Komite Senat AS Pertanyakan Otoritas Nuklir Trump

Rabu, 15 November 2017 - 13:45 WIB
Komite Senat AS Pertanyakan Otoritas Nuklir Trump
Komite Senat AS Pertanyakan Otoritas Nuklir Trump
A A A
WASHINGTON - Komite Hubungan Luar Negeri Senat Amerika Serikat (AS) menggelar sidang dengar pendapat bertajuk Authority to Order the Use of Nuclear Weapons (Kewenangan untuk Memberikan Perintah Menggunakan Senjata Nuklir). Sidang ini dilakukan untuk memeriksa otoritas presiden untuk meluncurkan serangan nuklir.

Ini adalah untuk pertama kalinya dalam lebih dari 40 tahun, Senat AS memeriksa otoritas presiden dalam menggunakan senjata nuklir. Terakhir kali Kongres memperdebatkan masalah ini adalah pada bulan Maret 1976.

Beberapa Senator menyatakan keprihatinannya bahwa presiden mungkin secara tidak bertanggung jawab akan memerintahkan serangan nuklir. Sementara yang lain mengatakan bahwa dia harus memiliki wewenang untuk bertindak tanpa campur tangan dari protokol.

"Ini bukan diskusi hipotetis," kata Senator Ben Cardin, senator Partai Republik dari Maryland seperti dikutip dari BBC, Rabu (15/11/2017).

Beberapa senator yang hadir mengatakan bahwa mereka khawatir dengan keleluasaan presiden untuk melakukan serangan nuklir.

"Kami khawatir bahwa presiden sangat tidak stabil, mudah berubah pikiran, memiliki proses pengambilan keputusan yang sangat tidak biasa, sehingga dia dapat memerintahkan serangan senjata nuklir yang secara liar keluar dari selangkah dengan kepentingan keamanan nasional AS," kata Chris Murphy, seorang senator Partai Demokrat dari Connecticut.

Sedangkan Senator Edward Markey, seorang Demokrat dari Massachusetts, terdengar skeptis. "Saya tidak berpikir kita harus mempercayai para jenderal untuk menjadi pemeriksa pada presiden," katanya.

Salah satu pertanyaan utama di persidangan adalah apakah para senator, dan warga Amerika pada umumnya, memiliki kepercayaan pada presiden untuk membuat keputusan semacam itu dalam hitungan menit atau bahkan beberapa detik.

Pada saat itu, sekretaris pertahanan, pejabat militer dan protokoler tidak punya banyak waktu untuk meninjau kembali keputusan presiden tersebut.

Beberapa senator mengatakan bahwa presiden harus memiliki kebebasan untuk bertindak cepat dan tegas dalam situasi seperti itu.

"Presiden AS harus memiliki kapasitas untuk merespons jika kita diserang dan tidak dielakkan oleh sekelompok protokoler bunker," ujar senator Marco Rubio.

Senator James Risch, seorang Republikan Idaho, memperkuat pesan Rubio, menjelaskan bahwa pejabat di Pyongyang seharusnya tidak salah menafsirkan diskusi mereka.

"Dia akan melakukan apa yang perlu untuk mempertahankan negara ini," kata Risch.

Salah seorang ahli, C Robert Kehler, yang merupakan komandan Komando Strategis AS dari 2011-13, mengatakan bahwa dalam peran sebelumnya dia akan mengikuti perintah presiden untuk melakukan serangan jika itu legal.

Dia mengatakan jika dia tidak yakin akan legalitasnya, dia akan berkonsultasi dengan penasihatnya sendiri. "Saya akan mengatakan, 'Saya tidak siap untuk melanjutkan,'" ujarnya.

Pakar lain, Peter Feaver dari Duke University, seorang profesor ilmu politik, menjelaskan bahwa sebuah perintah kepresidenan mewajibkan personil di semua tingkatan untuk menandatangani kontrak di sana.

Hal itu akan diperiksa oleh protokoler, juga oleh sekretaris pertahanan dan individu yang bertugas di militer. "Presiden tidak bisa sendiri menekan tombol dan menyebabkan rudal terbang," kata Feaver.

Pakar lain, Brian McKeon, mantan sekretaris pertahanan untuk kebijakan, mengatakan bahwa pejabat militer akan menghentikan presiden jika mereka merasa bertindak dengan cara yang terburu-buru.

"Jendral bintang empat tidak mengecilkan warna violet," kata McKeon.

Di akhir persidangan, anggota parlemen dan ahli sepakat bahwa persenjataan nuklir harus dimodernisasi - untuk berjaga-jaga.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5118 seconds (0.1#10.140)