Jenderal Top Jepang Mengaku Butuh Senjata Nuklir AS untuk Pertahanan
loading...
A
A
A
TOKYO - Jenderal Yoshihide Yoshida menegaskan Jepang harus mengembangkan sektor senjata dalam negerinya jika ingin menjamin keamanannya sendiri.
Dia beralasan Tokyo saat ini bergantung pada senjata nuklir Amerika untuk “pencegahan” terhadap saingan regionalnya.
Berbicara kepada Nikkei Asia untuk wawancara pada Senin, Jenderal Yoshihide Yoshida yang menjabat kepala Staf Gabungan Pasukan Bela Diri Jepang itu menguraikan kebutuhan pertahanan Tokyo. Dia menyoroti kerja sama militer yang erat dengan Washington.
“Kami tidak dapat menjaga keamanan Jepang dengan kemampuan kami saat ini,” tegas jenderal tersebut.
Dia menambahkan, “Pertama, kami harus memperkuat kemampuan pertahanan kami secara mendasar agar kami tidak diremehkan. Kedua, kita perlu melakukan apa yang kita bisa untuk mempertahankan pencegahan yang lebih luas, termasuk melalui strategi yang melibatkan senjata nuklir AS.”
Yoshida selanjutnya menjelaskan Jepang telah terlibat dalam “dialog mendalam” dengan Amerika Serikat selama lebih dari satu dekade mengenai “memperluas payung nuklir AS ke Jepang”.
Dia mencatat kesepakatan telah dicapai pada Juni untuk pertukaran informasi tambahan dan pelatihan bersama serta respons rudal gabungan.
Jepang adalah satu-satunya negara dalam sejarah yang menjadi sasaran senjata atom. Satu pembom Angkatan Udara AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, menewaskan hingga 126.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil.
Bom atom lainnya diledakkan di kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus, menewaskan hingga 80.000 orang, hampir semuanya adalah warga sipil.
Setelah pemboman nuklir, Jepang menjadi sekutu Amerika setelah pasukan Amerika menduduki wilayahnya dan menulis konstitusi “pasifis”.
Negara ini masih menjadi tuan rumah pangkalan dan pasukan AS dengan jumlah terbanyak di dunia, dan juga telah lama berada di bawah payung nuklir Amerika, serangkaian jaminan keamanan AS kepada negara-negara non-nuklir.
Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan beberapa anggota NATO juga menikmati perjanjian serupa.
Jenderal Yoshida berpendapat Jepang “berada di garis depan” di Indo-Pasifik. Dia menyatakan Tokyo dan mitra-mitranya akan berupaya “menjaga tatanan internasional berdasarkan supremasi hukum” sambil memperingatkan “provokasi yang dilakukan oleh Korea Utara dan China.”
Dia menambahkan, “Lingkungan strategis yang dihadapi Jepang” mendorong dukungan publik terhadap peningkatan belanja militer dan “kemampuan serangan balik” yang lebih baik.
Lihat Juga: Laksamana Amerika Ketir-ketir Rusia Bakal Bantu China Pangkas Dominasi Militer AS, Begini Caranya
Dia beralasan Tokyo saat ini bergantung pada senjata nuklir Amerika untuk “pencegahan” terhadap saingan regionalnya.
Berbicara kepada Nikkei Asia untuk wawancara pada Senin, Jenderal Yoshihide Yoshida yang menjabat kepala Staf Gabungan Pasukan Bela Diri Jepang itu menguraikan kebutuhan pertahanan Tokyo. Dia menyoroti kerja sama militer yang erat dengan Washington.
“Kami tidak dapat menjaga keamanan Jepang dengan kemampuan kami saat ini,” tegas jenderal tersebut.
Dia menambahkan, “Pertama, kami harus memperkuat kemampuan pertahanan kami secara mendasar agar kami tidak diremehkan. Kedua, kita perlu melakukan apa yang kita bisa untuk mempertahankan pencegahan yang lebih luas, termasuk melalui strategi yang melibatkan senjata nuklir AS.”
Yoshida selanjutnya menjelaskan Jepang telah terlibat dalam “dialog mendalam” dengan Amerika Serikat selama lebih dari satu dekade mengenai “memperluas payung nuklir AS ke Jepang”.
Dia mencatat kesepakatan telah dicapai pada Juni untuk pertukaran informasi tambahan dan pelatihan bersama serta respons rudal gabungan.
Jepang adalah satu-satunya negara dalam sejarah yang menjadi sasaran senjata atom. Satu pembom Angkatan Udara AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, menewaskan hingga 126.000 orang, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil.
Bom atom lainnya diledakkan di kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus, menewaskan hingga 80.000 orang, hampir semuanya adalah warga sipil.
Setelah pemboman nuklir, Jepang menjadi sekutu Amerika setelah pasukan Amerika menduduki wilayahnya dan menulis konstitusi “pasifis”.
Negara ini masih menjadi tuan rumah pangkalan dan pasukan AS dengan jumlah terbanyak di dunia, dan juga telah lama berada di bawah payung nuklir Amerika, serangkaian jaminan keamanan AS kepada negara-negara non-nuklir.
Korea Selatan, Australia, Selandia Baru dan beberapa anggota NATO juga menikmati perjanjian serupa.
Jenderal Yoshida berpendapat Jepang “berada di garis depan” di Indo-Pasifik. Dia menyatakan Tokyo dan mitra-mitranya akan berupaya “menjaga tatanan internasional berdasarkan supremasi hukum” sambil memperingatkan “provokasi yang dilakukan oleh Korea Utara dan China.”
Dia menambahkan, “Lingkungan strategis yang dihadapi Jepang” mendorong dukungan publik terhadap peningkatan belanja militer dan “kemampuan serangan balik” yang lebih baik.
Lihat Juga: Laksamana Amerika Ketir-ketir Rusia Bakal Bantu China Pangkas Dominasi Militer AS, Begini Caranya
(sya)