Hamas: Kami Harus Beri Israel Pelajaran, Serangan 7 Oktober Akan Terulang Lagi
loading...
A
A
A
GAZA - Pejabat tinggi Hamas Ghazi Hamad bersumpah bahwa serangan spektakuler terhadap Israel pada 7 Oktober lalu akan terus terulang.
“Israel adalah negara yang tidak memiliki tempat di tanah kami,” kata Hamad kepada outlet berita Lebanon, LBCI, yang diterjemahkan oleh Middle East Media Research Institute (MEMRI), Jumat (3/11/2023).
“Negara itu harus kita singkirkan,” lanjut dia.
Perang besar antara Israel dan Hamas telah pecah di Gaza. Perang dimulai setelah Hamas meluncurkan serangan besar ke Israel pada 7 Oktober lalu, yang diberi nama Operasi Badai al-Aqsa. Lebih dari 1.400 orang tewas dan ratusan lainnya diculik.
Israel merespons dengan membombardir Gaza nyaris tanpa henti hingga hari ini. Laporan dari Kementerian Kesehatan di Gaza menyebutkan korban tewas akibat serangan Israel sudah melampui 9.000 orang.
“Kami harus memberi pelajaran kepada Israel, dan kami akan melakukan ini lagi dan lagi. Badai al-Aqsa baru pertama kali, dan akan ada yang kedua, ketiga, keempat. Karena kita punya tekad untuk bertarung."
Hamad kemudian berbicara tentang dampak sipil dari serangan yang harus dibayar oleh kedua pihak yang bertikai. Dia menyatakan bahwa pembunuhan di festival musik Re'im adalah akibat dari "komplikasi di lapangan”.
"Apakah kami harus membayar harganya? Ya, dan kami siap membayarnya. Kami disebut bangsa para martir dan kami bangga mengorbankan para martir."
Dia juga berkata: "Keberadaan Israel adalah penyebab semua penderitaan, darah, dan air mata. Itu Israel, bukan kami. Kami adalah korban pendudukan. Titik."
"Tidak seorang pun boleh menyalahkan kami. Pada 7 Oktober, 10 Oktober, satu juta Oktober—semua yang kami lakukan dapat dibenarkan."
Pekan lalu, Hamad keluar dari wawancara dengan BBC setelah dia ditanya tentang pembantaian warga sipil yang dilakukan kelompok Hamas di Israel pada 7 Oktober.
Selama wawancara, Hamad menegaskan kembali klaim yang dibuat beberapa hari setelah pembantaian bahwa Hamas tidak berniat membunuh warga sipil selama serangannya.
“Israel adalah negara yang tidak memiliki tempat di tanah kami,” kata Hamad kepada outlet berita Lebanon, LBCI, yang diterjemahkan oleh Middle East Media Research Institute (MEMRI), Jumat (3/11/2023).
“Negara itu harus kita singkirkan,” lanjut dia.
Perang besar antara Israel dan Hamas telah pecah di Gaza. Perang dimulai setelah Hamas meluncurkan serangan besar ke Israel pada 7 Oktober lalu, yang diberi nama Operasi Badai al-Aqsa. Lebih dari 1.400 orang tewas dan ratusan lainnya diculik.
Israel merespons dengan membombardir Gaza nyaris tanpa henti hingga hari ini. Laporan dari Kementerian Kesehatan di Gaza menyebutkan korban tewas akibat serangan Israel sudah melampui 9.000 orang.
“Kami harus memberi pelajaran kepada Israel, dan kami akan melakukan ini lagi dan lagi. Badai al-Aqsa baru pertama kali, dan akan ada yang kedua, ketiga, keempat. Karena kita punya tekad untuk bertarung."
Hamad kemudian berbicara tentang dampak sipil dari serangan yang harus dibayar oleh kedua pihak yang bertikai. Dia menyatakan bahwa pembunuhan di festival musik Re'im adalah akibat dari "komplikasi di lapangan”.
"Apakah kami harus membayar harganya? Ya, dan kami siap membayarnya. Kami disebut bangsa para martir dan kami bangga mengorbankan para martir."
Dia juga berkata: "Keberadaan Israel adalah penyebab semua penderitaan, darah, dan air mata. Itu Israel, bukan kami. Kami adalah korban pendudukan. Titik."
"Tidak seorang pun boleh menyalahkan kami. Pada 7 Oktober, 10 Oktober, satu juta Oktober—semua yang kami lakukan dapat dibenarkan."
Pekan lalu, Hamad keluar dari wawancara dengan BBC setelah dia ditanya tentang pembantaian warga sipil yang dilakukan kelompok Hamas di Israel pada 7 Oktober.
Selama wawancara, Hamad menegaskan kembali klaim yang dibuat beberapa hari setelah pembantaian bahwa Hamas tidak berniat membunuh warga sipil selama serangannya.
(mas)