegas dia.
Memperhatikan bagaimana para penyintas pemboman Hiroshima “menjadi saksi kengerian yang tak terkatakan”, Siam mengatakan, “Kami juga menanggung luka-luka dari kampanye tanpa henti untuk menghapus kami.”
Para penyintas pemboman dikenal sebagai “Hibakusha”.
Tanpa menyebutkan kehadiran perwakilan Israel di acara tersebut, diplomat Palestina tersebut menyatakan “kekecewaan dan frustrasi yang mendalam bahwa kota Hiroshima, simbol perdamaian, telah memilih untuk dibajak oleh para penindas dan pendukung mereka sambil mengecualikan para korban.”
“Undangan yang diberikan kepada mereka yang terus menerus membuat kami menderita, dan ketiadaan suara kita, merusak prinsip-prinsip keadilan yang diperjuangkan Hiroshima,” tegas Siam.
Memuji pemerintah daerah Nagasaki yang memutuskan untuk tidak mengundang pejabat Israel, Siam berkata, "Kami menyerukan kepada Kota Hiroshima untuk mengambil sikap jujur terhadap yang tertindas, untuk menghormati komitmennya terhadap perdamaian dengan mengakui dan menyertakan perspektif yang tertindas dan mengecualikan para penindas."
Diplomat Palestina itu mengatakan, “Menuntut diakhirinya pendudukan Israel bukanlah permohonan untuk beramal atau bersimpati tetapi ini adalah tuntutan keadilan, bagi dunia untuk menegakkan prinsip-prinsip yang sering dikhotbahkannya tetapi jarang dipraktikkan."
"Sudah waktunya untuk menegakkan aturan hukum dan hukum internasional terhadap negara nakal Israel," pungkas dia, menegaskan penjajahan Israel yang telah berlangsung sejak 1948 di tanah Palestina.
Pemerintah daerah di Hiroshima menjamu para diplomat asing, termasuk dari Israel, untuk memperingati pemboman Amerika Serikat (AS) di Jepang.
Namun, Waleed Siam dari Palestina tidak diundang oleh pemerintah daerah Hiroshima yang menentang tuntutan publik untuk tidak mengundang pejabat dari Israel yang terlibat dalam serangan yang menghancurkan terhadap Gaza.
AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima, lokasi bom atom pertama di dunia, pada 6 Agustus 1945, dan kemudian Nagasaki pada 9 Agustus, yang mengakibatkan 140.000 kematian pada akhir tahun itu.
Jepang memperingati ulang tahun ke-79 kekejaman tersebut tahun ini dan para peserta acara perdamaian di Hiroshima mengheningkan cipta pada pukul 8.15 pagi (2315GMT), saat AS menjatuhkan bom nuklir pertama pada tahun 1945.
“Sebagai seorang Palestina yang menanggung kenyataan brutal di Gaza, saya berdiri di hadapan Anda dengan amarah yang membara dan tuntutan tanpa henti untuk pembebasan dan kebebasan,” tegas Siam dalam pidato virtual di acara yang diselenggarakan oleh para relawan.
Jepang tidak mengakui Negara Palestina, tetapi menjadi tuan rumah Misi Umum Palestina di Tokyo.
“Keberadaan kami dirusak oleh cengkeraman penindasan Israel yang mencekik, dan penderitaan yang kami hadapi adalah akibat langsung dari penindasan yang kejam selama puluhan tahun,” ujar Siam kepada para aktivis perdamaian yang berkumpul di Hiroshima.
Namun, dia mengatakan rakyatnya “tidak akan meninggalkan” Gaza.
“Kami tangguh, ini tanah kami dan tidak ada kekuatan yang dapat memaksa kami keluar dari tanah kami. Kami akan melawan untuk mengakhiri Pendudukan militer yang buruk ini,” tegas dia.
Memperhatikan bagaimana para penyintas pemboman Hiroshima “menjadi saksi kengerian yang tak terkatakan”, Siam mengatakan, “Kami juga menanggung luka-luka dari kampanye tanpa henti untuk menghapus kami.”
Para penyintas pemboman dikenal sebagai “Hibakusha”.
Tanpa menyebutkan kehadiran perwakilan Israel di acara tersebut, diplomat Palestina tersebut menyatakan “kekecewaan dan frustrasi yang mendalam bahwa kota Hiroshima, simbol perdamaian, telah memilih untuk dibajak oleh para penindas dan pendukung mereka sambil mengecualikan para korban.”
“Undangan yang diberikan kepada mereka yang terus menerus membuat kami menderita, dan ketiadaan suara kita, merusak prinsip-prinsip keadilan yang diperjuangkan Hiroshima,” tegas Siam.
Memuji pemerintah daerah Nagasaki yang memutuskan untuk tidak mengundang pejabat Israel, Siam berkata, "Kami menyerukan kepada Kota Hiroshima untuk mengambil sikap jujur terhadap yang tertindas, untuk menghormati komitmennya terhadap perdamaian dengan mengakui dan menyertakan perspektif yang tertindas dan mengecualikan para penindas."
Diplomat Palestina itu mengatakan, “Menuntut diakhirinya pendudukan Israel bukanlah permohonan untuk beramal atau bersimpati tetapi ini adalah tuntutan keadilan, bagi dunia untuk menegakkan prinsip-prinsip yang sering dikhotbahkannya tetapi jarang dipraktikkan."
"Sudah waktunya untuk menegakkan aturan hukum dan hukum internasional terhadap negara nakal Israel," pungkas dia, menegaskan penjajahan Israel yang telah berlangsung sejak 1948 di tanah Palestina.
(sya)