Kelompok HAM AS Kecam Kekejian OPM Nduga, Sebut Korban 17 Orang

Senin, 10 Desember 2018 - 12:13 WIB
Kelompok HAM AS Kecam...
Kelompok HAM AS Kecam Kekejian OPM Nduga, Sebut Korban 17 Orang
A A A
JAKARTA - Human Rights Watch (HRW), kelompok hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di Amerika Serikat (AS) mengecam pembantaian keji sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Nduga. Namun, HRW menyebut korban pembantaian tersebut 17 orang, termasuk prajurit Indonesia.

Data kelompok HAM itu beda dengan versi Kepolisian Daerah (Polda) Papua yang menyatakan 31 pekerja atau warga sipil dibantai OPM dalam dua kejadian secara terpisah.

Versi HRW, pembantaian terjadi pada 2 Desember 2018. Kelompok HAM itu mendesak militan Papua menghentikan pembunuhan di luar hukum.

HRW juga minta pemerintah Indonesia memastikan bahwa pasukan keamanannya bertindak sesuai dengan standar internasional dan tidak melakukan pelanggaran dalam menanggapi serangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer OPM.

"Serangan kelompok militan Papua di tempat kerja menimbulkan kekhawatiran serius yang membutuhkan penyelidikan penuh," kata Elaine Pearson, peneliti dari Human Rights Watch.

"Militan dan respons pasukan keamanan seharusnya tidak merugikan orang biasa Papua," lanjut dia, pada hari Minggu, di situs resmi HRW yang dikutip SINDOnews.com, Senin (10/12/2018).(Baca: Sadis! 31 Pekerja Dibantai OPM di Nduga Papua )
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan brutal itu. Namun, kelompok itu mengklaim para korban adalah personel militer dari Korps Teknik Angkatan Darat Indonesia.

Sebby Sambom, juru bicara kelompok bersenjata Papua, mengatakan kepada media bahwa serangan itu diorganisir oleh Komando Ndugama. Dia mengatakan, komando tersebut telah memantau para pekerja selama tiga bulan dan menyimpulkan bahwa mereka adalah personel korps teknik yang mengenakan pakaian sipil.

Namun, Menteri Pekerjaan Umum Indonesia, Basuki Hadimuljono, mengatakan bahwa mereka yang tewas adalah pekerja dari perusahaan milik negara; PT Istaka Karya dan PT Brantas Abipraya, yang dikirim dari Sulawesi untuk bekerja di jalan raya Trans Papua 4,300 kilometer. Basuki mengatakan keberadaan tentara Indonesia, termasuk ada yang tewas dalam serangan itu sebenarnya untuk melindungi para pekerja,

Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengutuk keras serangan brutal OPM. "Saya telah memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengejar dan menangkap semua pelaku tindakan brutal semacam itu," katanya.

Menurut HRW, baik militer maupun polisi Indonesia harus mengizinkan wartawan untuk beroperasi secara independen di wilayah Nduga. Tanpa akses media, sulit bagi jurnalis untuk memverifikasi secara independen atas apa yang terjadi di wilayah itu.

"Situasi di Nduga sangat kacau karena tidak ada jurnalis yang dapat secara independen masuk ke wilayah tersebut untuk mewawancarai saksi dan memverifikasi apa yang terjadi," kata Pearson.

"Memiliki pemantau independen di lapangan akan membantu mencegah pelanggaran baik oleh militan maupun pasukan keamanan, yang akan menguntungkan semua orang Papua," lanjut dia.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5226 seconds (0.1#10.140)