Kebijakan Kontroversial Xi Jinping dan Runtuhnya Perekonomian China
loading...
A
A
A
Kebijakan Keras Xi Jinping
Pertama, banyak analis meyakini bahwa perang dagang AS-China adalah dendam pribadi Xi, dan hal itu dilakukan semata-mata untuk memuaskan ego serta untuk mengagung-agungkannya sebagai sosok seperti Mao yang tidak segan-segan menantang musuh utama China; AS.
Akibat pergolakan yang tidak perlu ini, China mengalami kerugian miliaran dolar setiap tahunnya. Dampak perang dagang diabaikan begitu saja karena bagi Xi, pembangunan citranya di mata masyarakat jauh lebih penting daripada peningkatan perekonomian yang rapuh.
Kedua, Beijing memperpanjang tindakan lockdown yang tidak perlu. Ketika negara-negara seperti India dan Vietnam mengizinkan peningkatan tindakan lockdown pada tahun 2021, China di sisi lain terus memperkuat kebijakan Covid-19 mereka.
Banyak analis berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut diperkuat untuk membendung protes yang terjadi di kota-kota di China, di mana masyarakatnya tidak senang dengan tanggapan pemerintah daerah terhadap pandemi Covid-19.
Untuk menekan protes-protes ini, China secara brutal memperkuat kebijakan Covid-19 di seluruh kota-kota industri yang berdampak besar pada rantai pasokan yang semakin merusak perekonomian China yang berbasis ekspor.
Xi dengan sengaja mengabaikan peringatan para ahli dan membungkam suara-suara di dalam Partai Komunis China (CCP) untuk memperkuat cengkeramannya pada masyarakat yang berdampak buruk pada perekonomian nasional.
Ketiga, undang-undang spionase baru yang diperkenalkan Beijing tahun lalu jelas ditujukan terhadap orang asing dan bisnis asing di China. Menyusul pemberlakuan undang-undang baru ini, Pusat Kontra Intelijen & Keamanan Nasional Amerika Serikat memperingatkan dunia usaha AS akan peningkatan risiko berbisnis di China.
Sejak undang-undang tersebut diberlakukan tahun lalu, Beijing menangkap 12 orang asing atas tuduhan spionase. Kasus yang terkenal adalah penangkapan eksekutif Astellas Pharma, produsen obat terkenal Jepang.
Menurut survei yang dilakukan Kamar Dagang Uni Eropa pada Juni 2023, lebih dari dua pertiga partisipan mengatakan bahwa mereka semakin sulit melakukan bisnis di China. Sementara enam dari sepuluh partisipan menekankan bahwa bisnis menjadi lebih terpolitisasi di bawah pemerintahan Xi.