Kenapa Mesir Diam Melihat Pembantaian Pengungsi Palestina di Rafah?
loading...
A
A
A
RAFAH - Konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina telah menciptakan situasi pengungsian yang tragis, terutama di Rafah, kota di Jalur Gaza yang berbatasan langsung dengan Mesir.
Serangan militer Israel yang brutal telah memaksa banyak penduduk Jalur Gaza mengungsi. Kini sebagian besar pengungsi itu berada di Rafah untuk menyelamatkan diri.
Namun Israel juga terus menggempur Rafah dengan serangan udara hingga menewaskan banyak pengungsi.
Mesir, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Rafah dan merupakan bagian dari Liga Arab, memiliki posisi yang strategis dalam konflik ini.
Namun, sikap Mesir terhadap situasi pengungsi di Rafah tampaknya tidak jelas atau bisa dianggap diam saja.
Mesir tampaknya terjepit antara keinginan untuk menentang serangan Israel dan kebutuhan untuk menjaga hubungan baik dengan rezim kolonial Zionis tersebut.
Sebagai bagian dari responsnya terhadap situasi ini, Mesir telah membangun tembok di perbatasan Rafah.
Langkah ini diambil setelah Israel mengumumkan rencana meningkatkan serangan darat ke Rafah. Mesir menyatakan mereka tidak memiliki rencana menampung pengungsi Palestina atau menyediakan pusat logistik untuk bantuan ke Gaza.
Keputusan Mesir dalam menghadapi krisis pengungsi di Rafah memiliki dampak yang signifikan. Jika Mesir memilih menampung pengungsi, ini bisa diartikan sebagai dukungan tidak langsung terhadap Israel.
Sebaliknya, jika Mesir menolak pengungsi, ini bisa diartikan sebagai penelantaran terhadap rakyat Palestina yang berada dalam situasi sulit akibat genosida Israel.
Yang pasti, pengungsi Palestina membutuhkan bantuan dan dukungan dari komunitas internasional. Oleh karena itu, komunitas internasional harus bekerja sama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik ini dan membantu pengungsi Palestina.
Sejauh ini yang dilakukan Mesir adalah mendorong gencatan senjata antara Israel dan pejuang Palestina di Jalur Gaza.
Menteri Luar Negeri Mesir mengatakan, pada Jumat (1/3/2024), Kairo berharap pembicaraan yang diprakarsai Qatar dapat menyepakati gencatan senjata di Gaza sebelum dimulainya bulan puasa Ramadan, menurut laporan Reuters.
Perundingan gencatan senjata di Gaza telah berlangsung di Paris sejak pekan lalu dalam apa yang tampaknya merupakan upaya paling serius selama berminggu-minggu ini untuk menghentikan pertempuran di daerah kantong Palestina antara pasukan Israel dan Hamas dan untuk menjamin pembebasan sandera Israel dan warga asing.
“Saya dapat mengatakan kami telah mencapai titik kesepahaman, kami masih akan melakukan segala upaya dengan saudara-saudara kami di Qatar dan AS serta pihak lain yang dekat dengan perundingan. Kami berharap dapat mencapai penghentian permusuhan dan pertukaran sandera,” ujar Menlu Mesir Sameh Shoukry di Forum Diplomasi Antalya di Turki.
“Semua orang menyadari bahwa kita memiliki batasan waktu untuk mencapai kesuksesan sebelum dimulainya Ramadan,” ujar dia.
Kesepakatan yang diusulkan sejak awal Ramadan pada 10 dan 11 Maret 10 mencakup jeda 40 hari dalam semua operasi militer dan pertukaran tahanan Palestina dengan sandera Israel dengan rasio 10 banding satu, menurut sumber senior yang dekat dengan pembicaraan tersebut kepada Reuters.
“Kami akan terus berupaya bekerja sama dengan PBB, dengan mitra kami untuk meringankan penderitaan rakyat Gaza dan meningkatkan jumlah (bantuan). Praktisnya, hal ini tidak dapat terjadi tanpa penghentian permusuhan,” ujar Shoukry.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Malki berbicara di panel yang sama dengan Shoukry, mengatakan Israel tidak akan mengumumkan gencatan senjata kecuali ada tekanan internasional terhadap pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Jika kita tidak dapat mencapai gencatan senjata dalam dua atau tiga pekan ke depan, jelas kita akan melihat serangan lagi terhadap Rafah dan berlanjutnya genosida,” pungkas dia.
Serangan militer Israel yang brutal telah memaksa banyak penduduk Jalur Gaza mengungsi. Kini sebagian besar pengungsi itu berada di Rafah untuk menyelamatkan diri.
Namun Israel juga terus menggempur Rafah dengan serangan udara hingga menewaskan banyak pengungsi.
Sikap Diam Mesir
Mesir, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Rafah dan merupakan bagian dari Liga Arab, memiliki posisi yang strategis dalam konflik ini.
Namun, sikap Mesir terhadap situasi pengungsi di Rafah tampaknya tidak jelas atau bisa dianggap diam saja.
Mesir tampaknya terjepit antara keinginan untuk menentang serangan Israel dan kebutuhan untuk menjaga hubungan baik dengan rezim kolonial Zionis tersebut.
Malah Bangun Tembok di Rafah
Sebagai bagian dari responsnya terhadap situasi ini, Mesir telah membangun tembok di perbatasan Rafah.
Langkah ini diambil setelah Israel mengumumkan rencana meningkatkan serangan darat ke Rafah. Mesir menyatakan mereka tidak memiliki rencana menampung pengungsi Palestina atau menyediakan pusat logistik untuk bantuan ke Gaza.
Dampak dan Implikasi
Keputusan Mesir dalam menghadapi krisis pengungsi di Rafah memiliki dampak yang signifikan. Jika Mesir memilih menampung pengungsi, ini bisa diartikan sebagai dukungan tidak langsung terhadap Israel.
Sebaliknya, jika Mesir menolak pengungsi, ini bisa diartikan sebagai penelantaran terhadap rakyat Palestina yang berada dalam situasi sulit akibat genosida Israel.
Yang pasti, pengungsi Palestina membutuhkan bantuan dan dukungan dari komunitas internasional. Oleh karena itu, komunitas internasional harus bekerja sama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik ini dan membantu pengungsi Palestina.
Dorong Gencatan Senjata
Sejauh ini yang dilakukan Mesir adalah mendorong gencatan senjata antara Israel dan pejuang Palestina di Jalur Gaza.
Menteri Luar Negeri Mesir mengatakan, pada Jumat (1/3/2024), Kairo berharap pembicaraan yang diprakarsai Qatar dapat menyepakati gencatan senjata di Gaza sebelum dimulainya bulan puasa Ramadan, menurut laporan Reuters.
Perundingan gencatan senjata di Gaza telah berlangsung di Paris sejak pekan lalu dalam apa yang tampaknya merupakan upaya paling serius selama berminggu-minggu ini untuk menghentikan pertempuran di daerah kantong Palestina antara pasukan Israel dan Hamas dan untuk menjamin pembebasan sandera Israel dan warga asing.
“Saya dapat mengatakan kami telah mencapai titik kesepahaman, kami masih akan melakukan segala upaya dengan saudara-saudara kami di Qatar dan AS serta pihak lain yang dekat dengan perundingan. Kami berharap dapat mencapai penghentian permusuhan dan pertukaran sandera,” ujar Menlu Mesir Sameh Shoukry di Forum Diplomasi Antalya di Turki.
“Semua orang menyadari bahwa kita memiliki batasan waktu untuk mencapai kesuksesan sebelum dimulainya Ramadan,” ujar dia.
Kesepakatan yang diusulkan sejak awal Ramadan pada 10 dan 11 Maret 10 mencakup jeda 40 hari dalam semua operasi militer dan pertukaran tahanan Palestina dengan sandera Israel dengan rasio 10 banding satu, menurut sumber senior yang dekat dengan pembicaraan tersebut kepada Reuters.
“Kami akan terus berupaya bekerja sama dengan PBB, dengan mitra kami untuk meringankan penderitaan rakyat Gaza dan meningkatkan jumlah (bantuan). Praktisnya, hal ini tidak dapat terjadi tanpa penghentian permusuhan,” ujar Shoukry.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Malki berbicara di panel yang sama dengan Shoukry, mengatakan Israel tidak akan mengumumkan gencatan senjata kecuali ada tekanan internasional terhadap pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
“Jika kita tidak dapat mencapai gencatan senjata dalam dua atau tiga pekan ke depan, jelas kita akan melihat serangan lagi terhadap Rafah dan berlanjutnya genosida,” pungkas dia.
(sya)