Taliban Paksa Wanita yang Cerai Kembali ke Mantan Suami yang Kasar

Selasa, 07 Maret 2023 - 07:46 WIB
loading...
Taliban Paksa Wanita...
Otoritas Taliban yang berkuasa di Afghanistan memaksa para wanita yang telah cerai kembali ke mantan suami mereka yang kasar. Perceraian sebelumnya dianggap tak sah. Foto/REUTERS/Ali Khara/File Photo
A A A
KABUL - Otoritas Taliban , yang berkuasa di Afghanistan, telah memaksa para wanita yang sudah bercerai untuk kembali pada mantan suami mereka yang kasar. Alasannya, perceraian sebelumnya dianggap tidak sah.

Marwa dilecehkan selama bertahun-tahun oleh mantan suaminya yang mematahkan semua giginya. Dia bersembunyi bersama delapan anaknya setelah komandan Taliban membatalkan perceraiannya.

Marwa adalah salah satu dari sejumlah kecil wanita yang—di bawah pemerintahan sebelumnya yang didukung Amerika Serikat (AS)—diberikan hak bercerai di bawah hukum Afghanistan.

Ketika pasukan Taliban mulai berkuasa lagi pada tahun 2021, mantan suami Marwa mengeklaim bahwa dia telah dipaksa bercerai dan komandan Taliban memerintahkan Marwa untuk kembali ke cengkeraman mantan suami.



"Putri saya dan saya banyak menangis hari itu," kata Marwa (40), yang namanya telah diubah untuk perlindungannya sendiri, kepada AFP, yang dilansir Selasa (7/3/2023).

"Saya berkata pada diri sendiri, 'Ya Tuhan, iblis telah kembali'."

Pemerintah Taliban menganut interpretasi Islam versi mereka sendiri yang keras dan telah memberlakukan pembatasan sangat ketat pada kehidupan perempuan yang oleh PBB disebut "apartheid berbasis gender".

Islam Izinkan Perceraian


Para pengacara mengatakan kepada AFP bahwa beberapa wanita telah dilaporkan diseret kembali ke pernikahan yang kejam setelah komandan Taliban membatalkan perceraian mereka.

Selama berbulan-bulan Marwa mengalami babak baru pemukulan, dikurung di dalam rumah, dengan tangan patah dan jari retak.

"Ada hari-hari ketika saya tidak sadarkan diri, dan putri saya memberi saya makan," katanya.

"Dia biasa menarik rambut saya begitu keras sehingga saya menjadi botak sebagian. Dia memukuli saya sampai semua gigi saya patah."

Mengumpulkan kekuatan untuk pergi, dia melarikan diri ratusan kilometer (mil) ke rumah seorang kerabat dengan enam putri dan dua putranya, yang semuanya menggunakan nama fiktif.

"Anak-anak saya bilang, 'Ibu, tidak apa-apa kalau kami kelaparan. Setidaknya kami sudah terbebas dari pelecehan'," kata Marwa sambil duduk di lantai retak rumahnya yang kosong sambil menggenggam tasbih.

"Tidak ada yang mengenal kami di sini, bahkan tetangga kami," katanya, yang takut suaminya akan menemukannya.



Di Afghanistan sembilan dari 10 wanita akan mengalami kekerasan fisik, seksual atau psikologis dari pasangannya. Itu merupakan data misi PBB di negara tersebut.

Perceraian, bagaimanapun, seringkali lebih tabu daripada pelecehan itu sendiri dan budaya tetap tidak memaafkan wanita yang berpisah dengan suaminya.

Di bawah pemerintahan sebelumnya yang didukung AS, tingkat perceraian terus meningkat di beberapa kota, di mana peningkatan kecil dalam hak-hak perempuan sebagian besar terbatas pada pendidikan dan pekerjaan.

Wanita pernah menyalahkan nasib mereka atas apa pun yang terjadi pada mereka, kata Nazifa, seorang pengacara yang berhasil menangani sekitar 100 kasus perceraian untuk wanita yang dilecehkan tetapi tidak lagi diizinkan bekerja di Afghanistan yang dikuasai Taliban.

Saat kesadaran tumbuh, wanita menyadari bahwa berpisah dari suami yang kejam adalah mungkin.

“Ketika sudah tidak ada lagi keharmonisan dalam hubungan suami istri, bahkan Islam pun mengizinkan perceraian,” jelas Nazifa yang hanya mau menyebutkan nama depannya.

Di bawah rezim yang digulingkan, pengadilan keluarga khusus dengan hakim dan pengacara perempuan didirikan untuk mengadili kasus-kasus seperti itu, tetapi otoritas Taliban telah membuat sistem peradilan baru mereka menjadi urusan laki-laki.

Nazifa mengatakan kepada AFP bahwa lima mantan kliennya telah melaporkan berada dalam situasi yang sama dengan Marwa.

Pengacara lain, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan kepada AFP bahwa dia baru-baru ini menyaksikan kasus pengadilan di mana seorang wanita berjuang melawan pemaksaan dirinya dipersatukan kembali dengan mantan suaminya.

Dia menambahkan bahwa perceraian di bawah pemerintahan Taliban terbatas ketika seorang suami adalah seorang pecandu narkoba atau telah meninggalkan negara itu.

“Tetapi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga atau ketika suami tidak menyetujui cerai, maka pengadilan tidak mengabulkannya,” katanya.

Jaringan penampungan dan layanan nasional yang pernah mendukung perempuan hampir seluruhnya runtuh, sementara Kementerian Urusan Perempuan dan Komisi Hak Asasi Manusia telah dihapus.

Taliban Mengetuk Pintu


Sana berusia 15 tahun ketika menikah dengan sepupunya, 10 tahun lebih tua darinya.

"Dia akan memukuli saya jika bayi kami menangis atau makanannya tidak enak," katanya sambil menyiapkan teh di atas kompor gas di sebuah rumah tempat dia tinggal secara rahasia.

"Dia biasa mengatakan bahwa seorang wanita tidak memiliki hak untuk berbicara."

Dengan bantuan proyek layanan hukum gratis, dia memenangkan perceraian dari suaminya di pengadilan-–tetapi kelegaannya hancur ketika komandan Taliban datang mengetuk.

Terancam akan kehilangan hak asuh atas keempat putrinya, dia kembali ke mantan suaminya yang saat itu juga telah menikah dengan wanita lain.

Dia melarikan diri setelah mantan suami mengumumkan pertunangan putrinya dengan anggota Taliban.

"Putri saya berkata, 'Ibu, kami akan bunuh diri'," kata Sana.

Dia dapat mengumpulkan sejumlah uang dan melarikan diri bersama anak-anaknya, dan dengan bantuan seorang kerabat menemukan sebuah rumah dengan satu kamar, hanya dilengkapi dengan kompor gas dan beberapa bantal untuk tidur.

"Setiap kali ada ketukan di pintu, saya khawatir dia menemukan saya dan datang untuk membawa anak-anak pergi."

Cobaan untuk Anak-anak Afghanistan


Seorang pejabat Taliban mengatakan kepada AFP bahwa pihak berwenang akan menyelidiki kasus-kasus seperti itu di mana perempuan yang sebelumnya bercerai dipaksa untuk kembali ke mantan suami mereka.

"Jika kami menerima keluhan seperti itu, kami akan menyelidikinya sesuai syariah," kata Inayatullah, juru bicara Mahkamah Agung Taliban, yang seperti banyak warga Afghanistan menggunakan satu nama.

Ketika ditanya apakah rezim Taliban akan mengakui perceraian yang diberikan di bawah pemerintahan sebelumnya, dia berkata: "Ini adalah masalah yang penting dan rumit."

"Dar al-Ifta sedang menyelidikinya. Ketika sampai pada keputusan yang seragam, maka kita akan lihat," katanya, merujuk pada lembaga yang berafiliasi dengan pengadilan yang mengeluarkan keputusan tentang syariah.

Bagi Marwa dan putri-putrinya yang bertahan hidup dengan menjahit baju, trauma tersebut menyisakan luka psikologis yang mendalam.

“Sayangnya saya tidak akan bisa menikahkan mereka,” kata Marwa sambil menatap putrinya.

"Mereka memberitahu saya, 'Ibu, melihat betapa buruknya hidupmu, kami membenci kata suami'."
(min)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1610 seconds (0.1#10.140)