Saat Barat Lindungi Zionis, Pemuda Palestina Pilih Melawan Israel dengan Tidak Kabur dari Gaza
loading...
A
A
A
GAZA - Ketika ribuan warga sipil di kedua sisi perbatasan antara Israel dan Jalur Gaza terus tewas dalam perang, seorang aktivis Palestina yang berbasis di Tepi Barat menjelaskan kepada Sputnik mengapa mereka memandang kehadiran Israel di Gaza dan Tepi Barat sebagai penjajahan.
Aktivis tersebut juga mengenang bagaimana kebijakan Israel mengobarkan kebencian di kalangan warga Palestina yang berkontribusi pada meningkatnya kekerasan baru-baru ini.
Berdasarkan perjanjian perdamaian tahun 1993 yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo, Israel setuju memenuhi hak rakyat Palestina menentukan nasib sendiri dengan mengizinkan pemerintahan mandiri Palestina secara terbatas di sebagian Tepi Barat dan Gaza.
Mengenang masa kecilnya, aktivis hak asasi manusia Muhanned Qafesha mengatakan warga Palestina tidak pernah benar-benar merasa lega oleh penjajahan Israel meskipun ada janji menentukan nasib sendiri dan pemerintahan sendiri.
"Saya sudah hidup di bawah pendudukan Israel, agresi Israel dan kebrutalan Israel. Saya telah menyaksikan semua jenis kekerasan Israel. Saya telah melihat semua jenis agresi Israel selama masa kecil saya. Saya tumbuh dengan melihat tank-tank militer menyerang lingkungan di Hebron, di mana Tentara Israel menggerebek rumah-rumah warga Palestina, menyerang warga Palestina, menembaki warga Palestina dan membunuh mereka. Saya telah melihat helikopter Israel dan F-16 membom rumah-rumah penduduk,” kenang Qafesha.
Dia mengatakan, tumbuh dengan pengalaman seperti itu adalah hal yang wajar jika dia ingin menjadi seorang aktivis yang memperjuangkan hak-hak dasar warga Palestina.
"Sebagai orang yang tumbuh dalam situasi seperti ini, hal itu membuat Anda ingin memperjuangkan kebebasan Anda. Merupakan reaksi yang sangat normal untuk melawan. Itu sebabnya saya memutuskan untuk bergabung dengan gerakan bernama Youth Against Settlement, yang merupakan gerakan tanpa kekerasan,” papar dia.
“Saya juga belajar jurnalisme untuk membicarakan penderitaan rakyat Palestina dan menyampaikan pesan rakyat Palestina ke seluruh dunia. Saya ingin semua orang di seluruh dunia tahu apa yang terjadi pada rakyat Palestina. Saya ingin anak-anak kita tidak mengalami trauma yang sama seperti yang dialami warga Palestina alami saat masih anak-anak," tutur Qafesha.
Tepi Barat dan Jalur Gaza sering digambarkan sebagai penjara terbuka, karena Israel terus mengontrol pergerakan orang dan barang di kedua wilayah Palestina tersebut.
Tanpa akses ke bandara, warga Palestina tidak punya cara lain untuk keluar selain meminta izin dari otoritas Israel untuk menyeberang ke negara-negara tetangga melalui jalur darat seperti Mesir ke Jalur Gaza dan Yordania ke Tepi Barat.
“Kondisi perbatasan darat dengan Yordania juga menggila bagi warga Palestina. Tidak buka 24 jam. Kami hanya bisa pergi dan kembali selama lima jam kalau sudah buka. Dan biasanya mereka hanya mengizinkan 500 orang lewat setiap harinya. Kalau 500 orang telah melintasi perbatasan dalam dua jam, mereka akan menutup perbatasan pada hari itu,” papar dia.
“Jika Anda kembali dari perjalanan ke Eropa dan penerbangan Anda tiba pada jam 9 malam, Anda harus bermalam di Amman (ibu kota Yordania) dan tunggu sampai keesokan paginya ketika perbatasan dibuka kembali untuk kembali ke kota Anda. Beginilah cara mereka bekerja,” ungkap Qafesha.
Sebagai orang yang besar di Tepi Barat, Qafesha belum pernah mengunjungi Jalur Gaza karena kendali Israel atas perbatasan kedua wilayah tersebut.
“Tanpa kebebasan bergerak, generasi muda Palestina memiliki pilihan karir yang terbatas meskipun mereka berpendidikan tinggi dan sering memilih pekerjaan sederhana seperti konstruksi,” ujar aktivis tersebut.
Akibatnya, banyak anak muda Palestina yang merasa putus asa dengan masa depan mereka, menurut dia.
"Ini merupakan tekanan yang sangat besar bagi masyarakat. Tidak ada masa depan bagi masyarakat yang tinggal di Palestina. Anda melihat masa depan sebagai orang muda yang sangat gelap. Anda tidak melakukan apa yang dilakukan oleh generasi muda lainnya di dunia, yaitu bermimpi, bekerja dan menikmati waktu Anda bepergian,” ujar dia.
“Bagi anak muda Palestina, hal ini tidak ada. Bagi anak muda Palestina, masa depan sangat gelap dan masa kini sangat sulit. Anda tidak pernah hidup di saat pikiran Anda damai. Anda tidak bisa melakukan seni, latih sesuatu yang Anda sukai dan raih impian Anda. Beberapa anak di Gaza adalah gamer. Mereka ingin mencapai jumlah pengikut tertentu. Namun mereka dibunuh bersama keluarga mereka di rumah mereka," ungkap Qafesha.
Menanggapi serangan mendadak yang dilakukan gerakan Palestina Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, Israel menempatkan Jalur Gaza di bawah blokade dan melancarkan serangan balasan yang kemudian diperluas menjadi operasi darat penuh.
Sementara sebagian besar negara-negara Barat menyatakan solidaritasnya dengan Israel dan enggan mengkritik respons keras militer Israel yang menewaskan lebih dari 11.000 warga sipil Palestina.
“Israel dilindungi oleh Barat. Bagi kita saat ini, pemerintah Barat tampil sebagai pembohong di hadapan seluruh dunia. Mereka akan mendukung kaum tertindas jika mereka membenci penindas dan tidak berteman dengan penindas. Tapi jika Israel penindas adalah teman mereka, mereka akan baik-baik saja. Itu tergantung pada seberapa banyak mereka menyukai atau membenci penindas. Israel melakukan hal-hal buruk terhadap Palestina. Anda memberi mereka legitimasi di dunia,” ungkap Qafesha.
Sebagai seorang yang menganjurkan perlawanan damai, Qafesha menjelaskan bahwa dia memahami mengapa sebagian warga Palestina memilih jalur perlawanan bersenjata.
“Hal ini terjadi karena warga Palestina telah kehilangan kepercayaan terhadap komunitas internasional dalam menyelesaikan penjajahan ini. Saya pikir pemerintah Israel harus disalahkan, karena ketika mereka mempunyai kesempatan memberikan solusi kepada Palestina, mereka berbalik melawan Palestina, mengabaikan kami. Mereka seharusnya disalahkan atas semua yang terjadi di sini," tegas dia.
Pada 5 November 2023, Israel mengumumkan pasukan daratnya maju jauh ke utara Jalur Gaza, hingga ke pantai, yang secara efektif membagi Gaza menjadi dua bagian.
Pasukan Pertahanan Israel mendesak warga Gaza untuk mengungsi dari utara ke selatan, berjanji menjaga “koridor” evakuasi tetap terbuka.
“Banyak warga Palestina memilih tinggal di rumah dan mati. Tapi mereka tidak ingin meninggalkan rumah dan menjadi pengungsi lagi. Kami tidak ingin pergi ke mana pun. Saat kami ke Mesir, kami ingin melakukan perjalanan yang menyenangkan dan kembali. Kami tidak ingin pergi,” ungkap Qafesha.
Aktivis tersebut menjelaskan, memilih tetap tinggal di rumah sudah merupakan bentuk perlawanan warga Palestina.
“Bagi warga Palestina, berada di tanah ini dan memilih tidak pergi adalah semacam perlawanan. Anda tidak perlu melakukan apa pun atau mengatakan Anda menolak. Tinggal di rumah dan terus hidup adalah bentuk perlawanan. Itu sebabnya seluruh warga Palestina menentang pendudukan Israel karena mereka menolak untuk pergi,” pungkas Qafesha.
Aktivis tersebut juga mengenang bagaimana kebijakan Israel mengobarkan kebencian di kalangan warga Palestina yang berkontribusi pada meningkatnya kekerasan baru-baru ini.
Trauma Masa Kecil
Berdasarkan perjanjian perdamaian tahun 1993 yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo, Israel setuju memenuhi hak rakyat Palestina menentukan nasib sendiri dengan mengizinkan pemerintahan mandiri Palestina secara terbatas di sebagian Tepi Barat dan Gaza.
Mengenang masa kecilnya, aktivis hak asasi manusia Muhanned Qafesha mengatakan warga Palestina tidak pernah benar-benar merasa lega oleh penjajahan Israel meskipun ada janji menentukan nasib sendiri dan pemerintahan sendiri.
"Saya sudah hidup di bawah pendudukan Israel, agresi Israel dan kebrutalan Israel. Saya telah menyaksikan semua jenis kekerasan Israel. Saya telah melihat semua jenis agresi Israel selama masa kecil saya. Saya tumbuh dengan melihat tank-tank militer menyerang lingkungan di Hebron, di mana Tentara Israel menggerebek rumah-rumah warga Palestina, menyerang warga Palestina, menembaki warga Palestina dan membunuh mereka. Saya telah melihat helikopter Israel dan F-16 membom rumah-rumah penduduk,” kenang Qafesha.
Dia mengatakan, tumbuh dengan pengalaman seperti itu adalah hal yang wajar jika dia ingin menjadi seorang aktivis yang memperjuangkan hak-hak dasar warga Palestina.
"Sebagai orang yang tumbuh dalam situasi seperti ini, hal itu membuat Anda ingin memperjuangkan kebebasan Anda. Merupakan reaksi yang sangat normal untuk melawan. Itu sebabnya saya memutuskan untuk bergabung dengan gerakan bernama Youth Against Settlement, yang merupakan gerakan tanpa kekerasan,” papar dia.
“Saya juga belajar jurnalisme untuk membicarakan penderitaan rakyat Palestina dan menyampaikan pesan rakyat Palestina ke seluruh dunia. Saya ingin semua orang di seluruh dunia tahu apa yang terjadi pada rakyat Palestina. Saya ingin anak-anak kita tidak mengalami trauma yang sama seperti yang dialami warga Palestina alami saat masih anak-anak," tutur Qafesha.
Penjara Terbuka
Tepi Barat dan Jalur Gaza sering digambarkan sebagai penjara terbuka, karena Israel terus mengontrol pergerakan orang dan barang di kedua wilayah Palestina tersebut.
Tanpa akses ke bandara, warga Palestina tidak punya cara lain untuk keluar selain meminta izin dari otoritas Israel untuk menyeberang ke negara-negara tetangga melalui jalur darat seperti Mesir ke Jalur Gaza dan Yordania ke Tepi Barat.
“Kondisi perbatasan darat dengan Yordania juga menggila bagi warga Palestina. Tidak buka 24 jam. Kami hanya bisa pergi dan kembali selama lima jam kalau sudah buka. Dan biasanya mereka hanya mengizinkan 500 orang lewat setiap harinya. Kalau 500 orang telah melintasi perbatasan dalam dua jam, mereka akan menutup perbatasan pada hari itu,” papar dia.
“Jika Anda kembali dari perjalanan ke Eropa dan penerbangan Anda tiba pada jam 9 malam, Anda harus bermalam di Amman (ibu kota Yordania) dan tunggu sampai keesokan paginya ketika perbatasan dibuka kembali untuk kembali ke kota Anda. Beginilah cara mereka bekerja,” ungkap Qafesha.
Sebagai orang yang besar di Tepi Barat, Qafesha belum pernah mengunjungi Jalur Gaza karena kendali Israel atas perbatasan kedua wilayah tersebut.
“Tanpa kebebasan bergerak, generasi muda Palestina memiliki pilihan karir yang terbatas meskipun mereka berpendidikan tinggi dan sering memilih pekerjaan sederhana seperti konstruksi,” ujar aktivis tersebut.
Akibatnya, banyak anak muda Palestina yang merasa putus asa dengan masa depan mereka, menurut dia.
"Ini merupakan tekanan yang sangat besar bagi masyarakat. Tidak ada masa depan bagi masyarakat yang tinggal di Palestina. Anda melihat masa depan sebagai orang muda yang sangat gelap. Anda tidak melakukan apa yang dilakukan oleh generasi muda lainnya di dunia, yaitu bermimpi, bekerja dan menikmati waktu Anda bepergian,” ujar dia.
“Bagi anak muda Palestina, hal ini tidak ada. Bagi anak muda Palestina, masa depan sangat gelap dan masa kini sangat sulit. Anda tidak pernah hidup di saat pikiran Anda damai. Anda tidak bisa melakukan seni, latih sesuatu yang Anda sukai dan raih impian Anda. Beberapa anak di Gaza adalah gamer. Mereka ingin mencapai jumlah pengikut tertentu. Namun mereka dibunuh bersama keluarga mereka di rumah mereka," ungkap Qafesha.
Hilangnya Kepercayaan pada Komunitas Internasional
Menanggapi serangan mendadak yang dilakukan gerakan Palestina Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober, Israel menempatkan Jalur Gaza di bawah blokade dan melancarkan serangan balasan yang kemudian diperluas menjadi operasi darat penuh.
Sementara sebagian besar negara-negara Barat menyatakan solidaritasnya dengan Israel dan enggan mengkritik respons keras militer Israel yang menewaskan lebih dari 11.000 warga sipil Palestina.
“Israel dilindungi oleh Barat. Bagi kita saat ini, pemerintah Barat tampil sebagai pembohong di hadapan seluruh dunia. Mereka akan mendukung kaum tertindas jika mereka membenci penindas dan tidak berteman dengan penindas. Tapi jika Israel penindas adalah teman mereka, mereka akan baik-baik saja. Itu tergantung pada seberapa banyak mereka menyukai atau membenci penindas. Israel melakukan hal-hal buruk terhadap Palestina. Anda memberi mereka legitimasi di dunia,” ungkap Qafesha.
Sebagai seorang yang menganjurkan perlawanan damai, Qafesha menjelaskan bahwa dia memahami mengapa sebagian warga Palestina memilih jalur perlawanan bersenjata.
“Hal ini terjadi karena warga Palestina telah kehilangan kepercayaan terhadap komunitas internasional dalam menyelesaikan penjajahan ini. Saya pikir pemerintah Israel harus disalahkan, karena ketika mereka mempunyai kesempatan memberikan solusi kepada Palestina, mereka berbalik melawan Palestina, mengabaikan kami. Mereka seharusnya disalahkan atas semua yang terjadi di sini," tegas dia.
Pada 5 November 2023, Israel mengumumkan pasukan daratnya maju jauh ke utara Jalur Gaza, hingga ke pantai, yang secara efektif membagi Gaza menjadi dua bagian.
Pasukan Pertahanan Israel mendesak warga Gaza untuk mengungsi dari utara ke selatan, berjanji menjaga “koridor” evakuasi tetap terbuka.
“Banyak warga Palestina memilih tinggal di rumah dan mati. Tapi mereka tidak ingin meninggalkan rumah dan menjadi pengungsi lagi. Kami tidak ingin pergi ke mana pun. Saat kami ke Mesir, kami ingin melakukan perjalanan yang menyenangkan dan kembali. Kami tidak ingin pergi,” ungkap Qafesha.
Aktivis tersebut menjelaskan, memilih tetap tinggal di rumah sudah merupakan bentuk perlawanan warga Palestina.
“Bagi warga Palestina, berada di tanah ini dan memilih tidak pergi adalah semacam perlawanan. Anda tidak perlu melakukan apa pun atau mengatakan Anda menolak. Tinggal di rumah dan terus hidup adalah bentuk perlawanan. Itu sebabnya seluruh warga Palestina menentang pendudukan Israel karena mereka menolak untuk pergi,” pungkas Qafesha.
(sya)