Profesor Halper: AS dan Sekutu akan Bantu Israel Bersihkan Etnis Palestina
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Terjadi perselisihan publik yang semakin besar antara Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengenai rencana Israel menyerang kota Rafah di Gaza selatan.
Rafah merupakan wilayah terakhir yang ditetapkan sebagai wilayah aman di Gaza, walaupun terus dibom rezim kolonial Israel.
“Meskipun perpecahan publik semakin besar, Israel tidak perlu takut pada Biden dan Amerika Serikat pada akhirnya akan membantu Israel dalam membersihkan etnis Palestina dengan lebih dari sekadar memasok senjata,” ungkap profesor, aktivis dan antropolog Jeff Halper kepada Sputnik’s Fault Lines pada Selasa (12/3/2024).
Dia menjelaskan, “(Israel) adalah gerakan kolonial pemukim. Oleh karena itu, untuk mengubah Palestina menjadi Israel, satu negara Arab menjadi negara Yahudi, Anda harus menggusur penduduknya dan Anda harus mengambil tanahnya. Hal ini tidak hanya terjadi di Gaza. Hal ini tentunya juga terjadi di Tepi Barat.”
“Dengan menghancurkan Gaza… membuat warga Gaza tidak mungkin kembali. Sekarang, Israel ingin Mesir mengambilnya dan menempatkannya di Sanai (gurun), (tetapi) Mesir mengatakan tidak,” papar dia.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya akan menerima warga Gaza ke negara mereka.
“Amerika Serikat akan mengatakan 'Baiklah, kami akan mengambil 50.000,' Kanada akan mengatakan, Kanada sudah mengatakan ini, 'kami akan mengambil 30,40,50.000.' Setiap negara Eropa akan mengambil beberapa ribu atau puluhan ribu, Australia, Selandia Baru dan sebagainya. Israel bisa menyingkirkan satu juta atau lebih warga Palestina, dengan bantuan, keterlibatan, negara-negara Eropa dan Amerika Utara, dengan kedok bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi… Itulah yang disebut Israel sebagai ‘pemindahan sukarela,’” ungkap dia.
Sebelumnya, co-host Jamarl Thomas bertanya tentang niat Mesir, dan mencatat citra satelit menunjukkan infrastruktur sedang dibangun di gurun Sinai, yang mungkin dimaksudkan untuk menampung calon pengungsi Palestina.
“Mereka sedang membangun kamp, tetapi bukan sebagai (bagian) rencana,” ujar Halper.
Dia menjelaskan, “Mereka membangun kamp karena mereka takut… jika Israel benar-benar menyerang Rafah di selatan, maka tidak ada rencana yang baik mengenai ke mana orang-orang tersebut akan pergi. Kombinasi tekanan militer ditambah kelaparan hanya akan mendorong satu juta warga Palestina melewati perbatasan… Jika ada pelarian besar-besaran dari Gaza ke Mesir, maka Mesir siap menghadapi hal itu… Ini bukan untuk bentuk apa pun rencana sukarela, itu untuk kemungkinan itu.”
Rencana utama Israel, menurut Halper, adalah mengurangi jumlah warga Palestina di wilayah tersebut dan kemudian menciptakan apartheid bagi wilayah lainnya.
“(Israel akan) mengunci mereka di pulau-pulau kecil dengan bantuan Biden, kita akan menyebut wilayah Bantustan itu sebagai satu negara, dan sekarang kita memiliki solusi dua negara. Israel menguasai 85% wilayah negara ini, mereka mengendalikan segalanya (dan) Israel adalah negara Yahudi, tapi ada negara Palestina di beberapa pulau kecil yang akan diakui komunitas internasional dan sekarang kita sudah selesai dengan Palestina dan kita bisa lanjutkan,” ungkap Halper.
Dia menekankan, “Dengan kata lain, Israel berpikir mereka bisa lolos dari apartheid dengan cara yang tidak bisa dilakukan Afrika Selatan, dan ada alasan kuat untuk percaya bahwa hal itu mungkin benar.”
Daripada mendorong solusi dua negara yang tampaknya semakin kecil kemungkinannya, Halper berpendapat Israel harus diubah “menjadi satu negara demokratis dengan hak yang sama bagi semua warga negaranya.”
Rafah merupakan wilayah terakhir yang ditetapkan sebagai wilayah aman di Gaza, walaupun terus dibom rezim kolonial Israel.
“Meskipun perpecahan publik semakin besar, Israel tidak perlu takut pada Biden dan Amerika Serikat pada akhirnya akan membantu Israel dalam membersihkan etnis Palestina dengan lebih dari sekadar memasok senjata,” ungkap profesor, aktivis dan antropolog Jeff Halper kepada Sputnik’s Fault Lines pada Selasa (12/3/2024).
Dia menjelaskan, “(Israel) adalah gerakan kolonial pemukim. Oleh karena itu, untuk mengubah Palestina menjadi Israel, satu negara Arab menjadi negara Yahudi, Anda harus menggusur penduduknya dan Anda harus mengambil tanahnya. Hal ini tidak hanya terjadi di Gaza. Hal ini tentunya juga terjadi di Tepi Barat.”
“Dengan menghancurkan Gaza… membuat warga Gaza tidak mungkin kembali. Sekarang, Israel ingin Mesir mengambilnya dan menempatkannya di Sanai (gurun), (tetapi) Mesir mengatakan tidak,” papar dia.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya akan menerima warga Gaza ke negara mereka.
“Amerika Serikat akan mengatakan 'Baiklah, kami akan mengambil 50.000,' Kanada akan mengatakan, Kanada sudah mengatakan ini, 'kami akan mengambil 30,40,50.000.' Setiap negara Eropa akan mengambil beberapa ribu atau puluhan ribu, Australia, Selandia Baru dan sebagainya. Israel bisa menyingkirkan satu juta atau lebih warga Palestina, dengan bantuan, keterlibatan, negara-negara Eropa dan Amerika Utara, dengan kedok bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi… Itulah yang disebut Israel sebagai ‘pemindahan sukarela,’” ungkap dia.
Sebelumnya, co-host Jamarl Thomas bertanya tentang niat Mesir, dan mencatat citra satelit menunjukkan infrastruktur sedang dibangun di gurun Sinai, yang mungkin dimaksudkan untuk menampung calon pengungsi Palestina.
“Mereka sedang membangun kamp, tetapi bukan sebagai (bagian) rencana,” ujar Halper.
Dia menjelaskan, “Mereka membangun kamp karena mereka takut… jika Israel benar-benar menyerang Rafah di selatan, maka tidak ada rencana yang baik mengenai ke mana orang-orang tersebut akan pergi. Kombinasi tekanan militer ditambah kelaparan hanya akan mendorong satu juta warga Palestina melewati perbatasan… Jika ada pelarian besar-besaran dari Gaza ke Mesir, maka Mesir siap menghadapi hal itu… Ini bukan untuk bentuk apa pun rencana sukarela, itu untuk kemungkinan itu.”
Rencana utama Israel, menurut Halper, adalah mengurangi jumlah warga Palestina di wilayah tersebut dan kemudian menciptakan apartheid bagi wilayah lainnya.
“(Israel akan) mengunci mereka di pulau-pulau kecil dengan bantuan Biden, kita akan menyebut wilayah Bantustan itu sebagai satu negara, dan sekarang kita memiliki solusi dua negara. Israel menguasai 85% wilayah negara ini, mereka mengendalikan segalanya (dan) Israel adalah negara Yahudi, tapi ada negara Palestina di beberapa pulau kecil yang akan diakui komunitas internasional dan sekarang kita sudah selesai dengan Palestina dan kita bisa lanjutkan,” ungkap Halper.
Dia menekankan, “Dengan kata lain, Israel berpikir mereka bisa lolos dari apartheid dengan cara yang tidak bisa dilakukan Afrika Selatan, dan ada alasan kuat untuk percaya bahwa hal itu mungkin benar.”
Daripada mendorong solusi dua negara yang tampaknya semakin kecil kemungkinannya, Halper berpendapat Israel harus diubah “menjadi satu negara demokratis dengan hak yang sama bagi semua warga negaranya.”
(sya)